24 October 2008

Kapitalisme dan Kultur Rakus

Krisis ekonomi yang berawal dari Amerika Serikat membuat kita kembali mempertanyakan kapitalisme. Masihkah kapitalisme mampu menjadi jawaban dan jalan hidup dunia?

Mereka yang optimistis akan menyatakan bahwa kapitalisme adalah pilihan yang terbaik dari sejumlah pilihan yang tak sempurna. Kapitalisme memang beberapa kali dilanda krisis. Great Depression tahun 1929 di Amerika Serikat. Bencana Stock Exchange 19 Oktober 1987. Krisis Asia 1997. Namun, kapitalisme dipercaya punya mekanisme internal untuk memperbaiki kelemahan-kelemahannya.

Kapitalisme berbeda dengan komunisme atau sosialisme, untuk menyebut lawan tanding abadinya. Komunisme maupun sosialisme (dalam pengertian klasik) mendasarkan pada asumsi manusia haruslah zuhud, asketik, menahan diri terhadap kepemilikan duniawi. Manusia diandaikan hidup berbagi, karena kekayaan memunculkan konflik. Komunisme dan sosialisme, di ujung sana, ingin memadamkan konflik itu. Negara diandaikan sebagai institusi yang punya otoritas menjaga agar kezuhudan berjalan normal.

Karena mengekang hasrat manusiawi atas kepemilikan dan keduniawian, komunisme maupun sosialisme gagal. Orang tak selamanya bisa hidup asketis sekaligus altruistis selamanya.

Hidup asketis dan altruistis membutuhkan teladan, dan mungkin karena itulah komunisme dan sosialisme selalu mengukuhkan tokoh. Tapi dari tokoh ke tokoh, komunisme dan sosialisme tidak juga menghadirkan janji kesejahteraan. Ideologi kiri dalam jejak sejarah selalu menghadirkan penindasan, karena pemahaman monolitik terhadap teori materialisme historis yang dituahkan Karl Marx.

Mereka yang optimistis meyakini kapitalisme bisa tahan banting, karena tidak didasarkan pada teori filsafat idealis yang dibangun di awang-awang. Kapitalisme yang dibangun di atas individualisme, mendasarkan diri pada naluri manusiawi: hasrat terhadap harta benda. Kapitalisme tidak mengekang hasrat itu, namun justru membuatnya tak lekang.

Kapitalisme menghadirkan banyak aliran pemahaman tentang bagaimana ekonomi dibangun. Namun semuanya sepakat bahwa jalan yang terbaik adalah pasar: biarkanlah pasar berbicara, dan setiap orang berhak saling berlomba memperkaya diri. Kapitalisme tidak mengimani negara sebagaimana komunisme.

Kapitalisme menjanjikan kesejahteraan melalui pasar. Kaya bukan tabu. Menumpuk harta bukan kesalahan. Dengarlah pidato Gordon Gekko, yang secara dramatis ditutup dengan lagu Let Me Fly to The Moon yang dinyanyikan Frank Sinatra dalam film Wall Street.

"Yang terpenting adalah, tuan-tuan dan nyonya-nyonya bahwa keserakahan, karena tidak ada kata yang lebih tepat, adalah kebaikan. Keserakahan adalah benar. Terima kasih."

Gekko adalah tokoh fiksi dalam film Wall Street yang disutradarai Oliver Stone. Ini film klasik tentang etika kapitalisme yang dicuplik esais Goenawan Mohamad ketika ngomong soal kapitalisme.

Gekko tak selamanya benar. Kapitalisme justru menyimpan ironi dan kontradiksinya sendiri. Setiap orang diberi kesempatan yang seolah-olah sama dan bisa saling bersaing dengan bebas untuk menumpuk kekayaan itu. Namun nyatanya perputaran uang dan modal hanya berada di tangan segelintir orang. Kapitalisme adalah sebuah wajah Darwinisme sosial. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Siapa yang berduit, akan semakin rakus.

Hari-hari ini, kapitalisme terseok justru karena rakus tak selamanya bagus, seperti kata Gekko. Rakus memunculkan korupsi. Kita masih ingat bagaimana perusahaan sebesar Enron bisa runtuh. Lehman Brothers, bank investasi keempat terbesar di Wall Street, kini digugat karena berbohong soal kinerja keuangan yang membuat nilai saham naik.

Dalam saat krisis seperti ini, ironi kapitalisme terkuak. Kapitalisme yang mendewakan pasar dan sebisa mungkin menghindari campur tangan negara, justru selalu merepotkan negara setiap kali sistem itu jebol. Pemerintah Amerika Serikat terpaksa melakukan bailout (operasi penyelamatan terhadap lembaga yang mengalami kesulitan keuangan) dengan menggunakan sen demi sen pajak yang dibayarkan rakyatnya.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono setali tiga uang. Duit triliunan rupiah bakal digelontor untuk membeli kembali saham badan usaha milik negara di Bursa Efek Indonesia. Apa boleh buat. Pada akhirnya, rakyat juga yang harus menyelamatkan orang-orang kaya itu dari kerakusan mereka sendiri.

Apa yang salah dari kapitalisme? Mungkin kita terlampau percaya bahwa manusia akan bisa menyeimbangkan antara kerakusan dengan kebajikan. Kita salah. Jadi masihkah kita percaya pada kapitalisme? Mungkin jawabannya akan segaris dengan jawaban atas pertanyaan: masihkah kita mempercayai hasrat kita atas sesuatu yang duniawi harus sepenuhnya dibiarkan bebas? (Dimuat di rubrik Sorotan di beritajatim.com)

No comments: