13 November 2010


Persema yang Gagah Berani

Pertandingan laga amal Persema Malang melawan Indo Holland akhirnya benar-benar digelar, di Stadion Gajayana, Jumat (12/11/2010) malam. Kendati ditonton tak sebanyak pertandingan sebelumnya di Surabaya, namun pertandingan itu memiliki pesan penting bagi siapapun: sepakbola tak pernah bisa diintimidasi.

Sebelumnya, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia melalui Sekretaris Jenderal Nugraha Besoes menebarkan ancaman terhadap siapapun yang terlibat laga amal yang digelar PT Liga Primer Indonesia itu. Para wasit asal Mesir yang memimpin laga di Surabaya diancam akan dilaporkan ke FIFA.

Sementara, Persema terancam sanksi, mengingat klub ini juga peserta Liga Super Indonesia yang diakui PSSI. "Pertandingan ini kan telah menyalahi prosedur. Mereka (LPI) telah menghalalkan segala cara untuk menggelar acara ini," kata Nugraha Besoes.

Namun Persema tak beringsut setapak pun untuk mundur. Manajer Persema, Asmuri, yakin PSSI akan bersikap profesional. "Saya yakin PSSI akan paham bahwa ini laga amal," katanya.

Dampak terhadap keberanian Persema ini memang masih harus dinanti. Namun, aksi main ancam oleh PSSI memang konsekuensi para bos di organisasi sepakbola nasional itu yang sejak awal memilih jalur Machiavelli. Niccolo Machiavelli pernah mengatakan dalam bukunya yang klasik, Il Principe: ada dua tipe pemimpin, ditakuti dan dicintai. Dalam dunia politik, Machiavelli tidak percaya dengan cinta dan menyatakan seorang pemimpin selayaknya memilih untuk ditakuti.

Dan itulah yang dilakukan PSSI pimpinan Nurdin Halid selama ini. PSSI lebih bersemangat menjatuhkan sanksi (yang berarti pembayaran uang denda kepada institusi itu) ketimbang memberikan penghargaan yang sepantasnya (uang hadiah juara Divisi Utama untuk Persibo Bojonegoro tak dibayar tepat waktu).

Melalui serangkaian sanksi, PSSI memunculkan rasa takut terhadap klub-klub, sehingga tak berani melawan. Right or Wrong, pokoknya PSSI. Klub-klub tak sadar, bahwa PSSI terbentuk karena kehadiran mereka. PSSI tak mengada dengan sendirinya.

Sayangnya, PSSI bukan penganut Machiavelli yang seutuhnya. Machiavelli pernah berpesan, agar seorang pemimpin memberikan hak kepada rakyat jauh sebelum rakyat memintanya, sehingga pemberian itu dianggap sebagai kebaikan hati sang pemimpin. PSSI baru sibuk memikirkan pembagian hasil untuk klub, setelah konsorsium Liga Primer Indonesia menawarkan bagi hasil yang menguntungkan bagi klub.

Tapi sudahlah, mari kembali ke Persema Malang. Persema Malang adalah anomali di Indonesia. Berbeda dengan klub-klub yang memilih bermain aman saat berhadapan dengan PSSI, Persema justru memilih untuk 'vivere pericoloso' (meminjam istilah Bung Karno: hidup nyerempet-nyerempet bahaya). Dan Persema adalah perwujudan antitesis dari praktik Machiavellis yang diterapkan PSSI: setiap tekanan akan memunculkan reaksi yang sama kuatnya.

Hari ini, antitesis itu muncul dari Stadion Gajayana, stadion legendaris kebanggaan Persema Malang. Kita tidak tahu, antitesis akan muncul dari mana lagi. Namun, PSSI sebaiknya tak perlu gusar, jika ada klub-klub yang mulai berani melakukan pembangkangan. PSSI tak perlu repot-repot kebakaran jenggot dan sedikit-sedikit main ancam. Saya khawatir, kalau sering main ancam, PSSI berganti kepanjangan menjadi Persatuan Sepakbola Suka Intimidasi. Tidak enak bukan?

PSSI justru seharusnya mengapresiasi klub-klub yang membangkang ini, karena telah berhasil meneladani apa yang dicontohkan PSSI sendiri. Bukankah PSSI juga membangkang kepada aturan FIFA dengan membiarkan Nurdin Halid, seorang yang pernah tersangkut kasus pidana, memimpin terus? Bukankah Nurdin menolak mundur, kendati semua orang sudah mengimbau untuk mundur? Orang Belanda bilang: koppig (keras kepala). Pemimpin yang koppig melahirkan pula rakyat yang koppig dan akhirnya berani membangkang karena bosan ditindas terus.

Kalau memang membangkang sudah jadi pilihan Persema yang diketuai Walikota Peni Suparto, saya hanya bisa mengucapkan: maju terus, Sam Inep. Semoga selamat sampai tujuan, menciptakan iklim sepakbola yang sehat tanpa intimidasi. [wir]

No comments: