30 June 2010

Tukiyat

Pernahkah aku bercerita soal Tukiyat kepadamu? Baiklah, mari aku ceritakan tentang Tukiyat. Ia biasa dipanggil Pak Yat.

Tukiyat meninggal dunia sekitar akhir Juni 2008 silam. Aku tidak tahu persis berapa umurnya. Aku perkirakan usianya kurang lebih 45 tahun.

Suatu hari, Tukiyat bersepeda motor menuruni jalanan yang tajam. Remnya blong. Ia panik, dan bersama sepeda motornya masuk ke sungai yang berisi air dangkal. Ia menghantam bebatuan.

Pak Yat dilarikan ke rumah sakit. Ia sempat bertahan sehari. Sepasang suami-istri pemilik apotek tempat dia bekerja puluhan tahun lalu sempat mengunjunginya. Separuh tubuh Tukiyat lumpuh. Namun ia masih bisa bertanya kabar anak tertua suami-istri itu.

Lalu keesokan harinya, Suami-istri itu mendengar Pak Yat sudah meninggal. Ada yang sedih. Mereka merasa sayang tidak bisa mengantarkan jenasahnya hingga ke Trenggalek.

Namun, bukan dengan kesedihan itu Pak Yat dikenang. Aku tidak mau bercerita bagaimana ia mati. Aku akan ceritakan bagaimana Pak Yat hidup.

Suami-istri itu mengenal Pak Yat saat dia masih berusia dua puluhan awal. Dia adalah kuli bangunan yang ikut membangun apotek milik suami-istri itu di Surabaya.

Saat pembangunan itu selesai, Sang juragan laki-laki mempekerjakan Pak Yat sebagai pegawai di apotek itu. Juragan lelaki itu menyukai Pak Yat. "Dia utun (istikomah, konsisten, apapun kau boleh sebut)."

Pak Yat hanya jebolan kelas dua sekolah dasar. Sang juragan yang mengajarinya menulis dan membaca kembali dengan baik. Juragan itu juga mengajarinya cara bekerja yang efisien. Dan Pak yat adalah pekerja keras yang tekun dan mau belajar.

Suatu kali, Sang juragan mengajarinya cara memotong kertas untuk bungkus puyer (obat racik). Pak Yat memotongi satu demi satu puluhan kertas itu menjadi ukuran yang lebih kecil. Sang juragan mengambil setumpuk kertas itu dan memotongnya bersamaan dalam satu tarikan pisau potong. Kertas sudah terpotong banyak dalam ukuran lebih kecil dalam waktu singkat.

Entah bagaimana ekspresi Pak Yat saat itu. Namun, Pak Yat cepat belajar untuk menjadi efisien dan efektif.

Kita bisa mengingat Pak Yat karena dua hal: bantal dan sepeda pancal. Pak Yat selalu tidur di salah satu ruang praktik seorang dokter. Ruang praktik dokter ini satu atap dengan apotek tempatnya bekerja.

Bantal Pak Yat berwarna putih. Baunya apak. Mungkin terkena keringatnya.

Sepeda pancal. Selama bekerja di apotek, Pak Yat tidak pernah naik sepeda motor. Ia mengantarkan obat pesanan pasien ke manapun dengan bersepeda pancal. Sepeda pancal, sepeda mini warna merah.

Pak Yat pernah disuruh berlatih naik sepeda motor oleh sang juragan. Mulanya ia menolak. Tapi akhirnya ia mau juga, berlatih dengan sepeda motor Yamaha warna merah milik sang juragan.

Suatu hari, Pak Yat mengalami celaka dengan sepeda motor itu. Mungkin karena tangannya tak biasa. Sepeda itu rusak, dan ia meminjam sejumlah uang kepada salah satu staf di apotek. Uang itu untuk memperbaiki sepeda yang rusak, dan digantinya dengan potong gaji.

Sang juragan tahu. Ia memanggil Pak Yat, dan melarangnya mengganti biaya perbaikan. Sang juragan mengibaratkan kerusakan itu sebagai biaya sekolah. "Asalkan biayanya tidak mahal, yaitu nyawamu, tidak masalah," katanya.

Itu yang disukai dari sang juragan. Sang juragan selalu menganggap kerusakan yang diperbuat karena proses belajar adalah biaya sekolah. Sekolah kehidupan.

Lalu apotek itu tergadaikan, karena kelicikan kawan usaha sang juragan. Suami-istri itu berpisah dengan Pak Yat. Pak Yat punya juragan baru. Mereka baru bertemu belasan tahun kemudian, saat anak pertama suami-istri itu merayakan pesta pernikahan, Juni 2004.

Pak Yat lebih gemuk. Ia tersenyum saat menyalami keluarga bekas juragannya. Sebelum pulang, ia memberi tiga anak juragan itu uang.

"Tidak usah repot-repot Pak Yat," kata sang bekas juragan perempuan.

"Mboten napa-napa, Bu," jawabnya.

Tahun 2005, Pak Yat datang pada pesta pernikahan anak kedua. Ia kembali memberikan uang, dan kali ini hanya untuk dua anak termuda sang juragan.

Belasan bahkan puluhan tahun berlalu. Pak Yat masih bekerja di apotek yang sama. Ia tak pernah berpindah pekerjaan. Ia orang yang istikomah dan ajeg.

Lalu, Pak Yat meninggal. Ia punya dua anak, dan menjadi gantungan hidup keluarga besarnya. Kita tidak tahu bagaimana perasaan keluarga Tukiyat. Sedih? Hancur? Putus asa? Andaipun aku tahu, aku tak akan bercerita kepadamu.

Aku lebih suka bercerita bagaimana dia hidup.

Sudahkah aku bercerita kepadamu tentang Tukiyat? Ia akan selalu dikenang. Selalu. [wir]

1 comment:

ROCK MADOEN RUANG said...

salam kenal bung.saya senang sekali dgn tulisan/ulasan anda.padahal saya awalx hanya tahu nama anda dr tulisan yg ada di aremania.com.disitu ada cuplikan:
" pada akhirnya, perang apapun, termasuk perang sepakbola, menyadarkan kita bahwa kemanusiaan lebih penting daripada kebanggaan.[Oryza A. Wirawan]"
lalu saya telusuri di paman google.dannyangkutlah saya di blog ini.sdikit bnyk saya membaca tulisan anada.ya hanya sekilas.tp jujur saya langasung suka.salam kenal bung.