05 July 2010

Birokrat

Seorang politisi parlemen dengan nada sarkastis mengatakan, pemilihan umum kepala daerah membuat pegawai negeri sipil sakit jiwa. Mungkin ia berlebihan, mungkin juga tidak. Mungkin ia mengatakan itu karena rasa sebal yang tebal, tentang sebuah pertentangan internal di tubuh birokrasi setiap kali pemilihan itu tiba.

Pada dasarnya, pegawai negeri tak ubahnya tentara, bekerja dalam sebuah sistem komando dan meritokrasi. Sebagaimana dikatakan Milovan Djilas, birokrat adalah kelas baru dalam sebuah negara. Mereka solid. Kukuh. Memiliki mobilitas vertikal. Monopolistik. Mereka bergerak berdasarkan keteraturan yang diciptakan begitu mekanis melalui serangkaian regulasi.

Selama bertahun-tahun, pegawai negeri bekerja berdasarkan tugas-tugas bidangnya dan tak melampaui tugas lainnya. Setiap tugas diandaikan terprediksi dan terencana, sehingga setiap kendala pun diperkirakan dan diatur penanganannya dalam sebuah pola standar prosedur. Pola itu diulang berkali-kali menciptakan kedislipinan dan ketaatan, sekaligus menumpulkan kreativitas. Pola yang mengandaikan pucuk pimpinan (bupati, gubernur, walikota, atau atasan di kantor) sebagai pihak yang harus dipatuhi.

Tanpa kepatuhan tak ada order, keteraturan. Walau kadang tak jelas juga, batasan antara patuh dan menjilat. Seorang pegawai A bisa saja mendapat posisi yang enak (orang bilang posisi 'basah', karena di sana banyak cukup uang untuk dimanipulasi), jika pandai-pandai berdekat-dekatan dengan sang pemegang tongkat komando. Meritokrasi berjalan dalam batasan formal, bukan substantif.

Dengan logika order ini, keteraturan, seorang pegawai menciptakan dikotomi kelas: kelas dirinya yang menjadi representasi pemerintah sebagai pengatur, dan warga yang merupakan kelas yang diperintah, kelas yang diatur. Kelas yang diatur pula yang membiayai representasi kelas pengatur ini dengan pajak yang dibayarkan sebagai imbalan terciptanya order, keteraturan.

Maka kita selalu mendengar, betapa banyak privilese yang dinikmati pegawai negeri sebagai kelas pengatur. Mereka selalu naik gaji, tak perlu merasa cemas dengan krisis di negeri ini bakal membuat mereka dipecat. Mereka menikmati banyak tunjangan, tanpa tekanan kerja sekeras para buruh di pabrik-pabrik.

Mereka juga mengatur diri sendiri, dan oleh sebagian yang nakal, digunakan untuk memperkaya diri: pungutan terhadap jasa di luar ketentuan, penggelembungan mata anggaran, dan pembuatan proyek-proyek yang tak perlu untuk mencari fee. Pada tingkat yang lebih tinggi, mereka menjadi bagian dari praktik korupsi kebijakan: sebuah korupsi yang diabsahkan dan dijalankan melalui kebijakan legal.

Semua privilese itu menciptakan sebuah zona nyaman bagi kelompok birokrat. Satu-satunya gangguan bagi zona nyaman mereka adalah momentum politik berkala lima tahunan untuk memilih pemegang tongkat komando yang baru. Sang pemegang tongkat komando bisa menggeser siapapun dalam mata rantai birokrasi dengan mata rantai baru.

Maka, setiap kali momentum politik itu tiba, kita selalu mendengar cerita yang sama dan selalu berulang: pegawai negeri tidak netral, pegawai negeri berpihak kepada kandidat petahana, birokrat berpihak pada calon X yang tengah berkuasa, birokrat terpecah antara mereka yang diuntungkan dan dikecewakan. Keberpihakan adalah bagian dari alamiah mempertahankan zona nyaman. Dengan berpihak kepada salah satu kandidat, terutama kandidat petahana, mereka berharap zona nyaman itu terjaga.

Ada aturan memang yang menjaga mereka untuk tetap netral. Namun setiap aturan menyediakan lubangnya sendiri. Dan lubang terbesar justru pada logika awal pembuatan aturan yang mengandaikan semua manusia akan menaatinya, karena dalam setiap aturan ada sanksi bagi pelanggaran. Saya tak yakin lubang itu akan bisa ditambal kelak, siapapun yang bakal berkuasa. Karena setiap masa, setiap kuasa, membutuhkan lubang itu. [wir]

2 comments:

Siska Restu Anggraeny said...

ka, bikin
read more gimana sih?

bangrudy said...

tidak semua pegawai nakal...tidak semua pegawai menjilat...tidak semua pegawai apatis...tidak semua pegawai statis...tidak semua pegawai koruptif...tidak semua pegawai jelek. Contohnya aku ini...insya'allah tidak seperti itu. aku berusaha sekuat tenaga, waktu dan pikiran untuk mengajak kepada hal2 yg lebih baik dimanapun dan kepada siapapun. aku ihlas melakukan perjuangan dan doa ini untuk kemajuan negeri dan bangsaku.