18 February 2011

Manajer

Untuk Aji Santoso dan Llano Mahardika...

Kita tahu, sebuah klub sepakbola bukanlah sebuah negara, dan mungkin karena itu, sebuah klub tak menyisakan ruang untuk demokrasi. Oleh sebab itu, akan selalu ada pertarungan terus-menerus dan laten antara manajer pelatih sepakbola dengan jajaran pengurus klub. Mungkin itu sebabnya, Brian Clough ditakdirkan lahir sebagai pemberontak. Bahkan, ketika ia menjadi manajer sebuah klub sepakbola.

Clough berhenti bermain pada usia terlalu muda, 27 tahun. Hari yang sial dalam pertandingan di musim Natal. Kaki kanannya cedera setelah tergelincir di atas lapangan yang beku, dan Clough tak pernah kembali. Ia memutuskan menjadi manajer, mengurusi klub sepakbola.

Saya menonton The Damned United, sebuah film yang diangkat dari sebuah buku berjudul sama. Clough yang pemberang, namun punya prinsip. Suatu hari, klub asuhannya, Derby County, menerima kunjungan tim terkuat di Liga Inggris era 1970-an: Leeds United. Sopan santun Inggrisnya di gerbang stadion diabaikan oleh Leeds, dan sejak saat itu, ia bertekad menjadikan klub berjuluk The Whites dan pelatihnya tersebut sebagai musuh besar.

Derby hanya klub medioker. Dana tipis, stadion kecil. Jajaran pengurus klub tak mau banyak menghamburkan duit, karena toh mereka tak akan bisa bersaing dengan Leeds. Namun, Clough menjalankan klub itu dengan caranya sendiri. Ia mengontrak pemain yang dibutuhkannya, dan tak selamanya dikehendaki pengurus dan pemilik klub.

Clough beruntung memiliki Peter Taylor, sekondannya. Sebagai asisten, Peter punya mata dan telinga bagus untuk mengetahui pemain yang bermutu, dan ini yang terpenting, dengan harga murah. Sementara Clough memiliki nyali untuk berhadapan dengan pemilik dan pengurus klub dalam soal menyusun kerangka tim.

Dalam pandangan Clough dan Peter, pemain bermutu bisa saja pemain gendut dan suka mabuk-mabukan. Ia pernah akan tidur di luar rumah Archie Gemmill, pemain tak beken dari Preston North End, hanya untuk membujuk sang pemain bermain di Derby. Biaya transfer 145 ribu Dollar Amerika membuat pengurus Derby marah, karena membuat utang klub semakin menumpuk. Namun, Clough bergeming, dan ia benar: Gemmill menghadirkan gelar juara liga Inggris bagi klub kecil itu.

Clough pada akhirnya benar-benar diberhentikan oleh Derby, karena kebiasaannya melawan. Ia pindah ke Leeds United, tanpa didampingi Peter Taylor. Gagal di sana, dan bersama Peter, ia berhasil membawa Nottingham Forest memenangkan dua kali Piala Champions dengan pemain seadanya.

Aji Santoso jelas bukan Clough. Tapi Aji adalah bagian dari sejarah besar Persebaya, sebagaimana Clough bagi Nottingham Forest. Sebagai pemain, Aji bersama anak-anak muda didikan asli Persebaya (sebagian besar berusia 20 tahun) berhasil membawa klub berjuluk Bajul Ijo ini juara Liga Indonesia 1997. Aji juga yang menangani Persebaya saat laga play-off Divisi Utama melawan PSMS Medan satu dekade kemudian.

Saat ini, Aji dengan segala integritasnya berani melawan otoritas PSSI yang menindas dengan melatih Persebaya di Liga Primer Indonesia. Keberanian dan faktor kesejarahan ini yang membuat Aji dihormati para pendukung Persebaya, tanpa peduli melihat latar belakang kota asalnya.

Dengan segala integritas dan dedikasi itu, seharusnya otoritas Aji lebih dihargai untuk membentuk dan melatih tim. Salah satu otoritas terbesar Aji adalah memilih pemain yang dibutuhkan tim, bukan pemain yang diinginkan manajemen. Jika memang mengacu konsep profesional di Inggris, seharusnya Aji diperlakukan bukan sekadar sebagai pelatih (coach), tapi manajer.

Seorang bekas pelatih Real Madrid mengeluh, betapa pengurus klub membeli pemain-pemain yang tidak dibutuhkannya. "Kalau bisa mereka mengisi tim dengan sepuluh striker," gerutunya.

Dan Persebaya 1927 bukanlah Real Madrid. Persebaya bukan klub sangat kaya-raya yang bisa membeli pemain bintang semaunya. Persebaya justru memiliki tradisi besar melahirkan pemain-pemain binaan sendiri dengan ditopang pemain-pemain luar yang bisa padu dengan tim ini. Dan, untuk meneruskan tradisi itu, seorang pelatih semestinya mendapat ruang lebih besar untuk bergerak.

Aji adalah seorang pelatih brilian. Alih-alih tekanan dari manajemen, ia sebenarnya membutuhkan seorang seperti Peter Taylor yang menjadi mata dan telinganya untuk mencari pemain. Saya sendiri berharap, Llano atau pengurus manajemen Persebaya 1927 lainnya bisa menyediakan diri menjadi Peter Taylor untuk Aji.

Yang terjadi sekarang, Aji justru 'kehilangan mata dan telinganya'. Sosok marquee player yang dijanjikan untuk Persebaya 1927 di luar kontrolnya. Bahkan, kelak siapapun marquee player itu, Aji seperti 'diharuskan' menerimanya.

Terbatasnya otoritas Aji Santoso sebenarnya adalah sebuah kontradiksi dalam Liga Primer Indonesia. Sejak awal, liga ini selalu didengungkan sebagai liga profesional. Namun ketidakberdayaan Aji justru menunjukkan, ada lubang dalam klaim tersebut.

Memang selalu ada pertarungan terus-menerus dan laten antara manajer pelatih sepakbola dengan jajaran pengurus klub, atau dalam konteks ini adalah jajaran pengelola Liga Primer Indonesia. Mungkin karena pengurus klub atau pengelola LPI merasa paling tahu soal sepakbola, atau merasa merekalah yang punya duit dan konsep.

Marquee player memang konsep penting untuk menarik penonton menyaksikan liga baru ini. Namun, bagi sebuah klub yang sudah mapan seperti Persebaya 1927, ada atau tiadanya marquee player tak akan memiliki signifikansi besar. Para pendukung Persebaya 1927 tak terlalu peduli apakah Zickler atau Mbamba yang bergabung, karena pada dasarnya mereka menonton dan memilih karena kecintaan.

Klub ini lebih membutuhkan pemain yang sesuai dengan kebutuhan tim, daripada pemain dengan nama besar yang membutuhkan waktu lama untuk bergabung. Jika memang LPI dan pengurus Persebaya 1927 mencanangkan diri profesional, mulailah berhenti berpikir dan berlaku seperti pengurus Real Madrid yang merasa lebih pintar daripada pelatih seperti Mourinho, dan mulailah memperlakukan Aji seperti Nigel Clough: seorang pelatih yang berhasil menjadikan pemain 'bukan siapa-siapa' menjadi pemain 'dengan nama'. [wir]

No comments: