08 April 2010

Politik Belah Duren

Makan duren dimalam hari
Paling enak dengan kekasih
Dibelah bang dibelah
Enak bang silahkan dibelah

(teks lagu Belah Duren)

Tirai panggung politik dibuka, dan Julia Perez tampil menjadi bintang. Ia beberapa hari belakangan ini bikin heboh, setelah menyatakan niat untuk mencalonkan diri menjadi bupati Pacitan (minimal wakil bupati, bolehlah). Orang pun ribut, ada yang senang, ada yang gamang: akankah kota kelahiran Susilo Bambang Yudhoyono dipimpin seorang artis seksi.

Terpujilah demokrasi yang membawa seorang aktor menjadi presiden Amerika Serikat dan gubernur California, atau seorang artis film biru menjadi anggota parlemen di Italia. Terpujilah demokrasi yang membawa cucu pemimpin fasis Benito Mussolini kembali ke parlemen bersama barisan pemuja fasisme baru.

Maka, terpujilah demokrasi yang memberikan kesempatan Jupe (saya suka sapaan akrab Julia Perez) untuk tampil ke panggung pemilihan umum, entah dari mana dia berangkat. Demokrasi menempatkan liberalisme dan individualisme sebagai basis utama, penghormatan atas partisipasi perorangan di atas kerelaan hati. Dari perspektif ini, partisipasi atas kerelaan hati, agaknya keinginan Jupe patutlah disambut baik. Di tengah mulai munculnya apatisme politik dan demokrasi, Jupe justru rela hati masuk ke dunia itu.

Berbekal kecantikan? Keseksian? Popularitas keartisan? Atau gaya nyanyi 'Belah Duren'? Entahlah. Modal politik bisa datang dari mana saja, termasuk citra yang dibentuk dengan pupur tebal media massa. Toh modal politik tak harus lurus dengan kemampuan dan kapasitas berpolitik. Demokrasi sebagai prosedur juga tak selalu menghasilkan apa yang dianggap sesuai dengan nalar. Apa yang dikehendaki rakyat tak selamanya sesuai dengan nalar mereka yang merasa punya otoritas moral dan filosofis. Oleh sebab itu kenapa Hitler bisa menjadi pemimpin Jerman yang dipuja-puja.

Bagaimana dengan hati nurani? Kita juga tak tahu, apakah di bilik suara rakyat memilih karena kata hati (setelah merenung dalam soal masa depannya), atau hanya sepintas lalu saja (yang penting selesai menunaikan tugas, atau hanya mengikuti apa yang banyak dipilih tetangga, atau memilih yang banyak muncul di televisi, atau bahkan karena ditekan juga diiming-imingi duit). Kita lebih memerhatikan hasil dari sebuah prosedur formal demokrasi, bukan proses bagaimana demokrasi itu bisa menghasilkan 'buah yang bagus dari pohon yang baik'.

Hadirnya Julia Perez dan artis-artis tenar lain (apalagi jika benar-benar dicalonkan), sekali lagi, menunjukkan bagaimana kaderisasi pemimpin di tubuh partai memang urusan gawat. Partai politik kita tak ubahnya klub sepakbola yang berburu kemenangan dan tropi juara, lalu mentranfser pemain-pemain asing dan agak abai dengan aspek pembinaan bibit-bibit pemain politik di tubuh sendiri.

Politik memang bagian dari konsensus untuk mengelola hidup bersama. Pemilu, termasuk pemilihan bupati, adalah wujud konsensus itu. Partai-partai menyodorkan calon-calon mereka kepada rakyat untuk dipilih atau ditolak. Namun adilkah proses konsensus itu? Benarkah partai-partai menghadirkan calon-calon berdasar apa yang diperlukan masyarakat, dan bukannya diinginkan oleh elite partai itu sendiri.

Saya khawatir, kehadiran Jupe adalah karikatur pragmatisme politik di negeri ini. Partai gagal memaknai politik sebagai proses substantif dan demokrasi bukan sekadar prosedur. Klise memang, menyedihkan tapi inilah nyatanya. Saya juga cemas, partai hanya membutuhkan 'boneka' di pemerintahan, sebuah wayang yang dimainkan sang dalang. Bagaimana tidak begitu, jika seorang artis yang seumur hidupnya tak pernah tampak sedikit pun peduli dengan politik lantas dipasang di pucuk kekuasaan.

Kita tidak menutup mata, ada beberapa artis yang sejauh ini bisa cepat menyesuaikan diri di tampuk pemerintahan seperti Dede Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Barat) dan Rano Karno (Wakil Bupati Tangerang). Namun, mereka berdua mengawali karirnya sebagai politisi, dan tidak memotong jalur pintas menuju pucuk kekuasaan. Ada proses, dan tak semua orang bisa menjalani dan memahami proses itu.

Jadi, akankah kita berjudi? Inilah ironi demokrasi. Tapi semoga tak membuat kita berputus asa menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Hitung-hitung sembari mendengarkan Jupe menyanyi Belah Duren. [wir]

No comments: