27 February 2009

Golkar - PKS Bukan Harga Mati

Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera mulai main lirik. Orang bertanya-tanya: inikah alternatif blok koalisi baru itu. Nasionalis relijius.

Golkar dan PKS tak ubahnya dua kutub yang berseberangan. Sebagai partai warisan Orde Baru, Golkar tidak pernah melepas ideologi nasionalisme. Golkar tak bermain-main dengan isu agama, dan ini menjadi salah satu kekuatan Golkar. Bagaimanapun, Golkar adalah partai modern dan sekuler.

PKS partai yang tumbuh dari rahim Reformasi. Ideologi dan asasnya jelas Islam. Jika dirunut, partai ini berakar dari gerakan bawah tanah kelompok masjid yang selama bertahun-tahun dipinggirkan Orba. Penampilan kelompok ini di kampus-kampus begitu khas: yang lelaki berjenggot lebat, dan perempuan berjilbab rapat.

Anak-anak gerakan tarbiyah yang sekarang berada di PKS banyak mengacu pada Ihkwanul Muslimin, sebuah organisasi yang didirikan Hasan Al Bana di Mesir. Ikhwanul Muslimin banyak mempengaruhi gerakan Islam di Timur Tengah. Hamas, kelompok pejuang Palestina, juga dipengaruhi oleh 'Kaum Ihkwan'.

Dua partai itu sebenarnya juga memiliki kesamaan: partai modern yang tidak terpaku pada patron. Hal ini penting ditegaskan, di tengah masih kuatnya unsur patron dalam kultur politik kita.

Saat ini Golkar juga banyak diisi anak-anak alumnus Himpunan Mahasiswa Islam, sebuah kelompok mahasiswa Islam sayap liberal yang tak asing dengan wacana gerakan tarbiyah Hasan Al Banna. Patut diingat, sebagian besar aktivis masjid pada era 1970-an dan 1980-an adalah aktivis HMI yang kini berkiprah di panggung politik. Namun para aktivis HMI yang berkiprah di Golkar tidak pernah menonjolkan warna Islam ideologi dalam partai tersebut.

Dari latar belakang ini saja, sudah bisa dipastikan Golkar dan PKS tak akan bersatu dalam aspek ideologis. Jadi, faktor pendukung adanya koalisi di antara keduanya hanyalah kepentingan pragmatis dalam pemilihan presiden.

Jujur saja, sebenarnya koalisi Golkar - Demokrat yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla masih cukup tokcer untuk bisa memenangkan pilpres. Pecahnya kongsi keduanya, sebenarnya tak lepas dari kesalahan Demokrat sendiri. Demokrat begitu gampang mengklaim keberhasilan pembangunan dalam iklan politiknya. Sesuatu yang tentu memunculkan ketersinggungan politik Golkar.

Maka, ditambah ego sebagai partai nomor wahid di Indonesia, Golkar sangat layak memiliki calon presiden sendiri. Namun persoalan muncul saat Golkar harus menentukan siapa yang bakal maju gelanggang.

Dalam tradisi politik Indonesia yang sebenarnya salah kaprah, ketua umum biasanya jadi kandidat utama. JK berarti calon kuat. Namun, akseptabilitas JK terbilang rendah, terutama di Jawa. Maka JK tentunya harus menggandeng kandidat lain yang populis.

Pertanyaannya: bisakah PKS memenuhi kebutuhan kandidat pendamping JK yang populis. Terus terang ini yang masih diragukan. PKS boleh saja mengklaim punya kader yang bersih. Namun popularitas sering kali tak ada kaitannya dengan integritas. PKS tidak punya cukup catatan panjang dalam urusan menyodorkan kader populis.

Kemenangan fenomenal PKS dalam pemilihan gubernur di Jawa Barat patut diduga bukan karena kader PKS ansich. Kemenangan itu patut disangka karena faktor Dede Yusuf, calon wakil gubernur yang mendampingi kader PKS, yang memang populer sebagai aktor.

Nah, jika PKS tak bisa menyuplai kader yang cukup populis untuk mendampingi Jusuf Kalla, maka koalisi tersebut tak banyak artinya. PKS memang punya massa loyal. Namun itu tidak cukup.

Ingat pemilu 2004? Massa loyal PKS tidak cukup untuk memenangkan Amien Rais - Siswono Yudohusodo dalam pilpres. PKS akhirnya lebih suka mendompleng koalisi yang dipimpin Demokrat dan Partai Bulan Bintang yang mengusung SBY - JK, dan menikmati jatah menteri yang lumayan banyak dibanding PBB.

Dalam pemilihan gubernur Jawa Timur, PKS adalah partai paling buncit yang menempel dalam koalisi Partai Amanat Nasional - Demokrat untuk mengusung Soekarwo - Saifullah Yusuf.

Jika melihat perilaku 'main dompleng' PKS, maka tidak tertutup kemungkinan ini bakal terulang dalam koalisi dengan Golkar. Maka yang harus dipastikan oleh Golkar adalah seberapa kuatnya kandidat wakil presiden dari PKS, sebelum melanjutkan koalisi itu.

Bagaimana jika kader PKS maju sebagai capres dan kader Golkar yang mendampingi? Ah, kalau seperti ini urusannya, lebih baik Golkar tidak perlu berkoalisi sekalian dengan PKS. Kalau hanya ingin posisi wapres, pertahankan koalisi SBY - JK. Habis perkara.

Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya rencana 'kawin-mawin' Golkar dan PKS bukanlah harga mati. Sebagai partai besar, Golkar sangat layak memilih 'jodoh politik' sendiri. PKS hanyalah salah satu alternatif. Kalau kemenangan dalam pilpres menjadi tujuan, maka 'jodoh politik' Golkar haruslah cakep dan montok sehingga cukup membetot perhatian rakyat.

Satu hal lagi yang penting. Kans Golkar untuk menang semakin terbuka, jika Jusuf Kalla tidak menjadi pilihan tunggal sebagai kandidat presiden. Jika memang akseptabilitas Kalla masih kurang, dan Golkar rela hati memilih kader lain yang lebih populer, merebut kursi RI-1 akan lebih lempang.

Terlepas dari urusan hitung-hitungan politik, koalisi Golkar - PKS layak disambut baik. Semakin banyak pilihan presiden - calon wakil presiden akan semakin bagus pada pendidikan demokrasi kita. Siapapun bisa bersaing.

Kita juga menanti, bagaimana perpaduan dua partai modern berbeda ideologi ini jika benar-benar memimpin Indonesia. Siapakah lebih dominan? Kelompok nasionalis atau relijius? (*)

Pernah dimuat di rubrik Sorotan Beritajatim.com

No comments: