15 February 2011

Resureksionis

Ehem.

(nguung... suara feedback dari pelantang suara)

Selamat malam, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu.

Terima kasih telah berkumpul malam ini. Ini saat yang cukup gawat. Ada puluhan mayat bayi yang dicuri dari makamnya. Kita yang tergabung dalam Persatuan Mayat Seluruh Dunia mengutuk peristiwa ini. Kita belum tahu apa-apa mengenai pelakunya. Burung hantu dan kelelawar di kuburan belum memberikan informasi apapun.

Tapi ini tidak bisa diterus-teruskan. Sudah cukup citra kita, sebagai mayat yang tenang di pemakaman, diperburuk dengan film-film Indonesia yang tak karuan itu: pocongan, kuntilanak, wewe gombel. Kita tak dihargai sebagai penanda terakhir seseorang pernah hidup di alam fana. Tidak bisakah kita dibiarkan hilang, lenyap bersama waktu, tertelan bersama tanah: dari debu kembali menjadi debu, namun tak dilupakan.

Pencurian mayat bayi menunjukkan bahwa kaum resureksionis sama sekali tidak menghargai keberadaan kita sebagai mayat. Kaum resureksionis, tak ada kaitannya dengan komunis, zionis, atau ereksi. Tapi kita pernah mendengar kerja kaum gali kubur ini: tulang-belulang anak-anak dikirim ke Calcutta, India, untuk diolah dan diekspor. Tulang-tulang tua dan berlumut itu, sebagian ada yang digali dari China atau diambil dari ladang pembantaian di Kamboja.

Di Eropa abad pertengahan, tubuh kita, para mayat, telah menjadi sasaran perburuan dengan alasan medis. Suatu ketika di London, tepatnya di tahun 1828, sebuah sekolah kedokteran menyewa sepuluh orang untuk menggali makam-makam untuk mengambil mayat di dalamnya. Mereka dibayar seribu dollar per tahun, dan sudah tiga ratus lebih mayat diambil. Merekalah kaum resureksionis.

Ehem. Kita bisa tahu ini dari buku jurnalis Mary Roach, Stiff: The Curious Lives of Human Cadavers.

Kita masih menghargai siswa di Kandahar, Afganistan, yang menggali kuburan neneknya, dan mengambil tulang-belulangnya untuk digunakan bersama-sama kawan kuliahnya di Fakultas Kedokteran, seperti yang ditulis New York Times.

Tapi kita sangat marah, saat mayat-mayat dirampas paksa, tanpa etika oleh para perampok resureksionis. Para perampok ini (ya mereka adalah perampok yang mengganggu ketenangan) tak perlu menggali seluruh makam. Sekolah kodekteran hanya butuh mayat yang segar dan tak begitu berbau. Tukang gali cukup membuka ujung atas makam, dan menarik mayat itu dengan tali yang dilingkarkan ke leher atau bawah lengan. Hanya butuh waktu satu jam untuk mengeluarkan mayat yang dikehendaki.

Ahli anatomi dan bedah, Astley Cooper, mengutuk kaum resureksionis. Namun, kurang ajarnya, ia memerintahkan bawahannya untuk menggali makam dan mencari mayat-mayat baru untuk dibedah. Ia berbaik-baik dengan keluarga pasiennya. Ketika sang pasien itu meninggal dunia, maka ia memerintahkan bawahannya untuk menggali makam dan mengambil mayatnya.

Abad pertengahan adalah masa awal kelam bagi kita para mayat. Di Skotlandia, beberapa sekolah kedokteran bersedia membuka peluang biaya kuliah dibayar dengan mayat, dan bukannya uang tunai. Thomas Sewell, seorang dokter tenar dihukum di tahun 1818, karena menggali mayat perempuan muda.

Betapa malangnya orang-orang miskin. Kaum resureksionis menawarkan mayat-mayat segar orang-orang yang mati dalam kemiskinan. Mereka memperjualbelikan mayat seseorang yang tidak bisa membayar uang sewa semasa hidupnya. Ya, alangkah malangnya.

Sekarang, mari kita bicarakan apa motif pencurian mayat-mayat bayi di Sidoarjo itu. Adakah ini seperti sebuah teori ekonomi: ada keuntungan material yang diperoleh dengan memanfaatkan nalar-nalar takhayul, tak rasional, sebagian orang Indonesia. Ada uang ada barang, ada permintaan ada suplai. Ada dupa, ada ilmu gaib.

Kita para mayat tidak bisa membentuk tim investigasi sendiri (bayangkan betapa hebohnya dunia jika bisa). Kita harus ikhlas menyerahkan urusan ini kepada para polisi Indonesia yang kadang aneh (tangkas mengusut terorisme, namun tak lekas mengantisipasi kerusuhan bermotif agama).

Terakhir, sebelum kita menutup pertemuan darurat malam ini: rapatkan barisan. Jangan tertawa, mari kita serukan: mayat-mayat sedunia bersatulah.

Terima kasih. Selamat malam. [wir]

No comments: