24 January 2016

Bertobatlah!... dan Machiavelli Tertawa

Pemilihan umum kepala dusun baru berakhir, dan Niccolo Machiavelli akan tertawa jika mendengar cerita ini. Terbahak-bahak? Mungkin.

Anda tahu Machiavelli bukan? Dia penulis buku petunjuk berkuasa dan menguasai berjudul Il Principe. Buku itu dilarang gereja pada abad pertengahan, dan dia sendiri sempat dipenjara karena tuduhan kudeta terhadap pemerintahan yang sah pada 1513. Namun seorang sahabat membantunya. Machiavelli keluar dari penjara. Namanya dipensiunkan pada usia 44 tahun.

Nah, mari kita kembali ke cerita soal dusun itu. Alkisah, sang pemenang pemilu menelpon S, seorang pendukung calon kepala dusun rivalnya. "Saya hendak menggelar tasyakuran di rumah saya. Saya mengundang Anda dan teman-teman untuk hadir. Mari kita lupakan yang kemarin dan bersinergi untuk membangun dusun ini lebih baik pada masa mendatang."

Sebuah ajakan rekonsilisasi. S berpikir sebentar. Namun tak butuh lama baginya untuk menyambut undangan itu. Rekonsiliasi, mengapa tidak? Toh, setiap pertandingan selalu berakhir, dan setiap pertempuran selalu menghadirkan pemenang dan pihak yang kalah. Tak ada pemenang tanpa mereka yang kalah.

S menelpon sejumlah kawannya yang selama ini mendukung calon kepala dusun yang sudah dikalahkan. "Jika tak repot, hadirlah ke sana," katanya kepada Z, seorang kawan dekatnya.

Siang hari, hujan mengguyur dusun itu. Rumah sang pemenang dipenuhi orang. Halamannya dipadati kendaraan para pendukungnya, mulai dari kereta kuda sampai sepeda pancal parkir di sana. Aroma kegembiraan tercium sejak dari pintu masuk.

Z datang agak terlambat. Ia melihat kawan-kawannya, pendukung calon kepala dusun yang kalah, duduk di deretan agak belakang.

Pembawa acara mempersilakan Sang Pemenang berpidato. Pidato awalnya dipenuhi puja-puji untuk pendukungnya. Tepuk tangan terdengar meriah. Ia kembali mengumandangkan janjinya untuk membuat dusun lebih baik: jalan diaspal, jumlah orang miskin dikurangi. Kesejahteraan di depan mata.

Lalu, Sang Pemenang mengarahkan pandangan mata kepada para pendukung rivalnya yang hadir. "Saya tahu, di sini juga ada orang-orang yang tidak mendukung saya. Mereka suka memelintir ucapan saya selama masa kampanye. Mereka juga mengabarkan hal-hal yang tak benar soal saya dan keluarga."

"Jadi, saya berharap mereka sekarang agar bertobat. Bertobatlah. Kebetulan di sini ada Pak Pendeta yang bisa memberikan doa-doa pertobatan."

Tawa terdengar di sekujur ruangan. Tepuk tangan lagi. Apalagi yang lebih menyenangkan selain melihat sekelompok pecundang dirisak habis-habisan. Dipermalukan. Jika perlu hingga mereka terisak-isak dan minta ampun, berkata: "Saya bertobat!"

"Bertobatlah!" Pertobatan akan menebus semua kesalahan, sebab pilihan politik agaknya di mata sang kepala dusun yang baru tak ubahnya opsi pahala dan dosa. Surga dan neraka. Kenikmatan dan penderitaan.

Z melihat wajah seorang kawan memerah. Marah. Malu. Ia merasa tak pernah berbuat seperti apa yang dituduhkan Sang Pemenang. Namun bagaimana pula ia hendak membela diri. Orang kalah memang ditakdirkan tak punya kesempatan membela diri.

Z mengajaknya pulang. Namun kawan itu menggeleng. "Jika kita pulang, kita sama saja kalah untuk kedua kalinya. Kita sudah di sini. Kita tunggu sampai berakhir. Dengan kepala tegak."

S terluka. Begitu juga kawan-kawannya. Namun, Machiavelli akan terbahak-bahak melihat adegan ini. Sekali lagi apa yang dialami S dan kawan-kawannya membuktikan, bahwa apa yang ditulis Machiavelli beberapa abad lalu soal tabiat penguasa dan pemenang pertempuran politik adalah benar.

Kemenangan dan kekalahan politik adalah kisah sepanjang zaman. Setiap pemenang berhak melakukan apa saja. Winner takes it all. Etika tidak ada hubungannya dengan ini. Pemenang yang menjadi penguasa bisa melanggar apa yang diucapkannya. Tujuan berada di atas prinsip-prinsip etika, dan tujuan terakhir perjuangan sang penguasa adalah kemuliaan dirinya sendiri. All heil the winner. Long live the king. Jayalah selalu sang raja.

"Yang kalah harus legowo." Mereka yang kalah harus berbesar hati. Pesan itu selalu disampaikan petugas keamanan dusun itu kepada semua warga. Orang lebih suka mengawasi yang kalah dengan pandangan mata penuh curiga: bahwa mereka pasti akan melakukan kudeta.

Orang lagi-lagi lupa. Ketika seseorang menang, maka kekuatannya akan lebih berlipat-lipat, karena semua orang akan memilih bersekutu. Bahkan hukum pun bisa diarahkan berpihak kepadanya. Maka, memberi peringatan kepada mereka yang kalah hanyalah pekerjaan formalitas belaka. Memangnya bisa apa mereka yang kalah? Mau berbuat rusuh dengan risiko masuk penjara?

Peringatan justru seharusnya diarahkan kepada sang pemenang, kepala dusun yang baru. Rakyat tak hanya membutuhkan pecundang yang legawa, tapi juga pemenang yang bijak.

Memenangkan kekuasaan itu baru awal, dan ia punya waktu lima tahun ke depan untuk mengatur dusun itu, dan seperti pesan berbau Machiavellian: pemerintahan dusun itu tak memerlukan sekadar pemimpin medioker, tapi juga oposisi yang kuat.

Saya kutipkan saja pengantar buku Il Principe yang ditulis Frans M. Parera dan M. Sastrapratedja.

"Penguasa yang mahakuasa kelihatannya tidak suka bila dirinya dikelilingi barisan kompetitor...Negara yang kuat tidak cukup diperintah sekelompok pemimpin dengan bakat medioker dan tidak memanfaatkan kekuatan oposisi. Negara yang kuat membutuhkan oposisi yang kuat untuk menyempurnakan pola manajemen kekuasaannya..."

Kita tidak tahu apakah sang pemenang yang menjadi kepala dusun baru itu memang bermental medioker. Alison Goodman dalam buku Eon: Dragoneye Reborn menyebut: “There was a saying that a man's true character was revealed in defeat. I thought it was also revealed in victory.”

Orang bilang, watak sejati seseorang itu kelihatan ketika kalah. Tapi aku pikir watak sejati itu juga bisa kelihatan saat menang.

Alangkah benarnya kalimat itu, dan biarlah waktu yang menguji dan membuktikannya. [wir]

No comments: