02 April 2010

Bandar suap dalam sepak bola kita

Bandar suap era 1980-an menyatakan dalam kompetisi Divisi Utama tim yang sulit didekati adalah Persija dan PERSEBAYA. Persebaya, tak terdekati oleh bandar taruhan, karena datang ke Jakarta dengan uang yang mencukupi, sehingga para pemainnya sulit dihubungi. Berikut dokumen Majalah Tempo edisi 02 April 1988 saat Persebaya juara Perserikatan 1987/1988.


BAGAIMANA menyusun tim PSSI yang tangguh? "Serahkan saja kepada para penyuap Mereka tahu persis mana pemam yang sungguh-sungguh terbaik," kata seorang pengurus PSSI. Komentar tokoh sepak bola yang menolak ditulis nama ini bukan tak beralasan. Sudah bukan rahasia lagi, pemain yang direkrut penyuap dalam bisnis haram di lapangan hijau selalu mereka yang terkenal tangguh. Tak percaya?

Simaklah daftar panjang pemain PSSI yang disebut-sebut terlibat suap selama ini, hampir semua pemain kelas satu: Ramang, Omo, Ronny Paslah, sampai Bambang Nurdiansyah. Kehebatan bandar memilih pemain yang akan mereka pakai, kata pengurus PSSI tadi, tak kalah dibandingkan para pemandu bakat tingkat nasional. Malah, kata tokoh itu lebih lanjut, pilihan mereka bisa lebih jitu dibandingkan pilihan tim pemandu bakat PSSI, yang sekarang dipimpln bekas pemain nasional Berce Matulapelwa.

Betapa tidak. Tim hanya memantau perkembangan pemain dari penampilan mereka dalam berbagai kompetisi, baik perserikatan maupun galatama. Padahal, penampilan itu belum tentu pemunculan terbaik mereka. Pada kompetisi perserikatan lalu, misalnya, dengan munculnya sepak bola ikrar, sepak bola gajah, sandiwara, main sabun, dan sepak bola suap, bagaimana mungkin tim pemandu bakat PSSI bisa mengevaluasi kemampuan seorang pemain. Adalah mustahil bagi Berce dan kawan-kawan menilai keterampilan seoran bintan bila timnya sudah diperintahkan angan menang, seperti pada pertandingan Persebaya melawan Persija, Kamis pekan lalu.

Sekretaris Umum PSSI, Nugraha Besoes, membenarkan kesukaran dalam memantau keterampilan pemain-pemain sekarang. "Sulit diketahui kapan mereka main benar-benar, dan kapan main pura-pura," katanya. Adalah suatu hal lumrah selama kompetisi lalu, hari ini seorang pemain tampil begitu memukau, dua hari kemudian berubah seakan baru belajar main bola. "Masa ada pemain nasional bisa jatuh ketika mau menendang bola, dan bola itu pun didudukinya," kata Nugraha.

Sebuah dagelan? Boleh jadi. Ada sejumlah contoh yang bisa membuat orang sampai pada kesimpulan itu. Misalnya, ada seorang pemain belakang yang biasanya begitu tangguh, dan selalu mengundang decak kagum penonton, tiba-tiba saja berubah menjadi rapuh. Bahkan ia seperti memberi peluang kepada lawan mengobrak-abrik pertahanan yang dikawalnya.

Ada pula pemain depan yang menggebugebu melewati beberapa pemain belakang lawan. Tiba di depan gawang musuh, dan berhadapan dengan penjaga gawing yang sudah pasrah, tiba-tiba saja bola ditembakkannya sekuat tenaga, dan melayang tinggi di atas mistar gawang. Kapan gol bisa tercipta selama pemain bertingkah seperti itU ? "Kalau sudah begitu, mau bilang apa lagi," kata seorang tim manajer kesal.

Menurut sejumlah manajer tim perserikatan, pengurus PSSI, pengurus galatama, dan seorang bandar taruhan yang cukup beken di Jakarta, "dagelan" yang terjadi di Stadion Utama Senayan, selama hampir dua pekan, bukan lakon yang layak ditertawakan. Mestinya ditangisi. Klub-klub galatama juga pernah mengalami penderitaan serupa. Empat tahun yang lampau, misalnya, banyak penonton yang terkejut menyaksikan hasil pertandingan dalam kompetisi klub yang disebut sebagai universitas sepak bola Indonesla itu. Ada pertandingan yang berakhir 3-0, ada 4-0, ada 6-0, dan ada 14-0.

Bos tim Cahaya Kita, Kaslan Rosidi, mengungkapkan kepada pers bahwa ada permainan suap di belakang kekalahan-kekalahan mencolok itu. Menurut Kaslan, pelakunya adalah Lo Bie Tek, pengusaha yang jadi pengurus klub Cahaya Kita. Keduanya kemudian beperkara di pengadilan. Setelah itu, permainan suap di klub galatama terbongkar secara beruntun. Selain Lo Bie Tek, bandar taruhan lain yang banyak disebut-sebut sebagai penyuap adalah Sun Kie.

Akibatnya, pertandingan-pertandingan galatama mulai ditinggalkan penonton, sehingga banyak klub yang bangkrut, lalu bubar. Sejak itu pula kompetisi perserikatan menjadi tempat pelarian pencandu sepak bola dan bandar suap. "Sekarang suap di perserikatan lebih parah, tapi mereka malah menutup-nutupi seakan tak terjadi apa-apa," kata pengurus PSSI yang tak mau disebutkan nama tadi. Ia menduga, bila skandal suap di perserikatan dibongkar, mereka akan ditinggalkan penonton pula. "Penonton toh akhirnya juga muak dengan berbagai dagelan di lapangan selama kompetisi lalu," katanya.

Usaha membeberkan skandal suap itu sudah terlihat di lingkungan Persib. Sehari seusai kompetisi perserikatan 1987-1988, di Bandung sudah pecah kabar bahwa pengurus Persib mencurigai sejumlah pemainnya terlibat suap. Diduga hal itu terjadi pada waktu Persib, yang di kertas unggul dari lawan, hanya mampu bermain imbang dengan PSMS: 0-0. Padahal, pertandingan itu merupakan pertandingan sangat menentukan bagi Persib, karena bisa membuka peluang bagi mereka ke grand final.

Nugraha, yang juga salah seorang pengurus PS Uni, klub yang turut menyumbangkan pemain untuk Persib, sempat berlinang air mata menyaksikan permainan anak-anak Bandung. Betulkah penampilan pemainpemain Persib berbau suap ? Manajer tim Persib, Wardaya, mengatakan, "Saya tak mau dengan mudah menuduh pemain." Tapi di kepalanya tercatat nama beberapa pemain yang dicurigainya.

Wali Kota Bandung, Ateng Wahyudi, menurut Wardaya, juga menaruh prasangka yang sama. "Saya tidak tahu siapa yang kena suap. Saya tidak mencurigai siapa-siapa. Wong saya masih menyelidiki, kok," kata Ateng. Sementara itu, sejumlah pemain, seperti Adjat Sudradjat, Iwan Sunarya, Robby Darwis, dan Sukowiyono, sudah menantang agar kasus suap itu diungkap, dan pelakunya ditindak. "Jangan kami dijadikan kambing hitam, karena kami gagal mengantar Persib menjadi juara," kata Adjat.

Tuduhan suap biasanya memang baru bergema setelah sebuah tim kalah. Tapi membuktikan kasus suap bukan pula mudah. Seperti kata manajer tim PSMS, Amran Y.S., "Suap itu terasa ada, tapi dibuktikan sulit." Dua bandar taruhan di Jakarta yang ditemui TEMPO mengungkapkan bahwa hubungan penyuap dengan pemain biasanya sudah terjalin lama dan akrab. "Tanpa ada kompetisi pun, bila pemain butuh uang selalu dibantu," kata seorang di antaranya.

Dengan demikian, tak terlalu sulit bagi para bandar menghubungi pemain untuk mengirimkan order yang dikehendaki. Terkadang penyuap itu cukup berdiri di bagian depan tribun dan memberi kode bagi pemain yang sedang keluar dari kamar pakaian menuju lapangan pertandingan.

Inilah beberapa isyarat dari penyuap kepada pemain. Bila penyuap mengacungkan jempol, berarti ia minta tim itu bertarung habis-habisan untuk menang. Bila ibu jari dan telunjuk membentuk bulatan, berarti hasil pertandingan yang dikehendaki seri. Bila kedua tangannya diangkat, berarti tim harus menyerah. Isyarat itu bisa berubah-ubah. Setiap perubahan biasanya mereka tentukan bersama. Para pemain yang disuap biasanya baru mcncrima bayaran mereka setelah pertandingan usai, dan sang bandar menang.

Soalnya,bukan tak mungkin terjadi, sekalipun para pemain sudah mengalah, sesuai dengan permintaan bandar, tim lawan tak mampu bikin gol sehingga hasil pertandingan jadi lain. Atau boleh jadi juga pemain lawan sudah diperintahkan menyerah oleh bandar lain. Bila ini yang terjadi, permainan bisa kacau, dan memuakkan. Kedua tim sama tak mau menyerang, dan bola cuma bergulir dari kaki ke kaki di lapangan tengah. Bisa pula terjadi, mereka yang sudah disuap sudah malas-malasan bikin gol, tapi temannya yang tak tahu apa-apa justru bermain ranggi, sehingga tim itu akhirnya malah menang.

Apa pun alasannya, yang jelas kalau itu terjadi, jangan harap pemain yang sudah disuap akan mendapatkan bayaran mereka. "Malah mereka bisa kena marah," kata sebuah sumber TEMPO. Berapa jumlah bandar taruhan yan beroperasi dalam setiap pertandingan? Kabarnya, tak sedikit.

Belakangan malah bertumbuhan pula bandar-bandar baru, terutama di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan. Jaringan mereka merentang sampai ke Singapura, Malaysia, Muangthai, bahka Korea Selatan. Seorang bandar judi terkemuka dari Jakarta, misalnya, pernah beroperasi sampai ke Korea Selatan, ketika berlangsung Asian Games, dua tahun lalu.

Entah bagaimana caranya, "tokoh" ini bisa hadir dalam briefing ofisial dengan pemain PSSI sebelum pertandingan di Kwang Ju. Untung, ketika itu sang bandar memegang tim Indonesia. Artinya, yang disuap justru pemain lawan Indonesia. Adalah tokoh yang beroperasi pula dalam SEA Games di Jakarta, tahun lalu. Waktu itu, yang digarapnya adalah tim Burma, Singapura, dan Muangthai. Muangthai, misalnya, dibeli untuk menyerah pada Malaysia di semifinal. Maka, Malaysialah yang menjadi lawan Indonesia di final. "Kami tidak tahu itu, yang penting dia 'kan tidak menyuap pemain Indonesia," ujar seorang pengurus PSSI.

Pada kompetisi perserikatan lalu, bandar-bandar taruhan ini ikut meramaikan suasana Menurut kedua penyuap tadi, dan dibenarkan oleh beberapa sumber lainnya, sejumlah besar pemain beken di sini sudah jadi peliharaan para penjudi. Kabarnya, beberapa pemain sebuah tim dari wilayah Barat sampai berani menandatangani kertas segel kosong sebagai tanda kesetiaan mereka pada bandar. Padahal, bila suatu saat mereka berkhianat, sang bandar bisa mengisi kertas segel itu dengan berbagai pernyataan yang bisa menjerat mereka.

Kedua bandar - yang diwawancarai secara terpisah - membenarkan bahwa dalam kompetisi kali ini tim yang sulit didekati adalah Persija dan Persebaya. Mengapa? Seorang bekas pemain nasional dan seorang temannya pernah digebuki petugas keamanan Persija, karena berusaha mendekati pemain. Peristiwa itu cukup menciutkan nyali penyuap. Akan halnya Persebaya, tak terdekati oleh bandar taruhan, karena datang ke Jakarta dengan uang yang mencukupi, sehingga para pemainnya sulit dihubungi. Akhirnya, memang kedua tim itulah yang melaju ke grand final. (*)

No comments: