25 July 2010

Persebaya, Mukadar, dan Perlawanan dari Pulau Buru
Oleh: Yon Moeis

Lelaki tua itu tidak menyimpan kepentingan apa-apa dalam hidupnya. Dia juga tak akan pernah bisa menjadi mafia sepak bola. Mencintai Persebaya terasa cukup lantaran dia sudah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya pada klub berjulukan Bajul Ijo itu. Dia terlihat senang ketika ada obrolan seputar Persebaya. “Persebaya tidak boleh kalah, saya senang,” katanya.

Selasa lalu, saya berada di luar Stadion Gelora 10 Nopember Surabaya. Berbaur bersama suporter, tukang becak, dan para pedagang yang ada di sekitar stadion, yang pernah dipakai pertandingan sepak bola PON VII 1969. Saya sempat mengelilingi lingkar luar stadion yang dirimbuni pohon besar itu. Di dalam, pertandingan Persebaya melawan Sriwijaya FC di babak delapan besar Piala Indonesia 2010 (langkah Persebaya terhenti) sedang berlangsung. Sementara itu, para pendukung The Green Force--julukan lain Persebaya--masih saja berdatangan. Bau keringat para Bonek membuat saya ingin lebih lama lagi bertahan.

Lelaki tua pedagang minuman dingin itu masih di sana. Dia senang-senang saja dan tak merasa terusik oleh kedatangan suporter, yang seolah ingin membanjiri Tambaksari. Dia mengatakan hampir setiap hari berdagang dan cukup merasa senang jika ada pertandingan Persebaya.

Suasana hati lelaki tua itu jauh berbeda dengan apa yang saya lihat di wajah Saleh Ismail Mukadar. Ketua Umum Persebaya Surabaya itu kini sedang risau. Dia terus saja meyakinkan setiap orang bahwa ada orang-orang yang ingin “menghabisi” dirinya dan menghancurkan Persebaya. Partai ulangan Persebaya melawan Persik Kediri telah membuat dia tidak tidur nyenyak. Lelaki bertubuh tambun itu sedang dihadapkan pada pilihan sulit. “Mereka benar-benar ingin menghabisi saya,” katanya.

Ini merupakan partai aneh. Liga Super sudah berakhir, tapi partai “penindasan” itu tetap saja dipaksakan digelar. Pesta sudah berakhir, para tamu sudah pulang, tapi pemain-pemain band itu tetap saja dipaksa bermain. Buat saya, partai ini tak hanya aneh, tapi juga menyangkut kepentingan orang per orang yang ada di Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Mereka melibatkan diri karena ada orang yang hendak disingkirkan dan ada orang yang ingin dibuat senang.

Partai Persebaya versus Persik tak lepas dari keberadaan Pelita Jaya, klub milik Nirwan D. Bakrie. Dari partai ini, bisa dipastikan ada klub yang hendak disingkirkan dan ada klub yang hendak diselamatkan. Jika tidak ada partai ulangan, Persebaya wajib mengikuti pertandingan playoff untuk bertahan di Liga Super. Tapi, jika partai ini digelar, bisa jadi Pelita yang diberi kesempatan ikut playoff.

Persebaya tentu saja tidak tinggal diam. Konon, mereka meminta Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur, menemui Samsul Ashar, Wali Kota Kediri, untuk sama-sama tidak menggelar partai ulangan itu demi solidaritas Jawa Timur. Ide ini sangat cerdas agar Persebaya tetap bertahan di Liga Super ketimbang dua-duanya degradasi ke Divisi Utama. Tapi Gus Ipul kabarnya tidak mendapat jawaban yang memuaskan lantaran Wali Kota Kediri sudah dijanjikan kemenangan 6-0 untuk selanjutnya tampil di babak playoff. Utusan kedua dikirim ke Kediri, tapi lagi-lagi mentok. Kediri tetap meyakini bahwa ada kemenangan yang akan diberikan kepada Persik. Dua nama yang menjanjikan kemenangan bagi Persik itu kini beredar di Surabaya dan sudah disebut sebagai penjahat sepak bola.

Jalan lain yang ditempuh adalah menghubungi Nirwan D. Bakrie. Salah satu tokoh Persebaya menegaskan kepada Nirwan bahwa Persebaya rela “mengalah” untuk Pelita Jaya karena NDB--demikian Nirwan biasa disebut--sudah berbuat banyak untuk sepak bola Indonesia. Alih-alih Nirwan menerima sikap keikhlasan Persebaya, dia malah marah besar dan menegaskan sangat tidak suka cara-cara seperti ini.

Saya tidak kenal dekat Saleh Ismail Mukadar. Menurut seorang teman, Saleh--lahir di Pulau Buru, Kepulauan Maluku, 25 Desember 1963--adalah orang yang tidak mudah menyerah. Dia akan melawan jika ada orang yang mencoba mencubitnya. Saleh masuk Jakarta pada 1980. Dia meninggalkan tanah kelahirannya dengan menumpang kapal motor Inaran, yang merapat di Pelabuhan Tanjung Priok. Pada 1986, dia pindah ke Surabaya dan mulai terlibat di Persebaya pada 2002.

Saleh kini sedang risau. Segala upaya dia kerahkan untuk melawan orang-orang yang hendak menyingkirkan dirinya. Jumat lalu, dia mengirim surat ke FIFA. Saleh sangat berharap Zurich, markas organisasi sepak bola dunia itu, memberikan perlindungan dan keadilan kepada dirinya.

Sekali lagi, saya tak kenal dekat Saleh. Tapi, dari wajahnya, saya melihat dia seperti lelaki tua yang saya temui di Tambaksari, yang tidak menyimpan kepentingan apa-apa dalam hidupnya dan tak akan pernah bisa menjadi mafia sepak bola. Dia, lelaki tua itu, juga Saleh, hanya ingin mencintai Persebaya.

Yon Moeis,
(tulisan ini dimuat di Koran Tempo, Minggu, 25 Juli 2010, Ilustrasi Imam Yunni)

No comments: