25 December 2010

MZA Djalal Kirim Testimoni ke Beritajatim.com

Bupati Jember nonaktif MZA Djalal mengirim email berisi testimoni dirinya pada beritajatim.com. Dalam testimoninya, MZA mengungkapkan keprihatinan atas badai politik yang menimpa dirinya.

"Saya tidak ingin dianggap masa bodoh. Karena itulah saya membuat testimoni ini," ungkap MZA Djalal dalam testimoni yang diterima beritajatim.com, Sabtu (25/12/2010).

Berikut adalah testimoni yang dikirimkan MZA Djalal yang sebenarnya sudah diputus bebas oleh pengadilan namun belum bisa kembali duduk di kursi Bupati Jember. (bjo)


SEBUAH TESTIMONI ANAK RAKYAT

Oleh: MZA. DJALAL


Saya hanyalah seorang anak bangsa yang kebetulan diberi amanah oleh rakyat untuk menjadi seorang bupati. Subhanalah. Karena saya bupati pilihan rakyat, maka saya juga anak rakyat. Sejak jabatan saya yang pertama, saya harus menghadapi berbagai badai politik, baik dalam skala besar maupun skala kecil. Meskipun demikian, saya tidak pernah mundur karena ujian atau cobaan seperti itu merupakan risiko seorang pemimpin. Saya sudah kepalang basah. Sekali layar terkembang, perahu pantang melepas jangkar.

Pada bulan Desember ini, badai yang mengguncang diri saya terasa menguat dan dirasakan oleh sebagian masyarakat Jember. Kota Jember banyak diwarnai oleh berbagai unjuk rasa masyarakat Jember ke DPRD. Karena sekarang bulan Desember, saya menyebut badai politik yang menimpa saya kali ini sebagai Badai Bulan Desember, seperti judul lagu yang dilantunkan grup AKA Surabaya, yang pernah menjadi salah satu lagu favorit saya. Saya tidak ingin badai politik ini berkepanjangan sehingga menumbuhkan belantara prasangka dan opini. Oleh karena itu saya mencoba membuat testimoni karena saya berada dalam pusaran badai itu. Saya berharap, testimoni ini dapat dijadikan renungan bersama.

Saat ini saya benar-benar sebagai anak rakyat karena berstatus sebagai bupati Jember nonaktif, walaupun dalam proses pengadilan sudah diputus bebas murni, dan martabat serta hak-hak saya sudah dikembalikan. Sebagai anak rakyat dan anak bangsa, saya memiliki tanggung jawab moral untuk ikut mencerdaskan masyarakat. Kalau saya hanya diam membisu, saya akan dicap masa bodoh atau tidak menghargai kepercayaan yang diserahkan oleh mayoritas rakyat yang memilih diri saya. Itulah alasannya mengapa saya harus memberi testimoni.

Sebelumnya saya mohon maaf apabila testimoni ini tidak dianggap objektif. Saya sadar, tidak semua orang setuju dengan langkah dan pikiran saya. Saya sejujurnya tidak berniat memperbesar badai ini. Pernyataan objektif yang datang dari berbagai elemen saya dengarkan, dan pernyataan yang menyimpan "sesuatu" juga saya perhatikan. Saya harus menghargai dua-duanya. Saya berharap testimoni ini bisa dijadikan wacana pendidikan politik bagi masyarakat Jember, dan bahkan masyarakat Indonesia, terkait dengan bagaimana mengelola pemerintahan ke depan agar lebih baik dan lebih benar.

Sejarah akan menjadi terang apabila dijelaskan oleh orang yang menjadi pelakunya. Sekarang ini saya sedang menjadi pelaku sejarah di Kabupaten Jember. Oleh karena itu, biarlah seorang pelaku sejarah berbicara kepada seluruh anak rakyat dan anak bangsa mengenai dirinya dan apa yang dialaminya. Begini. Pada tanggal 2 Desember 2010, saya memperoleh putusan bebas murni, dan hak serta kehormatan saya (jabatan) juga dikembalikan. Alhamdulilah. Yang saya tahu, menurut UU tentang KUHP, suatu putusan bebas murni tidak bisa dikasasi oleh jaksa. Mudah-mudahan saya tidak keliru.

Selanjutnya, pada tanggal 4 Desember 2010, Gubernur dan Wagub Provinsi Jawa Timur beserta 4 Pimpinan DPRD membuat kesepakatan usulan Pejabat Bupati Jember ke Mendagri, yang dituangkan dalam Berita Acara. Padahal pada saat itu jaksa belum secara resmi mengajukan pernyataan resmi kasasi ke pengadilan. Artinya, sepengetahuan saya seharusnya yang dijadikan pedoman atas kesepakatan tersebut adalah putusan pengadilan, bukan atas dasar "andaikata". Hal serupa terjadi yaitu pada waktu Gubernur membuat surat usulan nonaktif Bupati dan Wabup ke Mendagri, yang didahului dengan meminta nomer register ke pengadilan. Pertanyaannya, mengapa untuk kepentingan tersebut tidak dilakukan cek cermat ke pengadilan? Apalagi bukankah kesepakatan tersebut telah menyalahi UU 32/2004 dan PP 6/2005 yang dimaksud bahwa usulan gubernur harus dengan pertimbangan "DPRD", dan bukan "Pimpinan DPRD", ini tentu berbeda pengertian "DPRD" dengan "Pimpinan DPRD".

Pada tanggal 6 Desember 2010, Gubernur mengirim surat usulan Pejabat Bupati ke Mendagri. Padahal sampai tanggal tersebut, jaksa belum mengajukan pernyataan resmi kasasi ke pengadilan. Mestinya, yang dijadikan acuan/dasar adalah putusan pengadilan. Bukankah begitu? Pada tanggal 10 Desember 2010, SK Mendagri tentang Pejabat Bupati turun, padahal pada saat itu juga jaksa secara resmi baru mengajukan pernyataan kasasi (belum dibarengi memori kasasi). Jaksa diberi waktu 14 hari setelah tanggal 10 Desember untuk melengkapi memori kasasi (sampai dengan 24 Desember). Kasasi baru dinyatakan resmi/lengkap apabila memori kasasi telah diserahkan ke pengadilan dengan kata lain pernyataan kasasi dan memori kasasi yang diajukan oleh kejaksaan menjadi satu kesatuan yang harus dipenuhi, jika tidak dipenuhi berarti kejaksaan tidak menyatakan kasasi.

Tgl 13 Desember 2010, pelantikan Pejabat Bupati dilakukan. Seperti diduga banyak orang, pasca pelantikan terjadi badai politik. Beberapa elemen masyarakat menyatakan bahwa pelantikan tersebut merupakan sebuah prosedur yang salah, dan menyalahi UU/KUHP, UU/32 dan PP/6 alias cacat hukum. Akibatnya, kalau cacat hukum, maka produk-produk kebijakan Pejabat Bupati dikhawatirkan akan cacat hukum juga, termasuk pengesahan RAPBD 2011. Sebagai analogi walaupun pada substansi yang berbeda adalah persoaalan jabatan Kajagung yang dipersoalkan oleh Yusril Mahendra.

Sebagai anak rakyat yang hidup dalam negara hukum dan demokrasi, saya tidak akan pernah menyerah untuk memperjuangkan keduanya. Oleh karena itu, terkait dengan badai politik yang saat ini melanda Jember, dan saya ikut dalam pusarannya, saya harus tetap berjuang dengan cara memberikan testimoni jernih agar rakyat memperoleh gambaran jelas tentang apa yang menimpa Jember dan diri saya. Ini bukan sebuah upaya membela diri, tetapi sebuah perjuangan.

Seharusnya para anggota DPRD, khususnya pimpinannya, memahami masalah tersebut sehingga tidak menuai badai protes dari beberapa elemen masyarakat, termasuk para kepala desa. Quo vadis! Keputusan yang membawa badai politik seperti itu tidak seharusnya terjadi di Jember atau di belahan lain Indonesia. Saya sedih karena fenomena miring yang baru pertama kali terjadi itu harus terjadi di kampung halaman saya sendiri, yaitu Kabupaten Jember yang sangat saya cintai. Maafkan, wahai segenap anak rakyat dan anak bangsa yang menjadi saudara saya! Meskipun saya berada dalam pusaran kemelut ini, saya tidak mampu berbuat sesuatu. Tetapi percayalah, saya akan terus berjuang tanpa kenal lelah. Saya mohon doa dan restu panjenengan semua. Mari kita jalin kebersamaan dan persatuan dengan mengedepankan akhlaqul karimah. Mari kita bela dan kita bangun Jember yang kita cintai, tanpa kenal lelah dan menyerah!

No comments: