25 June 2009

Pasemon

Hari ini, 25 Juni, 25 tahun lalu. Saya tidak tahu persis bagaimana Paris, saat mendengar kabar Michel Foucault meninggal dunia. Usia saya waktu itu tujuh tahun, jauh di Indonesia, dan saya belum tahu siapa itu Foucault, seorang pemikir berkepala plontos dan berkacamata.

Namun, jika Le Monde, sebuah harian tenar Prancis, dan edisi Minggu Liberation, menyediakan laporan khusus untuk Foucault, saya membayangkan Prancis memang terguncang. Ia mati dalam usia 57 tahun, setelah demamnya memburuk pada pukul satu siang. Konon ia terkena AIDS.

Foucault dimakamkan 29 Juni 1984 di Vendeuve-du-Poitou, dengan diiringi kawan-kawannya. Gilles Deleuze, pemikir posmodernis Prancis, membaca kata pengantar dari buku karya Foucault, Use of Pleasure. Use of Pleasure, salah satu dari trilogi sejarah tentang seksualitas: sebuah trilogi mengenai wacana kekuasaan yang luar biasa.

Saya mulai membaca Foucault saat aktif di pers kampus, dan mulai sedikit memahami: bahwa kekuasaan bukanlah kepemilikan yang ajeg. Selama ini dalam teori kekuasaan, apa yang disebut sebagai kekuasaan seakan-akan seperti barang yang bisa diperdagangkan. Akhirnya, kekuasaan dalam pengertian ini selalu terkait dengan jabatan dan posisi-posisi politik.

Foucault membantahnya. Kuasa selalu berhubungan dengan wacana, dengan pengetahuan. Kekuasaan terkait dengan menyatakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang tepat dan mana yang meleset, mana yang absah dan mana yang tak absah. Semuanya tak harus terkait dengan kekuasaan sebagai kepemilikan individu.

Setiap zaman memiliki nalarnya sendiri, terkandung dalam wacana dan membentuk struktur masyarakat. Sejarah kekuasaan adalah sejarah pertarungan wacana, menghasilkan wacana baru. Dengan teorinya, Foucault telah 'memenggal kepala sang raja'.

Contoh favorit saya adalah bagaimana Foucault menjelaskan perubahan model penghukuman dalam Discipline and Punish. Pada masa lalu, di Eropa dan mungkin seluruh belahan di dunia, pesakitan mendapat hukuman badan di depan khalayak ramai. Mereka diarak ke alun-alun, di hadapkan ke orang banyak yang mencaci-maki dan melemparkan telur busuk, dan kemudian digantung atau dipancung.

Hari ini, kita semua menganggap itu hukuman yang tak berperikemanusiaan. Kita mengutuk kebiadaban itu. Namun kita tak bisa membiarkan ketidaknormalan bergentayangan. Kita menemukan penjara, dan mulai mengurung badan para pelaku kejahatan.

Yang hebat dalam model penjara adalah bukan penghukumannya, tapi pendisiplinan. Setiap narapidana didisiplinkan melalui laku yang reguler dengan penuh pengawasan: bangun pagi, makan pagi, kerja bakti, makan siang, kerja bakti, makan malam, tidur lagi. Kalau kita butuh mengenyahkan para terhukum ini: cukup ditembak atau dimasukkan ke ruang gas, tanpa dipamerkan ke orang ramai.

Andai Foucault masih hidup, saya ingin mengajaknya berdiskusi tentang bagaimana diskursus berkembang dalam kehidupan politik kita. Saya merasa seperti ada yang bergerak dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Tahun 1999 hingga 2004, orang masih ramai tentang presiden perempuan. Perempuan di tampuk pimpinan menjadi sesuatu yang tak absah dan menyimpang. Mereka yang puritan merasa perlu menormalisasi dengan doktrin-doktrin agama dan tabu-tabu.

Masa berganti, dan ini baru lima tahun setelah hari itu. Kita sudah tidak ada urusan lagi soal perempuan jadi presiden atau tidak. Tapi kita mulai bicara hal-hal yang lain, meski tetap: bagaimana seorang pemimpin seharusnya.

Namun orang tak lagi bicara pada sosok, pada individu, tapi pada proses. Mendadak pemilu, sebuah kontestasi politik yang seharusnya menawarkan keterbukaan program dan janji, hanya berpusing-pusing pada itu-itu saja: citra dan etika.

Saya mungkin berlebihan atau terlalu cemas. Tapi saya melihat ada wacana yang didesak-desakkan untuk mengklasifikasikan: mana proses pemilu yang beretika, mana yang ugal-ugalan. Mana yang bercitra ksatria, mana yang pengecut.

Saya menanti dengan harap-harap cemas, apa yang bakal terjadi setelah janji-janji politik di sebuah kerumunan massa, dianggap lebih rendah derajatnya daripada klaim-klaim. Janji bukanlah keberhasilan, tapi klaim adalah tanda kesuksesan, karena menyuguhkan bukti yang bisa dipajang di layar televisi.

Kita seperti sudah lupa bahwa apa yang sukses selalu punya lubang untuk dibicarakan. Sementara janji adalah perwujudan itikad dan niat untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik. Keduanya, saya kira, tak bisa dipertandingkan: karena jika demikian, apa pula guna sebuah kontestasi politik.

Kita mempercayai demokrasi, bukan karena ia pasti benar. Kita memilih demokrasi, karena ia menyediakan sistem bagi rakyat untuk mengoreksi pilihan-pilihannya sendiri, seperti pemilu. Dan substansi demokrasi sendiri adalah janji tentang kebebasan dan kesejahteraan.

Tapi, kita memang menyukai klaim, karena klaim tak butuh perdebatan. Ia sudah ada, dan yang kasat mata tak perlu diributkan. Kita tak menyukai perdebatan, karena sebagaimana kata Goenawan Mohamad, dalam sebuah tulisannya: "tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan telaah."

Tapi bukankah itu yang seharusnya ada dalam pemilu: perdebatan. Rakyat perlu mendebat para calon pemimpinnya, agar mereka tak terperosok di lubang yang sama seperti keledai.

Sayangnya, daripada repot-repot berdebat soal apakah yang neoliberal atau apakah yang kerakyatan, kita diarahkan untuk memilih pasemon, sindiran. Pada akhirnya, keterusterangan adalah pelecehan, dan pasemon adalah kesopanan. Sindiran dipandang lebih etis hari-hari ini daripada teriakan nyaring tentang apa yang salah dan disembunyikan pada lima tahun kemarin.

Kita seperti kembali di sebuah masa, di mana seorang jenderal yang selalu tersenyum tak mau pers dan oposisi bicara terus terang. Sang jenderal lebih suka disindir-sindir dan menyindir, bermain-main dengan eufemisme.

Foucault bicara tentang ruang-ruang psikiatri, praktik-praktik kedokteran, ranjang-ranjang perkawinan, ruang-ruang kelas, dan penjara sebagai tempat mereproduksi pengetahuan dan apa yang dianggap benar. Hari ini, kita bicara soal iklan-iklan dan survei-survei yang melakukan fungsi itu. Mereka memproduksi pengetahuan baru, yang mendefinisikan bagaimana proses politik yang seharusnya benar: satu putaran atau dua putaran, efisiensi anggaran atau pemborosan. Orang lalu lupa, bahwa satu dua putaran, efisien, atau boros, bukan itu soalnya. Soal utamanya adalah apakah proses politik ini berjalan dengan benar dan tanpa pat-gulipat.

Kini pertarungan kekuasaan politik bukanlah ditentukan oleh individu-individu belaka, tapi pengetahuan yang dibentuk dan membentuk individu-individu itu. Maka, kata Foucault, "Jangan pernah berharap politik menjaga hak individual. Individu adalah hasil kekuasaan."

Sekali lagi mungkin saya salah. Mungkin saya terlalu cemas atau pemurung seperti Foucault, bahwa kita semua berada dalam jaring-jaring struktural wacana dan episteme yang sulit diudar.

Mungkin saja saya terlalu serius mencurigai adanya episteme baru, yang mengarahkan masyarakat kita dalam memaknai sebuah proses politik. Mungkin saja apa yang terjadi hari ini, dalam proses politik kita, sekadar 'momento': sesuatu yang sesaat, bukan bagian yang laten dan permanen dalam kesadaran atau ketidaksadaran politik orang ramai. Tapi andai saya benar ada episteme baru dalam kesadaran masyarakat soal politik, bagaimana itu bisa terjadi.

Terakhir, saya senantiasa berdoa, semoga dalam tulisan ini saya sudah cukup berpasemon. [wir]

No comments: