05 June 2010

Ikhtisar Pers "M"

Dokumen Majalah Tempo edisi 05 Juni 1971 soal geliat Pers Mahasiswa. Menarik untuk disimak, bagaimana pers mahasiswa pernah begitu sangat dihormati dan menjadi referensi publik di luar mahasiswa dan kampus... pengantar bagi kawan-kawan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia yang ber-kongres di Jember...


TIAP berita dalam Harian KAMI selalu diawali dengan singkatan I-P-M-I. Dan disitu terletak persoalan: adakah Harian KAMI itu tjotjok dengan "M"-nja IPMI jang berarti Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia? Persoalan ini djuga dihadapi oleh Mahasiswa Indonesia di Bandung dan Mimbar Mahasiswa di Bandjarmasin.

Penerbitan-penerbitan itu memakai predikat "mahasiswa" tapi kelihatannja djadi "mendjurus kearah pers profesionil, dalam arti penerbitannja lebih permanen dan pengaruhnja lebih luas, tidak terbatas pada mahasiswa", begitu kata Ismid Hadad, Wakil Ketua Pimpinan IPMI Pusat. Ismid Hadad mendjelaskan persoalannja lebih landjut: "Djika IPMI lebih menekankan garis kemahasiswaan, menurut pengalaman-pengalaman jang lalu kegiatannja djadi serba amatir, dan jang lebih penting pengaruhnja kurang. Tapi kalau sebaliknja garis profesionalisme jang dipertahankan, maka IPMI akan kehilangan tempat berpidjak didunia mahasiswa".

Maka agak tjukup ruwetlah bagi pers mahasiswa untuk mentjari tempat berpidjak - meskipun baik harian KAMI maupun Mahasiswa Indonesia tetap djalan terus tanpa tergantung-gantung diruang kosong. Soalnja barangkali karena perkembangan sedjarah. Dulu pers mahasiswa berarti pers kampus, jang sebelum 1965 sebagian besar biasanja hidup setengah mampus.

Meskipun begitu, selain mahasiswa bisa menerbitkan madjalah penting seperti Gadjah Mada dari Jogja ditahun 1950-an, orang-orang kampus bisa djuga melahirkan tokoh seperti Nugroho Notosusanto dan Emil Salim, keduanja penggerak IPMI tatkala mereka lebih muda dari sekarang. Njatalah, ada manfaatnja djuga para mahasiswa melatih diri dibidang djurnalistik.

Tapi kesempatan itu sebenarnja baru benar-benar terbuka luas setelah tahun 1966. Gerakan-gerakan mahasiswa dalam menurunkan Ir. Sukarno dan menaikkan Djend. Suharto menjebabkan organisasi matjam IPMI ikut melakukan tiwikrama. IPMI-pun masuk ke Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia sebagai djuru penerang. "Keterlibatan itu, jang tak direntjanakan sebelumnja, ternjata menimbulkan nafas baru jang lebih segar dan kuat", kata Ismid pula mengingat-ingat kembali masa itu.

LP3ES.
Meskipun demikian, nafas terbaru jang lebih segar dan lebih kuat datang ditahun ini. Setelah Kongres ke-lI IPMI di Kaliurang bulan Djuli 1969, dimana program pendidikan pers ditekankan, organisasi pers mahasiswa itu mendapat pahala. Ketua Umum Pimpinan Pusat IPMI Nono Anwar Makarim diam-diam telah bekerdjasama dengan beberapa rekannja jang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial, dimana kabarnja serta Emil Salim dan Sumitro Djojohadikusumo.

Dari situ lahir LP3ES alias Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Bekerdjasama dengan Friedrich-Naumann Stiftung, LP3ES bisa mentjukongi IPMI. "Lembaga ini menjediakan bantuan uang sebesar Rp 10 djuta untuk program pendidikan IPMI setahunnja", Ismid menerangkan. Sebelumnja, IPMI didjandjikan sumbangan dari Dep. P & K sebesar Rp 100 sampai Rp 200 ribu setahun dan Dep. Penerangan hanja bisa memindjamkan gedung.

Setelah soal duwit beres, berdjalanlah program pendidikan itu. Diachir tahun lalu di Wisma Seni Taman Ismail Marzuki Djakarta diselenggarakan satu bengkel. Bengkel ini berperan selain sebagai model bagi pendidikan pers tingkat nasional, djuga untuk membereskan beberapa problim pendidikan pers -- dari soal kurikulum sampai kesoal kartu anggota. Maka disitu disahkanlah kurikulum dalam 4 tahap pendidikan: 3 tahap didaerah dan 1 tahap dipusat.

Dengan disertai oleh pimpinan-pimpinan tjabang IPMI seluruh Indonesia serta redaktur-redaktur penerbitan IPMI plus para pimpinan pusat, serangkaian tukar fikiran membuahkan pula satu sistem pendidikan jang dianggap terbaik: Pertama sistem pembimbingan dengan instruktur, kedua sistem latihan praktis dan ketiga seleksi. Selama dibengkelkan di Djakarta itu, para peserta daerah ditjeramahi habis-habisan oleh wartawan-wartawan terkemuka seperti Mara Karma, Amir Daud, Rosihan Anwar, P.K. Ojong dan lain-lain.

Meskipun ada para peserta jang bosan dan merasa sudah pintar karena mereka umumnja tokoh-tokoh pers mahasiswa didaerah, manfaat bengkel ternjata boleh djuga. Kemal. Paling tidak karena dari situ operasi tahun 1971 mulai djalan. Ismid Hadad jang baru-baru ini pulang dari keliling sampai ke Lombok, merasa puas dengan hasil jang diperoleh. Di Bandung, Jogja dan Bandjarmasin, kota-kota jang sudah mengenal pendidikan pers, para peserta tjukup meluas.

"Di Bandung kalau tidak saja stop bisa mentjapai 500 peserta", kata Ismid, seraja mendjelaskan bahwa pendidikan tahap pertama hanja boleh diikuti 200 orang paling banter. Sambutan djuga tak datang dari mahasiswa. Di Kediri, Malang, Semarang, Pakanbaru, Makassar dan Mataram ternjata pedjabat-pedjabat ikut tertarik untuk kursus pendidikan pers jang sebenarnja berpredikat "M" itu. Meskipun begitu tak semua hal berdjalan mudah.

Dibeberapa kota, kata Ismid pula, "ada sematjam ketjurigaan pada kalangan penguasa terhadap IPMI", Makassar hampir sadja tak ikut, gara-gara persoalan lama jang menjangkut konfrontasi seorang pedjabat dengan seorang anggota IPMI beberapa waktu jang lalu. Untung setelah Ismid kesana, dan bertemu sendiri antara lain dengan Pangkowilhan Letdjen Kemal Idris, djalan djadi terbuka. "Para penguasa menjadari bahwa pendidikan pers sematjam itu merupakan projek pembangunan", kata lsmid -- jang nampaknja tjotjok dengan pendirian Djenderal Kemal bahwa pembangunan harus berarti djuga pembangunan mental.

Hasilnja agaknja lebih mudah memang bila para penguasa sudah mulai melihat mahasiswa sibuk dipers, dan tidak tjuma disibukkan oleh pers dengan aksi-aksi. Jang masih djadi problim tentu sadja bagaimana supaja lewat pers-pun, tanpa lewat demonstrasi, tak terlalu sering terdjadi kesalah-fahaman. (*)

No comments: