02 April 2010

Surabaya membalikkan sejarah

Ini dokumen artikel majalah Tempo soal Final Perserikatan tahun 1988 antara Persebaya melawan Persija. Saat itu, Persebaya menang 3-2 atas Persija dan disaksikan 80 ribu yang mayoritas arek Surabaya dan Jawa Timur. The Jak saat itu belum ada, angan-angan pun tak ada. Kutipan almarhum Haji Agil Ali yang mengesankan adalah: "Kita yang menentukan, kita yang masuk final, bukan Pak Kardono, bukan tukang suap." Selamat membaca, kawan...

02 April 1988

APA yang menjadi misi kita? Apa?" teriaknya keras-keras. "Membalikkan sejarah," jawab semua pemain dengan serentak. Minggu petang itulah hari buat Persebaya. Dialog antara Agil Haji Ali, manajer tim Persebaya, dan para pemainnya mungkin terus terngiang di telinga arek-arek Suroboyo itu.

Maka, sekitar 1.000 km dari kandang sendiri, di Stadion Senayan Jakarta, ditonton sekitar 80.000 penonton yang memadati stadion Senayan ditambah jutaan yang nongkrong di depan pesawat televisi, sore itu lahir juara kompetisi divisi utama perserikatan PSSI 1987-1988. Ini bukan kompetisi biasa, inilah pertandingan tahunan lambang supremasi sepak bola amatir Indonesia.

Dan pertandingan antara Persebaya Surabaya dan Persija Jakarta memang menegangkan. Persebayalah yang mula-mula mencetak gol. Kemudian Persija menyamakan skor hingga pertandingan berjalan 2 x 45 menit skor 1-1 tak berubah. Perpanjangan waktu 2 x 15 menit ternyata menguntungkan Persebaya. Meski skor tipis, 3-2, resmilah pada sekitar pukul 7 malam Persebaya menjadi sang juara.

Hampir sepanjang pertandingan, lengkingan trompet dan irama genderang ditabuh bertalu-talu oleh pasukan hijau pendukung fanatik Persebaya. Sebagian penonton asyik berjoget dan bernyanyi. Dan begitu wasit Zulham Yahya dari Medan meniupkan peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan, serentak semua pemain dan ofisial Persebaya menjerit kegirangan. Suporter fanatik Surabaya yang mengisi setengah stadion melompati pagar, masuk ke lapangan.

Misbach dan Kusmanhadi, dua-duanya pelatih Persebaya, segera melakukan sujud syukur di tepi lapangan. Dan lihatlah, Ketua Umum Persebaya, yang adalah Wali Kota Surabaya Poernomo Kasidi, diangkat lalu diarak oleh para suporter. Kemenangan yang baru pecah, yang baru hangat-hangatnya, memang memancing emosi secara langsung. Dan emosi itulah yang berlanjut di Hotel Hasta, Jakarta Selatan, tempat mereka menginap. Semua tim - pemain dan ofisial berkumpul di sebuah ruangan yang terletak di lantai III di hotel itu.

Hadir juga di situ Ketua Komda PSSI Jawa Timur M. Said dan Ketua DPRD provinsi itu juga, Nyonya Asri Subaryadi. Manajer tim, Agil Haji Ali, membuka pertemuan itu dengan melantunkan ayat Quran surat Wal-Ashr dengan fasih. Agil lalu mencoba meluapkan kegembiraannya dengan berpidato. Ia mengenang semangat yang ia pompakan sewaktu Persebaya turun ke Senayan. Ya, dialog "membalikkan sejarah" malam itu ia ulangi. Ditambah ini. "Kita yang menentukan, kita yang masuk final, bukan Pak Kardono, bukan tukang suap," katanya berapi-api.

"Dulu mereka yang menentukan, yang ini masuk final, yang itu masuk final. Sekarang kita balik sejarah, kita sendiri yang menentukan." Tepuk tangan pun meledak, lalu: "Hidup Persebaya. Hidup Persebaya."

Kini Surabaya pantas menjadi kiblat persepakbolaan Indonesia - setidaknya untuk setahun ini. Ibu Cota Provinsi Jawa Timur itu tahun ini akan memiliki 3 kesebelasan juara nasional. Bond Persebaya juara perserikatan 1987-1988, Klub Suryanaga juara nasional antarklub 1988, dan Niac Mitra yang hampir dipastikan bakal menjuarai kompetisi Galatama 1987-1988, Mei nanti.

Kemenangan Persebaya kini - terlepas dari "cela" yang pernah mereka perbuat dalam pertandingan sebelumnya - memang pantas diakui. Di pertandingan grand final itu anak-anak Surabaya memperlihatkan kemampuan yang sesungguhnya. Bagaikan taktik perang gerilya memancing lawan meninggalkan sarang, serangan balik uJung tombak kembar Syamsul Arifin dan Mustaqim sangat efektif.

Sebaliknya, Persija juga memberikan perlawanan setimpal. Anak-anak Betawi yang memang difavoritkan menjadi juara karena para pemainnya memiliki kemampuan teknik individual yang lebih baik dibandingkan lawannya - bertarung dengan cantik dan habis-habisan. Di saat-saat terakhir hanya 4 menit sebelum pertandingan selesai, sementara skor masih 1-0 untuk Persebaya, Persija mampu menyamakan skor.

Maka, pertandingan pun diperpanjang 2 x 15 menit. Dalam perpanjangan waktu Persebaya kembali unggul 3-1. Namun, Persija tetap gigih bertarung sampai saat-saat terakhir. Hanya beberapa detik sebelum peluit berakhirnya perpanjangan waktu ditiup, Persija kembali membobolkan gawang Surabaya, menipiskan kekalahan menjadi 3-2. Apa boleh buat. Sekalipun bertanding di Jakarta, Persija tak menjadi tuan rumah di kandangnya sendiri.

Adakah faktor di luar lapangan permainan punya pengaruh? Kata manajer tim Persija Todung Barita, "Fanatisme dan keinginan pemain untuk membela daerah itulah yang membuat Persebaya juara. Mereka memang bermental juara." Ia menyiratkan, tipisnya kadar fanatisme pendukung Persija membuat anak-anak Persija tak punya dorongan ekstra untuk memenangkan pertandingan, sekalipun memiliki teknik permainan yang lebih baik.

Bagaimanapun, duel Persija dan Persebaya pada Minggu petang itu termasuk salah satu pertandingan terbaik dalam sejarah sepak bola Indonesia. Penonton puas. Seolah-olah dua kesebelasan yang bertarung itu "membayar utang" kepada pecandu bola. Tiga hari sebelumnya, Kamis pekan lalu, ketika Persija berjumpa Persebaya dalam babak penyisihan 6 Besar, dua kesebelasan itu sempat memperagakan sepak bola sabun yang berakhir seri 0-0. Mereka sama-sama tak ingin mengambil risiko kalah. Kedua kesebelasan tampil pas-pasan dan tak ada gairah mencetak gol.

Memang. Peluang Persija dan Persebaya ke pertandingan puncak hanya bisa dipastikan kalau mereka bertanding dengan hasil seri. Sebab, bila salah satu kalah, terbuka peluang buat Persib Bandung. "Buat apa ngoyo, yang untung Persib," kata Agil. Maka, pertandingan Persija vs. Persebaya berlangsung sangat membosankan. Bola hanya bergulir di sekitar lapangan tengah. Pertandingan yang juga diliput langsung oleh TVRI itu hampir saja berakhir dengan kericuhan.

Penonton jengkel dan protes melihat ulah kesebelasan yang berlaga itu. Mereka 'kan sudah membayar tiket. Dari tribun bagian atas, penonton yang tak puas melemparkan batu, bungkus minuman teh kotak, sandal, dan benda apa saja yang ada di dekatnya, ke lapangan dan tribun bagian bawah. "Bubarkan PSSI .... PSSI, kembalikan uang kami," begitu teriak salah seorang penonton. Sebelum babak pertama berakhir secara demonstratif penonton secara rombongan meninggalkan stadion.

"Baru kali ini saya melihat lebih banyak penonton yang pergi ketimbang yang datang pada saat pertandingan masih berlangsung," kata Sekretaris Umum PSSI Nugraha Besoes. Jumlah penonton, yang semula 30.000, pada babak kedua menyusut tinggal 5.000 orang. Akhirnya, Persija vs. Persebaya dalam babak penyisihan 0-0. Aki batnya, Bandung tersingkir. "Mengecewakan. Mereka telah memperagakan sepak bola ular," kata manajer tim Persib Wardaya, jengkel.

Tapi selama pertandingan kompetisi divisi utama PSSI kini, tak cuma itu satu-satunya pertandingan yang disebut-sebut sebagai "sepak bola ular". Kemenangan Persebaya atas Persipura juga dituding sebagai pertandingan "balas jasa". Orang masih ingat ketika di babak 12 Besar wilayah Timur, Persebaya di kandangnya sendiri "mengalah" 12-0 dari Persipura. Itu tak lain sebagai strategi Surabaya untuk menyingkirkan seteru lamanya, PSIS Semarang. Karena kemenangan besar Persipura atas Persebaya itu, anak-anak Jayapura terkatrol ke babak 6 Besar di Senayan.

"Kalau pertandingan sudah diatur, wah, ini tragedi nasional," kata bekas kapten PSSI Sucipto Suntoro. Ini memang bukan "sepak bola ular", tapi "sepak bola gajah". Sebelum dimulainya babak 6 Besar, Pengurus Harian PSSI sudah melayangkan surat teguran keras kepada Persebaya. Isinya, menyayangkan ulah Persebaya yang keterlaluan dan dianggap melanggar nilai-nilai sportivitas.

Tapi perbuatan yang dianggap PSSI "tak sportif" terjadi kembali dalam pertandingan Persebaya melawan Persipura di Senayan. "Balas jasa" berlangsung lagi Persebaya "dihadiahi" 4-2 oleh Persipura. PSSI tampaknya memang tak bisa berbuat banyak. "Saya cuma bisa mengelus dada," kata Ketua Umum PSSI Kardono, yang kesal melihat semua itu.

Dalam ketentuan PSSI bahkan FIFA sekalipun - memang tak diatur soal sanksi terhadap permainan sepak bola sabun. Peluang itulah yang kemudian dimanfaatkan secara luas oleh kesebelasan yang ikut dalam kompetisi divisi utama perserikatan PSSI. Mengapa? "Karena kemenangan suatu klub perserikatan tak bisa dipisahkan dengan kepentingan daerah. Kemenangan bisa berarti segalanya," tutur Nugroho maklum.

Jangan heran jika kesebelasan perserikatan yang tampil di 6 Besar didampingi oleh sejumlah pejabat tinggi daerah setempat. Persib Bandung, Persiba Balikpapan, dan Persebaya Surabaya, misalnya, dipimpin langsung oleh wali kotanya masing-masing. Dan jangan gusar pula kalau untuk mencapai kemenangan segala cara akan ditempuh oleh bond-bond perserikatan yang berlaga di kompetisi. Apalagi peluangnya tersedia. Karena itu, ada yang melihat bahwa format kompetisi di babak 6 Besar ini sudah saatnya dievaluasi, guna mencegah terjadinya permainan sabun.

"Sistem kompetisi memang memungkinkan untuk itu, kalau tidak diubah sistemnya," kata E.E. Mangindaan, Ketua Harian Persebaya. PSSI pun tanggap. Dalam Sidang Pengurus Paripurna PSSI yang berlangsung pada 25-27 Maret 1988 di Hotel Orchid, Jakarta, diputuskan bahwa kompetisi divisi utama perserikatan 6 Besar PSSI untuk putaran 1990 nanti tak lagi menggunakan sistem setengah kompetisi, tapi sistem pembagian grup. Enam kesebelasan yang yang lolos ke babak final dibagi dalam dua grup. Dua teratas dari tiap grup kembali dipertandingkan dengan sistem silang. Dua pemenangnya akan bertemu di babak grand final. Keputusan lainnya, musim kompetisi divisi I dan divisi II, yang biasanya dilakukan setiap tahun sekali, kini diubah menjadi dua tahun sekali.

Adakah itu telah menjamin permainan sabun bakal tersingkirkan? "Sistem apa pun tetap tidak bisa menJamin tak adanya permainan sabun," kata Acub Zainal, Ketua Tim Penanggulangan dan Pemberantasan Masalah Suap (TPPMS). "Kalau pemain dan pengurusnya masih kurang alar, tldak punya moral, tidak punya jiwa sportivitas, ya sama saja. Permainan sepak bola sabun akan terus ada." Acub mestinya benar. Rusaknya wajah persepakbolaan Indonesia tampaknya sudah terlalu parah.

Pertandingan babak 6 Besar yang baru saja berlangsung itu malah bukan saja diwarnai permainan sabun, tetapi lebih dari itu: penyuapan. Perserikatan yang pernah digembar-gemborkan sebagai wadah pemain sepak bola murni amatir dan kebal suap, ternyata, hanya dongeng. Hampir dari semua pertandingan di babak 6 Besar itu tercium adanya perbuatan tercela tersebut. "Laporan mengenai kemungkinan itu sudah masuk sejak Jumat kemarin," kata Acub Sabtu pekan lalu, sehari sebelum pertandingan puncak.

"Sekarang TPPMS sedang bekerja mengumpulkan bahan." Akibatnya fatal buat PSSI. Pencandu sepak bola tampaknya semakin kritis dan sudah tahu soal permainan suap dan sabun. Terbukti jumlah penonton, yang biasanya bergairah memenuhi Senayan menyaksikan pertandingan 6 Besar, menyusut drastis.

Pemasukan dari hasil penjualan karcis di luar pertandingan grand final cuma mencapai Rp 391 juta jauh dari perkiraan semula, Rp 450 juta. Padahal, tahun lalu kocek PSSI masih bisa menggelembung dari penyelenggaraan 6 Besar ini dari penjualan karcis masuk terkumpul sekitar Rp 520 juta. Sorak-sorai penonton yang mengiringi kompetisi 6 Besar tahun ini memang tak segemuruh tahun-tahun sebelumnya.

Tapi "perang" di luar lapangan hijau justru tahun ini berlangsung lebih seru. Rombongan bis dan mobil suporter Persebaya, yang melaju pergi dan pulang dari Jakarta lewat Semarang, harus menghadapi hujan batu. Inilah buntut permainan sabun - atau lebih dikenal dengan sepak bola gajah - yang diperagakan Persebaya ketika "mengalah" 12-0 dari Persipura, yang mengakibatkan tersisihnya PSIS Semarang. Apa pun yang terjadi Persebaya sudah membuktikan bisa "membalikkan sejarah". Kecuali,ukuran kalah-menang dalam sepak bola bukan sekadar gol yang banyak.

(Ahmed K. Soeriawidjaja, Bachtiar Abdullah, Budiono Darsono, Yopie Hidayat)

No comments: