05 July 2011

Kembali ke Rumah Lama PPP

Pemilu 2009 menyisakan getir bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai berlambang ka'bah ini tak berdaya. Perolehan suara PPP saat itu hanya 5,3 persen. Perolehan suara yang tak sebanding dengan sejarah panjang partai itu.

PPP punya sejarah panjang sebagai salah satu partai oposisi (walau terbatas) pada masa Orde baru. Tahun 1970-an, partai ini menjadi ujung tombak perlawanan terhadap kebijakan negara yang dinilai merugikan umat Islam.

Pemerintah sudah memadamkan Majelis Syuro Muslimin Indonesia dengan mengganjal tokoh-tokoh tua macam Natsir berpolitik. Mohammad Hatta pun ditekuk. NU diringkus dalam baju ormas. Praktis PPP menjadi harapan kelompok pemilih muslim religius.

Tahun 1997, PPP bersama Partai Demokrasi Indonesia Pro-Mega menjadi bagian dari oposisi besar Mega-Bintang. Kelompok abangan menyatu ke PPP untuk menghadapi upaya Orde Baru yang menghantam Megawati Soekarnoputri.

Harapan baru datang saat Reformasi 1998 tiba. PPP mengharapkan pemilu legislatif bisa mengandalkan romantisme politik. Namun, ini zaman yang berbeda. Kelompok-kelompok Islam besar seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan kelompok Islam modernis yang bergerak di masjid memiliki pilihan untuk mendirikan partai sendiri. Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan (Sejahtera) praktis menggerus kue yang biasa dinikmati PPP di masa silam.

Praktis sejak pemilu 1999 yang lebih demokratis dibanding pemilu masa Orde Baru, perolehan suara PPP menurun drastis. Pemilu 1999, PPP memeroleh 11.329.905 suara, ditinggalkan PKB yang memiliki 13.336.982. Namun perolehan suara PPP jauh lebih baik dibandingkan Partai Keadilan dan PBB.

Tahun 2004, perolehan suara PPP menurun menjadi 9.248.764 dukungan atau 8,14 persen. Pemilu 2009, perolehan suara PPP semakin jeblok, menyusul fenomena benderangnya Partai Demokrat. Suara PPP tinggal 5.533.214 suara.

Praktis, jika dihitung berdasar perolehan pemilu 1999, PPP telah kehilangan 51 persen lebih suara, hanya dalam jangka waktu 10 tahun. Sebuah kehilangan yang luar biasa. Ini yang agaknya bikin para pengurus PPP ngeri dan melakukan manuver-manuver politik dengan mencoba merangkul kembali para kiai yang dulunya menyeberang ke partai lain.

Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (SDA) mengakui penurunan suara ini. Namun hikmahnya, PPP masih diakui masyarakat walau perolehan suara turun. PPP hanya tak bisa menjaga konstituen di tempat pemungutan suara. Pekerjaan rumah terbesar adalah menjaga para konstituen ini, terutama dari godaan partai lain yang punya basis ideologi yang sama.

Mampukah PPP? Suryadharma Ali optimistis akan menyabet 15 persen suara. Resepnya: kampanye 'kembali ke rumah lama'. Para ulama besar, terutama di Jawa Timur, didekati. Para ulama NU ini memiliki kedekatan emosional dan politik ke PKB. Namun PPP tak ragu-ragu membetot mereka untuk kembali. Beberapa kiai besar seperti KH Idris Marzuki, KH Anwar Iskandar, KH Zainuddin Jazuli, KH Nurul Huda Jazuli, KH Miftakhul Akhyar, KH Mutawakkil Alallah, menjadi sasaran kampante SDA.

Persoalannya, cukupkah mengandalkan suara para kiai? Apakah ketertarikan para kiai kembali ke rumah lama akan setara dan sebangun dengan kembalinya konstituen ke PPP?

Kekalahan Megawati-Hasyim Muzadi dan Jusuf Kalla-Wiranto pada pemilu 2004 dan 2009 menghadirkan fenomena politik kiai tak selamanya perkasa. Tentu saja pemilihan presiden berbeda dengan pemilu legislatif. Dalam pemilu legislatif, orang memiliki keterikatan 'romantisme' dengan partai, dan ini berbeda dengan pemilihan presiden yang mengandalkan citra personal.

Namun, sebagaimana pernah dikatakan ilmuwan politik Himawan Bayu Patriadi, partai yang mengandalkan pemilih tradisional dan berakar pada romantisme akan tergerus seiring dengan berkurangnya populasi generasi lama.

Bayu memang bicara tentang Partai Golkar. Namun saya kira ini bisa juga berlaku kepada PPP yang merupakan warisan Orde Baru. Generasi tua pemilih PPP akan semakin hilang dimakan waktu, sementara generasi muda yang tak punya ikatan romantisme akan memilih bersikap lebih realistis (atau pragmatis).

PPP berbeda dengan PKB yang jelas-jelas identik dengan NU. PKB masih bisa mengklaim sebagai bagian dari NU, karena secara historis memang didirikan oleh kiai-kiai besar Nahdliyyin. PPP jelas-jelas didirikan sebagai bagian dari politik fusi pemerintah untuk menjinakkan kekuatan kelompok Islam yang beragam. Jadi, PPP tak bisa hanya mengandalkan semangat Nahdliyyin dalam slogan 'Kembali ke Rumah Lama'.

Kedua, saya teringat lontaran KH Abdullah Syamsul Arifin, tokoh NU Jember. Ia menyatakan, partai-partai Islam kurang memberi perhatian kepada kebutuhan konstituen. Saya kira dia benar. Partai-partai Islam lebih banyak memanfaatkan jargon dan slogan untuk menarik konstituen. Pendekatan ini jelas sudah tak laku. Jargon dan slogan ideologis jelas hanya berlaku di masa pemerintahan Soekarno.

Pemilih saat ini adalah pemilih bertipe utilitarianis. John Stuart Mill mendefinisikan prinsip utilitarian ini adalah 'prinsip kebahagiaan terbesar': tindakan tertentu bisa disebut benar, jika cenderung memperbesar kebahagiaan, dan keliru jika mengurangi kebahagiaan. Mill menyebut kebahagiaan di sini adalah kesenangan dan tiadanya rasa sakit.

Pemilih akan cenderung memilih partai yang menjanjikan kebahagiaan terbesar kepadanya. Kebahagiaan di sini bisa beragam tentu saja. Kebahagiaan hedonistis cenderung pragmatis, dan kita menemukannya di lapangan saat pemilu dengan istilah 'tongket' alias settong seket (satu suara dihargao Rp 50 ribu).

Inilah politik uang yang membikin pemilih melupakan janji kampanye. Ibarat orang berdagang: ada uang ada barang, ada uang ada suara. Orang malas dengan janji, apalagi janji partai politik cenderung tak terukur: kesejahteraan, keadilan, kemajuan, dan janji lain. Bagaimana pula mengukur orang sejahtera? Upah minimum kabupaten terus meningkat tiap tahun. Tapi setiap tahun pula inflasi mengangkangi kenaikan UMK. Jadi di manakah kesejahteraan?

Jelas, kalau PPP hanya bermain slogan 'Kembali ke Rumah lama' untuk komunitas kiai, maka slogan itu akan elitis. Ideologi tentu saja tak boleh dilepas dari sebuah partai. Ideologi adalah daya ungkal dan energi. Namun, partai juga harus berkompromi dengan kecenderungan pemilih. Saya tidak menyarankan politik uang dalam pemilu. Namun, ada baiknya slogan 'Kembali ke Rumah Lama' diejawantahkan dalam program kongrit 'menyapa pemilih'.

Mukmatar nasional adalah pertaruhannya. Slogan sudah diciptakan. Tinggal bagaimana manifestasi slogan itu. Siapapun yang jadi ketuanya nanti. [wir/air]

1 comment:

omyosa said...

MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM
KETIKA PANEN TIBA

Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia, NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) , dengan produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an.
Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, semakin keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.
Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.
System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) beberapa tahuin yang lalu adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik. Tetapi sampai kini masih juga belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya.
Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini. Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.

Solusi yang lebih praktis dan sangat mungkin dapat diterima oleh masyarakat petani kita dapat kami tawarkan, yaitu: BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK AJAIB SO/AVRON /NASA + EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS ( EM16+) + Sistem Jajar Legowo.
Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki pada pola SRI, tetapi cara pengolahan tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.

Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.
AYOOO PARA PETANI DAN SIAPA SAJA YANG PEDULI PETANI!!!! SIAPA YANG AKAN MEMULAI? KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI? KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?
CATATAN: Bagi Anda yang bukan petani, tetapi berkeinginan memakmurkan/mensejahterakan petani sekaligus ikut mengurangi tingkat pengangguran dan urbanisasi masyarakat pedesaan, dapat melakukan uji coba secara mandiri system pertanian organik ini pada lahan kecil terbatas di lokasi komunitas petani sebagai contoh (demplot) bagi masyarakat petani dengan tujuan bukan untuk Anda menjadi petani, melainkan untuk meraih tujuan yang lebih besar lagi, yaitu menjadi agen sosial penyebaran informasi pengembangan system pertanian organik diseluruh wilayah Indonesia.
Semoga Indonesia sehat yang dicanangkan pemerintah dapat segera tercapai.
Terimakasih,
Omyosa -- Jakarta Selatan
02137878827; 081310104072