25 December 2010

Nona E di Hari Natal

Doktrin dan tradisi ibarat sebuah jalan yang bercabang. Yang pertama, berujung pada garis tegas hitam dan putih, salah dan benar, yang tentu saja berasal dari tafsir. Tradisi ada kalanya berujung pada kearifan menyikapi hidup. Dan, Nona E pernah dihadapkan pada jalan bercabang itu.

Saya mengenal Nona E sebagai perempuan yang selalu bersemangat. Seperti petasan cabe rawit, ia meletup di sana-sini. Melompat-lompat tiada matinya seperti kelinci dalam sebuah iklan batu batere.

"Saya mau ke Wonogiri," demikian katanya. Namun, pekerjaannya yang menumpuk, bahkan di libur Natal, membuatnya tak bisa pergi ke sana: sebuah tempat di mana ia belajar tentang tradisi menghargai yang berbeda.

Syahdan, kakek buyut Nona E memiliki tiga anak. Setelah masa kolonial Belanda berakhir, Indonesia merdeka, kehidupan ekonomi begitu buruk. Kemiskinan berkerumuk, mendesak-desak di tengah jaman yang bersemangat. Sang kakek buyut meninggal dunia, dan tiga anak itu pun tersebar. Salah satunya dipelihara oleh seorang tuan Belanda, yang pada akhirnya mengonversinya menjadi seorang Kristen.

Ibarat sebatang pohon mangga, hari ini keluarga besar Nona E memiliki cabang yang menumbuhkan buah apel. Atau mungkin seperti kata penyanyi Broery: buah semangka berdaun sirih. Di negeri ini, perbedaan agama dalam sebuah keluarga adalah sebuah keganjilan, dan boleh jadi akan menciptakan garis demarkasi. Namun di keluarga Nona E, bagaimana hendak mendemarkasi persaudaraan?

Nona E sendiri seorang muslim. Sejak kecil, saat Natal tiba, Nona E selalu diajak ke Wonogiri atau Klaten untuk bertemu dengan 'cabang pohon keluarga yang berbeda' itu. Natal tak ubahnya lebaran bagi Nona E: sebuah saat beranjangsana dan memperkuat tali paseduluran. "Selamat natal," demikian katanya kepada saudara-saudaranya.

Lalu Nona E masuk ke perguruan tinggi, dan bergabung dengan sebuah organisasi Islam literalis. Segala laku dipandu dengan teks, dan tafsir itu berasal dari seorang yang ditempatkan secara terhormat sebagai guru dan pembimbing. Di sana, tradisi yang dijalaninya bertahun-tahun sejak kecil dipersalahkan dengan doktrin.

Setiap Natal tiba di bangku kuliah, di hadapan Nona E, terbentanglah 'arena pertempuran' antara tradisi keluarga dan doktrin itu. Sebuah pilihan sulit bagi Nona E, tapi setiap tahun pula, ia memilih tradisi. "Saya percaya dan saya sama sekali tak berniat berpindah agama karena pilihan itu." Menjalani tak selamanya harus meyakini. Lagipula, kata Nona E: 'apakah mereka yang menyalahkan saya pernah menjalani hidup dalam sebuah keluarga yang beragam?'

Nona E mungkin akan selalu digugat oleh komunitasnya karena pilihannya itu. Namun, sampai hari ini ia tetap seorang muslim yang taat. Tiga hari sebelum Natal, gadis berjilbab itu tengah menjalani puasa untuk menghormati muharram, bulan pertama dalam sebuah tahun Islam. Sesuatu yang saya sendiri tak rajin melakukannya.

"Saya mau ke Wonogiri," demikian katanya. Mungkin juga ke Klaten. Pekerjaannya yang menumpuk, bahkan di libur Natal, membuatnya tak bisa pergi ke sana. Tapi saya rasa Nona E sudah berhasil mengatasi kontradiksi-kontradiksi dalam hidupnya. [wir]

No comments: