28 May 2011

Dua Jalan KN dan K78

Percayalah, Komite Normalisasi dan para pendukung George Toisutta dan Arifin Panigoro yang disebut K78 sebenarnya saling melengkapi. Mereka sama-sama berjuang demi sepakbola Indonesia dan berikhtiar agar FIFA tidak menjatuhkan sanksi.

Selama ini, kita selalu melihat hubungan KN dan K78 dalam perspektif negatif, yakni selalu saling menegasikan. KN menuding kengototan K78 sebagai biang kegagalan kongres. Sementara K78 menyebut sebaliknya.

Perspektif negatif tidak akan pernah bisa dipersatukan. Ini berbeda jika semua pihak melihat dalam perspektif positif. Dalam setiap perspektif positif, selalu ada benang merah dan kesamaan sikap. Ini menjadi jalan untuk menyatukan sikap.

Perspektif positif yang saya maksud adalah sikap dua kubu tersebut dalam menghadapi FIFA. Sikap dan tindakan mereka sebenarnya komplementer untuk mencegah intervensi FIFA terlalu jauh ke dalam dunia sepakbola Indonesia melalui sanksi (banned).

Ketua KN Agum Gumelar dengan penuh tekad berangkat ke Swiss menemui Presiden FIFA Sepp Blatter. Dalam berbagai kesempatan, Agum menegaskan, dirinya akan meminta kepada FIFA untuk tidak memberikan sanksi kepada Indonesia.

Jalur yang ditempuh Agum adalah jalur diplomasi. Jalur diplomasi ini memiliki sejarah panjang dalam perjuangan bangsa kita. Bukankah dulu para pendiri negara ini juga melakukan jalur diplomasi saat berhadapan dengan kekuatan asing seperti Belanda dan Jepang? Jadi tidak salah kiranya, jika Agum mencoba menitiktilasi cara tersebut. Semoga berhasil.

Lagipula, dalam dunia sepakbola, jalur lobi dan diplomasi layak dicoba. Saat Nurdin Halid memimpin PSSI sejak tahun 2007, FIFA sudah mengingatkan agar ada pemilihan ketua umum baru. Namun PSSI dengan gagah berani menampik permintaan FIFA, dan alhamdulillah, ternyata kita tidak dihukum. Padahal, Nurdin jelas-jelas melanggar statuta FIFA yang melarang seseorang yang pernah tersangkut kasus pidana menjadi orang nomor satu sebuah otoritas sepakbola.

Dengan mengacu apa yang terjadi sepanjang 2007-2011, rasanya kita layak sangat optimis terhadap upaya Pak Agum. Kita percaya, melalui jalur diplomasi dan lobi yang benar sebagaimana tahun 2007 lalu, Indonesia tidak akan dihukum. Toh, Indonesia tidak melanggar statuta apapun saat ini.

Kita juga layak optimistis dengan jalur diplomasi ini karena ada benang merah kongres PSSI 2007 dan 2011: sama-sama dihadiri petinggi FIFA bernama Thierry Regennas. Kalau dulu Regennas tak banyak memersoalkan terpilihnya Nurdin walau melanggar statuta, tentu dia sekarang bisa membantu Indonesia juga agar tidak kena 'banned'. Mari berbaik sangka.

Namun bagaimana kalau Pak Agum gagal melakukan diplomasi dan lobi, dan Indonesia tetap kena sanksi? Nah, di sinilah K78 menunjukkan peran komplementernya: menggugat FIFA ke jalur arbitrase internasional (CAS).

Kita ingat pada masa penjajahan dulu, jalur diplomasi gagal, maka jalur perlawanan fisik dimulai. Kira-kira begitulah yang terjadi nanti dalam mengantisipasi sanksi FIFA. Gugatan ke CAS tak ubahnya perlawanan fisik, dan memberikan sinyal kepada FIFA bahwa bangsa ini tidak bersedia diperlakukan semena-mena. FIFA harus berlaku adil. Kalau tahun 2007-2011 tidak ada sanksi terhadap PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin yang jelas-jelas melanggar statuta, maka seharusnya saat ini tidak boleh ada sanksi untuk Indonesia yang tak melanggar statuta apapun.

Gugatan ke CAS ini tidak bisa dianggap enteng. Ini menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia tak bisa diremehkan oleh kekuatan otoritas multinasional mana pun. Minimal FIFA agak berkeringatlah untuk menghadapi gugatan itu. Apalagi saat ini mereka sedang berkeringat gara-gara dugaan skandal korupsi di tubuh organisasi itu.

Ayo Pak Agum, ayo K78... berjuanglah! Apa guna saling hantam. Itu ada FIFA di depan mata. [wir]

No comments: