30 July 2011

Negara yang Berdagang dengan Rakyatnya Sendiri

Pajak adalah darah untuk menghidupkan negara. Tanpa adanya pajak yang dipungut dari rakyat, negara tak bisa menjalankan pembangunan. Ini teori yang diajarkan di bangku-bangku sekolah, mulai dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi.

Di negar feodal, pajak dipandang sebagai upeti. Pajak dipungut untuk kepentingan penguasa. Sebagian kecil pajak dikembalikan kepada rakyat, namun itu lebih untuk memenuhi teori Machiavelli: berikanlah apa yang menjadi hak rakyat sebelum rakyat memintanya, sehingga rakyat melihat pemberian itu sebagai kebaikan penguasa dan bukan kewajiban. Pemberian ini untuk menumpulkan kemarahan rakyat.

Masdar Farid Mas'udi, tokoh Nahdlatul Ulama, menyebut, pajak upeti ini sebagai 'diaribah'. 'Diaribah' berasal dari kata 'diaraba' yang berarti 'memukul' atau 'memalak'. Dalam konteks ini, penguasa feodal yang memungut pajak dari rakyatnya tak ubahnya tukang palak.

Berbeda dengan negara kapitalis, di mana pajak dipandang sebagai imbal jasa. Rakyat sebagai pembayar pajak menuntut ikut menentukan penggunaannya. Mereka ingin pajak yang dibayar digunakan untuk melayani kepentingan rakyat.

Masdar menyebutnya negara dengan model pajak ini sebagai negara jizyah. "Penggunaan uang negara yang tidak sesuai dengan ketentuan anggaran yang disepakati bersama antara pemerintah dan wakil rakyat pembayar pajak di parlemen bisa disebut sebagai korupsi atau penyimpangan.

Namun, negara jizyah memiliki kelemahan. Menurut Masdar, rakyat pembayar pajak terbesar berhak mendapat layanan besar dari negara. Rakyat yang tak membayar pajak karena tak mampu, hanya menunggu tetesan dari atas atau trickle-down effect.

KOnsep ketiga negara pajak, menurut Masdar, adalah pajak sebagai zakat atau sedekah karena Tuhan. Dalam konsep ini, aparat negara hanyalah amil atau orang yang diamanati memungut dan mengelola pajak. Sebagai amil, pemerintah harus bisa mempertanggungjawabkan penggunaan pajak itu.

Di manakah posisi Indonesia? Ironis sekali, di Indonesia, pajak justru dijadikan 'alat untuk membunuh' bangsa sendiri. Setiap tahun jutaan orang tenaga kerja Indonesia dibiarkan bekerja di luar negeri tanpa perlindungan. Pemerintah berdalih kesulitan menyediakan lapangan kerja, sembari menikmati devisa dari para TKI ini. Pada akhirnya bukan pemerintah yang membantu rakyatnya, namun rakyat yang membantu pemerintahnya. Rakyat bernama TKI ini akhirnya hanya puas dengan julukan sloganis: 'pahlawan devisa'.

Indonesia adalah negara demokrasi, negara republik. Namun perilaku pemerintah memungut uang dari rakyatnya tak ubahnya negara feodal. Apa yang bisa diperas, diperas. Seratus persen hidup kita dikenai pajak. Pajak di sini dalam arti luas, di mana retribusi maupun pungutan resmi lainnya untuk keperluan sebagai warga negara bisa disebut pajak pula karena masuk ke kas negara.

Pengurusan kartu tanda penduduk dan akta lahir sebagai hak warga negara ternyata masih 'dikotori' dengan uang kontribusi untuk negara. KTP atau akta lahir berbeda dengan surat ijin mengemudi. SIM hanya diberlakukan bagi mereka yang ingin dan bisa berkendara motor, jadi wajar diberlakukan? biaya untuk kepemilikannya. Sementara KTP dan akta lahir adalah bagian melekat dari kehidupan warga tanpa kecuali. Seseorang tak bisa memilih di mana harus lahir dan dilahirkan. Maka menjadi kewajiban negara untuk memberikan dokumen identitas secara gratis.

Jika ingin menikah, seseorang harus membayar kepada negara dengan dalih biaya administrasi. Akhirnya, mereka yang tak punya cukup uang, memilih untuk menikah di bawah tangan tanpa sepengetahuan negara. Ini berimbas pada keturunan mereka, yang tak diakui negara karena lahir di luar pernikahan resmi berdasar aturan negara.

Jadi pasal ketiga Pancasila bukan lagi 'Persatuan Indonesia' tapi 'Persatuan Pajak'. Indonesia dan warganya diikat dengan pajak atau biaya-biaya lain yang masuk ke negara. Jadi apa bedanya pemerintah dengan raja? Negara kita adalah negara pajak, jangan sebut negara hukum. Negara hukum melindungi warganya berdasar aturan, yang berarti tak semuanya harus dibayar oleh rakyat. Tapi di Negara Pajak, pajak didahulukan sebelum hak-hak konstitusional seperti halnya pengurusan KTP dan akta lahir.

Pada akhirnya, Indonesia bukanlah negara kesejahteraan sosial atau welfare state, tapi negara dagang. Sayangnya, pemerintah kita berdagang dengan rakyatnya sendiri. [wir]

1 comment:

agustinriosteris said...

pemerintah kita dipilih secara demokratis tapi berjiwa feodal... terlihat dari kesukuan yang menguasainya.