07 November 2008

Keledai, Obama, dan Pilgub Jatim

Sejarah itu bernama Barack Hussein Obama. Ia pria kulit hitam pertama yang berhasil ke Gedung Putih. Lawannya tidak tanggung-tanggung: John McCain, seorang kulit putih yang didukung pemerintahan saat ini.

Mungkin inilah pemilihan presiden AS yang paling emosional dan membetot perhatian dunia. Angka partisipasi publik dalam pemilu kali ini tertinggi dalam sejarah AS sejak tahun 1920. Orang sepertinya berebut ingin menjadi bagian dari perubahan di negeri itu.

Setelah kemenangan dipastikan tanpa ribut-ribut dan dalam waktu singkat, ratusan ribu orang berkumpul untuk mendengarkan pidato kemenangan Obama. Dan ini yang menarik: tidak ada 'keledai biru' (simbol Partai Demokrat) dalam acara itu.

Keledai adalah lambang Partai Demokrat, partai yang mengusung Obama dalam pencalonan presiden. Biru adalah warna kebanggaan bendera Partai Demokrat.

Hanya ada satu bendera yang hadir dalam perayaan kemenangan Obama: stars and stripes, bendera Amerika Serikat. Jika pun ada ciri khas Partai Demokrat, adalah balon atau kain warna biru. Obama dalam pidatonya berterima kasih kepada McCain, dan mengajak para pendukung rivalnya untuk membantunya.

Hal serupa juga terjadi dalam pidato kekalahan McCain. Tidak ada gajah merah (lambang Partai Republik) di sana. Hanya bendera Amerika Serikat yang berkibar di puluhan ribu tangan pendukung McCain. Para pendukung memberikan apresiasi kepada sang kandidat yang dengan besar hati mengakui kekalahannya.

Tidak ada ribut-ribut. Tidak ada perkelahian.

Kami membayangkan, andai ini terjadi di Jawa Timur. Kami membayangkan, kelak siapapun pemenang pemilihan gubernur, partai apapun yang berjasa besar, hanya akan ada satu bendera yang dikibarkan: merah putih.

Kami membayangkan, calon gubernur terpilih akan berani meniru Obama dan berkata: tidak ada biru, tidak ada merah, tidak ada pendukung saya, tidak ada pendukung Anda. Yang ada hanya satu rakyat Jawa Timur.

Sebab, seperti kata almarhum politisi besar Mohammad Natsir (Ketua Masyumi): ujung penghabisan kesetiaanku kepada partai, adalah kesetiaanku kepada negara, kepada rakyat.

Kami membayangkan: siapapun yang kalah dalam pemilihan gubernur Jatim, Khofifah atau Soekarwo, akan memberikan ucapan selamat secara langsung kepada rivalnya yang unggul. Sementara sang pemenang menyambutnya dengan ajakan bahwa kemenangannya adalah kemenangan rakyat, dan itu dibuktikan dengan tidak menonjolkan simbol-simbol kepartaian dalam perayaan kemenangan.

Mungkinkah?

Hermawan Sulistyo, seorang ilmuwan politik, pernah mengatakan bahwa rakyat Indonesia tidak mengenal kata 'sportif': suatu keberanian mengakui bahwa rival kita lebih baik. Tak heran, jika sejumlah pemilihan umum di Indonesia, mulai dari kepala desa hingga presiden, selalu diwarnai konflik tak sehat.

Akhirnya, urusan politik yang seharusnya dipandang sebagai upaya mencari konsensus untuk kemaslahatan bersama, derajatnya anjlok menjadi tak lebih dari permainan menang-kalah berebut kursi kuasa. Ujung-ujungnya tawuran seperti turnamen sepakbola antarkampung.

Pemilihan kepala daerah di Maluku Utara dan Sulawesi Selatan mengukuhkan anggapan Hermawan Sulistyo. Di Sulawesi Selatan, akibat adanya gugatan terhadap dugaan penggelembungan suara di 4 kabupaten, pilkada yang seharusnya menjadi ranah politik dan demokrasi masuk ke ranah hukum.

Penyelesaian yang berlarut-larut membuat masyarakat berada dalam ketidakpastian. Kandidat yang bersengketa sama-sama merasa benar dan tak mengakui bahwa rivalnya lebih baik. Situasi tak stabil, gerak perekonomian terhambat.

Di Maluku Utara, konflik antarkandidat pasca pilkada melahirkan kekerasan. Keputusan hukum tak memuaskan mereka yang kalah. Pemicu konflik juga sama: kecurigaan terhadap terjadinya penggelembungan suara di tiga kecamatan.

Penggelembungan suara memang isu paling empuk dan populer dalam pilkada, selain isu politik uang dan kampanye hitam. Namun penggelembungan suara merupakan isu terberat.

Jika isu politik uang dan kampanye hitam hanya diarahkan kepada kandidat rival, maka isu penggelembungan suara memiliki tiga sasaran: rival, pemerintah yang tak netral, dan penyelenggara pemilu yang berpihak.

Belajar dari konflik di Maluku Utara dan Sulawesi Selatan, potensi isu penggelembungan suara bakal memicu konflik keras berpotensi terjadi di Jatim.

Berdasar hitung cepat sejumlah lembaga survei, situasi pilgub Jatim nyaris sama dengan Malut dan Sulsel: selisih perolehan suara antarkandidat sangat tipis. Kemenangan baru bisa ditentukan hingga detik terakhir, saat penghitungan manual Komisi Pemilihan Umum selesai digelar.

Dalam kondisi ini, jika kasus kecurangan benar-benar terbukti dilakukan oleh salah satu kandidat dengan kesengajaan, maka isu penggelembungan suara akan menjadi klimaks konflik selama ini. Jatim akan meledak sebagaimana Maluku Utara.

Rakyat Jatim seharusnya bersama-sama menolak berubahnya substansi pilkada, yakni upaya memilih pemimpin pemerintahan untuk kemasalahatan, menjadi pertarungan kekuasaan tiada akhir: adu kuat, adu otot, tak pakai otak.

Kuncinya, tentu saja kejujuran dan kebesaran hati. Penyelenggara pemilu harus bekerja dengan jujur, dan tak berupaya melakukan rekayasa apapun untuk memenangkan salah satu kandidat.

Pemerintah tidak perlu ikut campur dalam proses demokrasi yang sudah menjadi tanggungjawab KPU. Tugas pemerintah adalah menjadi mediator, jika terjadi konflik.

Kita tahu bahwa pemerintahan kita terdiri atas faksi-faksi politik yang berkepentingan terhadap pilgub Jatim, karena pemilu 2009 sudah di depan mata. Namun, kepentingan faksional tak boleh berada di atas kepentingan publik.

Terakhir, tentu saja, dua pasangan kandidat Pilgub Jatim harus menyediakan kebesaran hati ekstra untuk menyambut apapun hasil pilkada. Para kandidat harus membuktikan jargon-jargon kerakyatan mereka pertama kali dengan jalan mengakui kekalahan. Manuver politik untuk mengingkari kekalahan hanya membuktikan bahwa jargon kerakyatan adalah jargon kosong.

Pilpres Amerika Serikat tahun 2000 memberikan pelajaran bagus. Kandidat presiden dari Demokrat, Al Gore, meraih popular vote terbanyak, melebihi George W Bush. Namun Bush mencetak kemenangan electoral vote lebih besar daripada Al Gore.

Hakim-hakim di Mahkamah Agung akhirnya yang harus berbicara, dan menentukan siapa presiden AS empat tahun mendatang. Mereka memilih Bush.

Al Gore? Kita tahu, kini ia dinobatkan sebagai salah satu sosok yang menginspirasi penyelamatan bumi dari pemanasan global. Amerika berlanjut, dan Gore mengajarkan kepada kita, bahwa kursi kekuasaan bukanlah masalah hidup dan mati. (*)

No comments: