17 November 2010



Djalal-Kusen (Sebuah Rekor Pahit)

Jika Muhammad Zainal Abidin Djalal dan Kusen Andalas resmi dinonaktifkan sementara dari jabatan bupati dan wakil bupati Jember, maka sebuah rekor tercipta di Indonesia. Tapi ini sebuah rekor yang pahit. Inilah kali pertama sepasang kepala daerah dinonaktifkan bersama-sama hanya dalam tempo kurang lebih 50 hari setelah dilantik 25 September 2010.

Kedua, ini kali pertama sepasang kepala daerah dinonaktifkan sementara bersama-sama karena menjadi terdakwa kasus korupsi. Lebih ironis lagi, kasus korupsi itu terjadi saat keduanya masih sama-sama belum menjabat sebagai kepala daerah.

Djalal tersandung kasus dugaan korupsi mesin daur ulang aspal saat menjabat kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Provinsi Jawa Timur tahun 2004. Sementara, Kusen menghadapi dakwaan korupsi dana operasional pimpinan DPRD Jember, yang diduga dilakukannya saat masih menjabat wakil ketua di sana periode 2004-2009.

Belum diketahui secara pasti sejauh mana penonaktifan kedua pemimpin ini akan berdampak pada roda birokrasi di Jember. Jauh-jauh hari, Sekretaris Kabupaten Sugiarto menampik anggapan kabar rencana penonaktifan mengganggu kinerja para pamong praja.

Sejauh ini, kabar Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi telah menandatangani surat penonaktifan Djalal-Kusen memang belum tampak mengganggu. Sidang paripurna penyampaian Rencana APBD 2011 masih berlangsung, Selasa (16/11/2010). Bupati Djalal membacakan nota pengantar di hadapan para anggota DPRD yang terhormat.

Pemerintah pun memiliki mekanisme jelas. Seorang pejabat akan ditunjuk menjadi penjabat bupati sementara, selama kedua pimpinan daerah Jember menjalani masa-masa persidangan. Namun sekuat apapun seorang penjabat bupati pilihan pemerintah, tentu secara legitimasinya di mata rakyat tak sekuat duet Djalal-Kusen yang dipilih langsung dalam pemilu.

Djalal-Kusen terpilih menjadi bupati dan wakil bupati untuk periode kedua, 2010-2015. Dalam pemilukada lalu, mereka mendapat dukungan 58 persen suara pemilih. Kemenangan telak sama persis seperti pemilukada tahun 2005, saat mereka pertama kali terpilih.

Perkara korupsi yang dihantamkan kepada keduanya oleh para lawan politik tak banyak berpengaruh terhadap preferensi rakyat. Kemenangan telak dalam pemilukada menjadi petunjuk, bahwa apapun persoalan hukum yang membelit duet Djalal-Kusen, rakyat telah memandang keduanya berhasil memimpin Jember pada periode pertama.

Namun legitimasi politik untuk Djalal-Kusen itu tak menyelamatkan mereka dari konsekuensi hukum. Setelah sempat ada kekhawatiran penonaktifan keduanya akan mengganggu stabilitas politik daerah, pemerintah pusat tetap berjalan di atas aturan: menonaktifkan keduanya sementara.

Kita sepakat menyerahkan semua kepada proses hukum. Biarlah pengadilan menentukan apakah Djalal dan Kusen bersalah atau tidak. Proses hukum ini akan menjawab semua spekulasi dan isu politik, mengingat, terutama, kasus hukum Djalal tak tertangani selama lima tahun lebih. Jika kelak, Djalal-Kusen dinyatakan tak bersalah, maka para lawan politik mereka harus berbesar hati untuk tidak menyebarkan isu lanjutan yang mendelegitimasi keduanya.

Rakyat Jember sendiri tentu berharap, proses hukum itu berlangsung cepat dan adil, sehingga menutup peluang adanya 'penyusupan' agenda politik memanfaatkan proses tersebut. Besar-kecilnya pemanfaatan peluang itu, tentu saja, tergantung pada dinamika politik di Jember. Dinyatakan bersalah atau tidak di pengadilan tingkat pertama, proses hukum masih akan berjalan panjang.

Jika Djalal dan Kusen dinyatakan bersalah, masih ada proses pengajuan banding di pengadilan tinggi, atau bahkan kasasi dan peninjauan kembali di tingkat Mahkamah Agung. Jika mereka dinyatakan tak bersalah, maka jaksa masih akan melakukan kasasi di Mahkamah Agung.

Selama proses itu masih berjalan dan belum ada penetapan hukum tetap, maka Djalal dan Kusen masih berstatus nonaktif. Penjabat bupati yang ditunjuk pemerintah sendiri memiliki keterbatasan masa jabatan. Jika proses hukum berlarut-larut dan tak segera ada keputusan final, tidak menutup kemungkinan bagi DPRD untuk memilih kepala daerah baru melalui sidang paripurna. Bila ini yang terjadi, maka sia-sialah penyelenggaraan pemilihan langsung yang memakan uang puluhan miliar rupiah itu.

Di sinilah kelemahan regulasi pemilukada kita selama ini. Tidak ada aturan tegas yang melarang seseorang yang tengah tersandung masalah hukum untuk mencalonkan diri sebagai pasangan kepala daerah. Tak adanya larangan ini disandarkan pada dalil, bahwa seseorang tak bisa dibatasi hak-haknya selama belum ada penetapan hukum final yang menyatakan dia bersalah.

Dengan dalil itu, seseorang yang menjadi tersangka tindak pidana masih bisa mencalonkan diri. Padahal, kita tahu, proses hukum yang tengah berjalan bisa memunculkan semua kemungkinan putusan. Penyelesaian proses hukum itu sendiri bisa jadi berlangsung lama, dengan berbagai alasan yuridis, seperti kasus hukum yang dihadapi MZA Djalal dan Kusen Andalas. Terlepas dari apakah kedua kasus itu sengaja dimunculkan oleh pihak tertentu, karena adanya faktor persaingan politik menjelang pemilihan kepala daerah.

Rakyat tentu tidak boleh tersandera oleh persoalan-persoalan hukum yang dihadapi para pemimpinnya. Maka, sudah saatnya regulasi pencalonan kepala daerah diubah, sebagaimana diungkapkan M. Akil Mochtar, salah satu hakim konstitusi saat berkunjung ke Jember, akhir Oktober lalu.

Ini problem hukum yang harus dipecahkan bersama. Idealnya, orang yang tengah bermasalah hukum dan sudah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi, sebaiknya tak diperkenankan mencalonkan diri. Apa yang terjadi di Jember bisa menjadi penjelasan bagus soal pandangan ini.

Namun, di sebuah negeri dengan penegakan hukum yang amburadul, pandangan ideal ini tentu saja memiliki lubang besar. Lubang besar pertama adalah belum konsistennya penegakan hukum. Di tubuh lembaga penegak hukum, masih ada perilaku yang menjadikan perkara hukum sebagai ATM (ajunan tunai mandiri), sebuah sebutan untuk laku pemerasan terhadap tersangka atau terlapor oleh oknum aparat.

Hal ini menyebabkan proses hukum tak ubahnya proses dagang sapi. Kendati para pelanggar hukum memahami bahwa mereka sulit menghentikan proses hukum, namun 'dengan ATM' mereka bisa melakukan buying time (penundaan waktu) terus-menerus, hingga kasus itu dilupakan publik. Jika kasus sudah dilupakan publik (yang itu berarti lepas dari sorotan media massa), maka tawar-menawar 'harga pas tancap gas' agar bisa lolos menjadi lebih mudah.

Lubang kedua, masih adanya pemanfaatan hukum untuk kepentingan politik jangka pendek. Tuduhan korupsi menjadi rapalan mantera ampuh untuk menjatuhkan seorang kandidat kepala daerah dalam pemilu. Ini sama ampuhnya dengan tuduhan 'PKI' atau 'cap komunis' ala pemerintah Orde Baru untuk mematikan lawan politik.

Di tengah sistim birokrasi yang karut-marut dan memang koruptif, betapa mudahnya mencari kesalahan seorang pejabat. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin mudah ditelisik kesalahannya, karena cakupan pertanggungjawaban kerjanya semakin luas dan besar.

Modus yang mudah ditemui menjelang pemilukada berlangsung: laporkan kandidat lawan yang punya latar belakang pejabat publik ke kepolisian dengan tuduhan korupsi. Bukti tak perlu kuat betul, karena aparat penegak hukum tak boleh menampik laporan yang masuk.

Ini seperti perjudian memang, namun apapun hasilnya tetap menguntungkan sang pelapor bagi kepentingan politik jangka pendeknya. Begitu laporan dugaan korupsi masuk ke meja hukum, maka itu sudah cukup menyita perhatian dan menganggu konsentrasi si terlapor yang tengah mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Jadi, syarat mengubah undang-undang itu memang tak mudah. 'Model ATM' dan pemanfaatan hukum untuk kepentingan politik harus diberantas. Ini tentu membutuhkan waktu lama, dan kita semakin pesimis saja saat melihat Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, terdakwa kasus korupsi dan mafia perpajakan, bisa seenak 'udelnya' sendiri berjalan-jalan keluar sel tahanan.

Namun, di tengah karut-marut itu, apa boleh buat, saya tetap memilih aturan yang melarang seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Tidak adil? Diskriminatif? Silakan saja jika ada pandangan demikian. Namun itu lebih baik, daripada membuat rakyat tersandera. Rakyat tak boleh terbebani oleh 'dosa' masa lalu sang pemimpin. Dengan aturan demikian, seorang pejabat publik yang memang berniat mencalonkan diri menjadi kepala daerah akan menjaga dirinya agar berhati-hati dan tetap bersih. [wir]

1 comment:

Anonymous said...

Ini merupakan sumber yang berguna indah yang anda menyediakan dan Anda memberikan gratis tidak ada biaya. Saya suka melihat situs web yang memahami nilai dari sumber yang berguna memberikan kualitas secara gratis. Ini? S yang lama apa yang terjadi di sekitar datang sekitar program.