22 January 2010

William

'Kekalahan' mengingatkan saya pada adegan ini: Seorang pria berambut gondrong berbadan tegap dibawa ke sebuah panggung. Pakaiannya acak-acakan. Tangannya terikat. Lehernya dibebat tali besar, ditarik oleh beberapa serdadu. Ia berjalan di setapak yang terbentuk oleh kerumunan manusia, yang segera saja melemparinya dengan buah-buahan busuk.

Di atas panggung, seorang berpakaian merah, dia seorang inkuisitor yang ditemani seorang algojo bertopeng dan bertubuh besar menantinya. Di atas sebuah meja, telah tertata rapi berbagai model pisau dan alat penyiksa. Sang Inkuisitor tersenyum sinis.

"Jika kau mau meminta maaf dan mencium emblem di bajuku ini, maka kau akan dihukum mati dengan cepat," suara Sang Inkuisitor dingin, penuh ancaman.

Pria berambut gondrong itu diam. Tangan dan kakinya yang diikat ke empat penjuru mata angin ditarik oleh kuda hingga otot-otot dan tulangnya merenggang. Ia kesakitan, tapi tak mengaduh.

Siksaan berjalan terus di tengah teriakan ngeri orang banyak yang menyaksikan. Namun pria itu masih diam, sampai suatu titik Sang Inkuisitor menyuruh semua yang ada di lapangan itu untuk diam, karena si pria bertubuh tegap hendak mengeluarkan sepatah kata.

Dengan kerongkongan yang sakit dan lidah yang terasa kelu, si pria susah payah berteriak: FREEDOM! Merdeka.

Pria itu William Wallace, pejuang legendaris Skotlandia abad pertengahan yang melawan penjajahan Monarki Inggris. Dalam film Braveheart, William tak pernah termotivasi untuk berperang. Ia hanya ingin hidup tenang bersama istrinya, di sepetak lahan di tengah pegunungan Skotlandia yang hijau.

Namun betapa hebatnya hidup mentransformasi sebuah mimpi. Ketika prajurit Inggris membunuh calon istrinya dan merusak desanya, tahulah William: ia ditakdirkan untuk melawan. Hidup tidak seindah surga, dan keadilan tidak turun begitu saja dari langit. Dan, ia melawan, sebenar-benarnya melawan. Hidup mulia atau mati sebagai syahid.

Pada akhirnya, William memang mati. Tubuhnya dimutilasi, dan dikirimkan ke empat penjuru mata angin sebagai peringatan kepada rakyat Skot untuk tidak memberontak.

Kerajaan Inggris menyatakan William telah dikalahkan. Tapi benarkah ia telah ditaklukkan? Kita semua terbiasa mengasosiasikan 'mengalahkan' dengan 'menaklukkan'. Kekalahan kita anggap sebagai ketundukan terhadap yang menang. Yang menang merampas semuanya, termasuk kepatuhan dari yang dikalahkan. Dalam hal ini, menang dan kalah kita garis dalam dua warna, hitam dan putih. Tidak ada elan hidup yang menghargai 'kekalahan' sebagai bagian dari perjuangan panjang terhadap sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran.

Tak heran, jika kita sering salah baca, menganggap sebuah proses berhenti pada 'kemenangan' dan 'kekalahan'. Kita terbiasa menghargai manusia dari pencapaian akhir 'menang' atau 'kalah'. 'Menang' kita sanjung, 'kalah' kita tendang: tak ada urusan apakah kemenangan itu dicapai dengan cara-cara kotor yang melukai semangat perjuangan itu sendiri.

William memang dikalahkan. 'Yang lemah' akan selalu merasa terteror saat merasa kalah. Namun, William tidak lemah dan tak bisa dilemahkan. Ia keras kepala. Setidaknya ketika ia memekik 'merdeka', orang tahu bahwa Sang Inkuisitor gagal menciptakan rasa takut.

Saya merasa ada epos dalam kekalahan William. Mungkin juga sesuatu yang agung. Kekalahan tetap menjadikan manusia menapak tanah. William telah terkapar di medan tempur. Namun saya kira ia tak layu. Setidaknya, ia tak lemah dan telah sebenar-benarnya melawan demi prinsip-prinsip hidupnya. Saya kira itu yang terpenting. [wir]

No comments: