18 June 2009

Hikayat Bank Gakin (3)
Urusan Nama, BI Tegur Bank Keluarga Miskin

Musuh Tutik Aspita bertambah. Sejak menjadi pengurus Bank Gakin Wonosari di Jember, Jawa Timur, ia diincar oleh para rentenir. Kehadiran Bank Gakin telah membuat warga miskin tak lagi menjadikan para rentenir sebagai tempat meminjam uang.

Tutik mengatakan, fitnah menghampirinya. Bermacama-macam fitnah itu, dan sebagian besar menyangkut urusan duit. Namun, ia dan kawan-kawannya jalan terus.

Gagal menebar fitnah, para rentenir putar haluan, mencoba memanfaatkan Bank Gakin. Ia meminjam uang dari Bank Gakin dalam jumlah besar. "Bukan untuk modal usaha, tapi untuk dikembangkan. Kita tahu, dan kita tidak pinjami," kata Tutik.

Namun rentenir bukan satu-satunya 'lawan' Bank Gakin. Di luar dugaan, Bank Gakin justru dianggap sebagai 'lawan' bank formal. Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Jember, Mirfano, mengatakan, sudah berupaya agar bank formal mau bermitra dengan Bank Gakin. Harapannya, tentu saja, bank formal mau meminjamkan uang kepada para anggota Bank Gakin agar bisa mengembangkan usaha.

Mediasi dilakukan oleh Bank Indonesia. Hasilnya? Nihil.

"Perbankan di Jember kalau mendengar kata 'Bank Gakin', kupingnya panas dan merasa alergi. Bank formal di Indonesia sampai sekarang ngomong doang. Mereka tidak pernah peduli dengan pengentasan kemiskinan," tukas Mirfano.

Mirfano semakin kecewa, setelah menerima surat peringatan dari Bank Indonesia Jember, awal tahun ini. BI Jember meminta kepada Dinas Koperasi tidak mencantumkan kata 'bank' pada Bank Gakin. "Kalau bank sudah diatur dengan undang-undang, syarat-syarat bank apa saja. Kewajiban bank juga banyak. Sementara yang disebut Bank Gakin kan bukan bank, tapi lembaga keuangan mikro," kata juru bicara Bank Indonesia Jember Sukiman.

BI Jember mengkhawatirkan kesalahan persepsi masyarakat yang ditimbulkan akibat pencantuman kata 'bank'. "Misalkan ada lembaga Bank Gakin yang kolaps, kan LKM bersangkutan harus memberi ganti rugi. Larinya kan ke BI juga. Kita berkepentingan jangka panjang," kata Sukiman.

Namun, bagi Mirfano, surat peringatan dari Bank Indonesia salah tempat. "Saya tidak pernah memakai nama Bank Gakin. Itu yang mempopulerkan pengurus dan anggota Bank Gakin sendiri. Dari awal itu adalah lembaga keuangan mikro masyarakat. BI bukannya membantu, malah kasih peringatan yang tidak substansial," tukasnya.

Tutik Aspita, pengurus Bank Gakin Wonosari di Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates, membenarkan. "Orang-orang sendiri yang ngasih nama itu. Saya tanya kenapa, mereka menjawab, 'Iya, Bu, ini kan bank-nya orang miskin. Selama ini bank mana ada yang mau mendekati orang miskin'," katanya.

Tanpa tedeng aling-aling, Mirfano menyebut kehadiran Bank Gakin sebagai antitesis terhadap bank formal. "Bank formal tidak pernah mau peduli dengan ekonomi keluarga miskin," katanya.

Sukiman menyatakan, BI tidak bisa memaksa para bankir untuk meminjamkan duit ke pengusaha yang menjadi anggota Bank Gakin. Melalui mediasi BI, sudah dilakukan dua kali presentasi.

Namun para bankir masih enggan, karena menerapkan kriteria manajemen risiko. "Kan Bank Gakin tidak perlu agunan. Perlu ada terobosan. Kalau ada penjaminnya, tentu kita bisa bantu. Pemerintah daerah perlu meyakinkan dunia perbankan," kata Sukiman.

Perilaku dunia perbankan yang tak ramah terhadap pengusaha kecil ini pernah dikecam oleh Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Perbankan mematok bunga kredit lebih tinggi bagi sektor UKM, sampai 24 persen per tahun (flat). Sementara, untuk perusahaan besar, perbankan hanya mematok bunga sekitar 12 persen per tahun.

"Perlakuan kita di republik ini semua terbalik. Usaha besar dapat perlakuan yang lebih mudah, bunga lebih rendah. UKM bunga lebih tinggi. Itu perbuatan yang tidak pantas kita lakukan," kata Kalla.

Dalam buku 'Hanya dengan Kerja Keras: Catatan Seorang Wakil Presiden', Kalla memandang, perbankan harus turun tangan membantu sektor riil. "Apa yang saya tuntut dari para bankir, adalah agar mereka tidak menjadikan faktor risiko sebagai sesuatu yang mutlak untuk tidak menjadi kreatif," tulisnya.

"Buat apa kita memiliki sektor perbankan yang kaya raya bila ternyata tak bermanfaat bagi pembangunan. Bagi saya, sektor perbankan harus turun tangan membantu sektor riil agar bergerak maju, dan bisa diandalkan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat," tulis JK.

Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, R. Pambudi, menilai, rendahnya angka kredit macet di Bank Gakin (di bawah 5 persen) menunjukkan bahwa warga miskin sebenarnya bisa dipercaya. "Justru yang mengemplang miliaran hingga triliunan rupiah adalah para konglomerat, bukan warga miskin," katanya.

Watak perbankan konvensional memang tidak terlalu ramah kepada sektor riil. Sistem perbankan konvensional memiliki pendekatan moneter. "Bagaimana caranya agar duit bertambah. Ini berbeda dengan perbankan ekonomi syariah, yang ditunjukkan dalam bank syariah melakukan pendekatan, bagaimana menggerakkan pasar," kata Suherman Rosyidi, ekonom Universitas Airlangga Surabaya.

Suherman membandingkan loan to deposit rasio (LDR) atau rasio antara pinjaman terhadap dana pihak ketiga antara bank konvensional dengan bank syariah. Loan to deposit ration (LDR) bank syariah 96 persen, dan perbankan nasional 54 persen.

LDR merupakan rasio antara pinjaman terhadap dana pihak ketiga. Dalam perspektif intermediasi, perbankan syariah lebih bagus. "Ini berarti uang yang disalurkan ke masyarakat, ke sektor riil lebih tinggi di bank syariah daripada di bank konvensional," kata Suherman.

Bank syariah juga lebih mudah ditembus, karena bermodalkan kepercayaan. Pola kepercayaan ini mirip dengan Bank Gakin. "Kredit macet di bank konvensional 10-20 persen. Namun di perbankan syariah, non performing finance (NPF) hanya 5 persen," kata Suherman.

Namun Mirfano mengatakan, tak mudah juga menembus bank syariah. "Sama seperti bank pada umumnya, mereka menerapkan prinsip 5 C, salah satunya collateral atau jaminan. Bank Gakin dan para anggotanya tentu tidak punya itu," jelasnya.

Bank Gakin sebenarnya sudah berupaya mengatasi persoalan jaminan itu dengan bersatu mendirikan Koperasi Keluarga Indonesia (Kopgakin). Kopgakin didirikan oleh 31 Bank Gakin, dan siap memberikan kolateral berupa sertifikat tanah senilai Rp 200 juta. Ada harapan agar perbankan mau bermitra dengan Kopgakin, dan kredit dari perbankan digunakan untuk membiayai kegiatan ekonomi para anggota Bank Gakin. Namun, harapan itu bertepuk sebelah tangan.

Kopgakin tak cukup menarik hati perbankan. Akhirnya, Kopgakin dan Bank Gakin berjalan sendiri. Bank Gakin menyetorkan simpanan wajib dan pokok, dan dari situ uang diputar untuk memberikan pembiayaan kepada Bank Gakin yang membutuhkan.

Mirfano dan para pelaku Bank Gakin belajar dari Muhammad Yunus, Bapak Grameen Bank yang modelnya diadaptasi Bank Keluarga Miskin (Bank Gakin) dengan sejumlah inovasi. Yunus juga menemui pesimisme serupa saat berhadapan dengan pejabat bank. Ia ingin agar pejabat bank itu meminjamkan barang satu sen dua sen untuk orang miskin agar bisa mengurus diri mereka sendiri.

"Anda gila ya? Mereka tidak dapat memberi jaminan, dan jumlah sekecil itu juga tidak layak diberikan sebagai pinjaman," kata sang pejabat kepada Yunus, sebagaimana dimuat di Majalah Basis.

Mirfano, Yunus, dan orang-orang kecil itu akhirnya tahu siapa yang benar. Kegilaan tak selamanya sebuah kesalahan, ternyata. [wir]

No comments: