09 August 2008

Pengkhianatan Kaum Dokter

Lomba Blog FPKR

Sejak lama, saya terpikat dengan narasi tentang dokter. Saya mengopi artikel-artikel naratif Atul Gawande, seorang dokter cum jurnalis, di situs majalah The New Yorker. Saya suka buku berjudul Dokter Berhati Malaikat karya Tracy Kidder, atau Blind Eye karya jurnalis James B. Stewart. Saya bercita-cita menulis tentang pengkhianatan kaum dokter.

Saya akui, judul ini terinspirasi judul buku Julien Benda: Pengkhiatan Kaum Cendekiawan. Saya katakan ‘pengkhianatan’, karena senyata-nyatanya apa yang dilakukan para dokter melawan sumpah Hipokrates.

Semua berawal, saat seorang kawan saya, sebutlah dia John, bercerita tentang pengalamannya sebagai medical representative perusahaan farmasi. John berpindah beberapa kali dari perusahaan farmasi satu ke perusahaan farmasi lainnya. Selama itu pula koceknya selalu tebal terisi.

Kepada saya, John bercerita, bagaimana dia ‘mencetak’ uang jutaan rupiah dari pekerjaan menjual obat-obatan mahal. Kliennya adalah para dokter. “Tapi aku merasa uang itu tak barokah,” katanya.

Tak barokah? Saya mengernyitkan dahi. Tak barokah berarti tak membawa berkah. Itu uang yang didapat dari kerja keras. Tapi tidak melalui jalan yang benar secara moral agama.

Para dokter diperlakukan bak raja. Permintaan mereka beragam, dari yang normal hingga yang aneh-aneh. “Ada kawan saya yang diminta untuk membersihkan mobil seorang dokter,” kata John. Ada dokter yang minta dibelikan mobil baru. Sebagian lainnya dibiayai untuk bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Yang terakhir ini biasanya dijanjikan untuk dokter-dokter muda atau dokter yang belum menempuh pendidikan spesialis.

Ada dokter yang dibiayai untuk dugem, bersenang-senang. Komplit, semua ditraktir oleh para pedagang obat itu: mulai dari biaya minuman hingga ongkos tidur dengan perempuan.

Namun, semuanya tak gratis. Semua tawaran dan perlakuan bak raja itu tak ubahnya perangkap bagi sang tabib. “Perusahaan farmasi akan memenuhi permintaan dokter-dokter itu, asalkan para dokter bersedia menjual obat-obat yang diproduksi perusahaan itu sesuai target,” kata John.

Salah satu kawan John, juga mantan representatif farmasi, mengatakan, pernah menyodorkan semacam surat perjanjian kepada seorang dokter yang bakal ditraktir dugem. Dokter itu harus mau menjual sekian dos obat merek tertentu, jika ingin hepi-hepi gratis.

Semua obat-obatan itu berharga mahal. Dan, di sinilah pengkhianatan itu terjadi. Mengikat perjanjian dengan perusahaan farmasi, tak ubahnya menjual jiwa kepada iblis demi kekayaan. Saya tak bermaksud mengatakan perusahaan farmasi adalah iblis. Tapi dari perselingkuhan sang tabib dan sang saudagar obat, masyarakat menjadi korban.

Karena terikat perjanjian itu, seorang dokter akan memberikan resep berisi merek-merek obat perusahaan farmasi tersebut untuk ditebus pasien di apotik. Harganya bisa membuat seorang pasien dengan uang pas-pasan berkeringat dingin. Padahal, jika mau jujur, bisa saja merek obat tersebut diganti dengan merek generik yang jauh lebih murah atau dengan merek obat lain.

Perusahaan farmasi memang mulanya mengeluarkan duit besar untuk merayu para dokter agar mau menjual obatnya. Namun, pada akhirnya, konsumenlah yang harus menanggung biaya itu. Ironis.

Mendengar penuturan John, saya teringat pengalaman berobat di dokter spesialis. Seingat saya, setiap kali memberikan resep, dokter-dokter itu tak pernah bertanya apakah saya ingin obat generik. Hanya ada satu dokter spesialis yang menanyakan itu. Dengan sukarela, ia akan memberikan resep obat generik saat saya meminta.

Seorang dokter, sebut saja Rini, membenarkan adanya perselingkuhan tersebut. Ia berkali-kali menolak beberapa representatif farmasi yang mencoba membujuknya dengan imbalan menggiurkan.

Seorang representatif penasaran dengan penolakan itu dan menanyakannya kepada Dokter Rini. “Ini duit nggak bener. Cara begini nggak bener. Saya tidak akan membuat perjanjian dengan Anda,” jawab Rini.

Menurut Rini, di luar negeri, seorang dokter bahkan tidak meresepkan obat yang bermacam-macam untuk pasiennya. Namun di Indonesia, masih ada dokter yang meresepkan obat yang tidak begitu dibutuhkan pasien dengan merek tertentu, atau yang sebenarnya bisa diganti dengan merek lain yang memiliki khasiat sama dan lebih murah.

“Peresepan itu sebenarnya sebuah seni,” kata Rini. Ia tak setuju jika kemudian itu membebani si sakit.

Seorang mantan pengelola apotik juga mengetahui permainan mata dokter dan pedagang farmasi. Ia tak segan mengganti merek obat dalam sebuat resep dengan merek lain yang lebih murah, namun dengan khasiat dan komposisi kandungan yang sama. Tidak ada komplain dari pasien.

“Aku berharap, anakku besok tidak jadi dokter,” kata John. Uang yang diperoleh para dokter dengan ‘membunuh pasien’ akan membuat hidup tak tenang.

Saya tak setuju, Selalu ada kemungkinan untuk menolak perselingkuhan itu. Toh, tanpa harus ‘menjual jiwa kepada pedagang farmasi’, para dokter akan tetap hidup dan dicari, karena di Indonesia, populasi kaum tabib memang terbatas.

Saya mencontohkan Rini.

Namun, John mengatakan, “Rini masih muda usia. Semoga saja dia tetap seperti itu. Tapi jika dia tetap seperti itu, dia tak akan kaya raya.”

Saya berdoa dan berharap John terlalu berlebihan dalam memandang seorang dokter. Saya selalu punya pandangan optimistis dan percaya, bahwa para dokter adalah kaum berhati mulia. Ibu saya pernah bilang, dokter adalah profesi yang komplit. “Dokter menolong orang dan mendapat pahala. Dokter juga bisa memperoleh bayaran yang layak dari profesinya,” demikian kira-kira ibu saya.

Namun, saya harus jujur mengatakan, kaya-raya adalah kata kunci untuk menjelaskan perselingkuhan tersebut. Motivasi kekayaan sudah terbentuk tanpa sadar sejak para dokter ini belajar di fakultas kedokteran. Sejak awal kuliah, mereka harus menanggung biaya tak murah. Di sebuah fakultas kedokteran sebuah perguruan tinggi negeri kelas medioker, ongkos masuk minim bisa Rp 10 juta.

Mereka rela mengeluarkan duit puluhan bahkan ratusan juta rupiah, karena memiliki harapan bakal mendapat duit berlipat sebagai gantinya saat bekerja menjadi dokter. Perselingkuhan yang mereka lakukan dengan saudagar obat adalah salah satu jalan untuk memperoleh kekayaan dan kejayaan.

Tingginya biaya pendidikan dokter juga membuat profesi dokter menjadi profesi untuk kelas sosial tertentu. Ini membuat feodalisme dengan gaya baru terbentuk. Hanya ‘para tuan tanah dan pemilik modal’ yang berpeluang besar menjadi aparat penjaga kesehatan rakyat seluruh negeri.

Jumlah dokter yang sedikit di Indonesia ini memungkinkan perselingkuhan terjadi. Jika mau diibaratkan dengan sedikit kasar, para dokter adalah para maesenas yang menguasai ribuan ekar tanah. ‘Tanah’ di sini adalah rakyat.

Lalu saya teringat Kuba dalam tulisan dua jurnalis Pantau, Coen Husein Pontoh dan Imam Shofwan. Tulisan mereka menyinggung dokter Kuba dan Fidel Castro yang menggratiskan pendidikan di seluruh Kuba, sehingga rakyat bisa menikmatinya tanpa harus dibatasi kelas sosial tertentu.

Pontoh menulis, bebas biaya pendidikan diberlakukan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional. Jumlah tenaga dokter per kapita Kuba tertinggi di dunia. Ada 130 ribu tenaga medis profesional, 25.845 tenaga dokter Kuba bekerja di 66 negara atas nama misi kemanusiaan. Melalui Latin American School of Medicine, rezim Castro memberikan beasiswa pendidikan kesehatan untuk kaum muda miskin di Amerika Latin, Afrika, dan Amerika Serikat.

Saya lantas membayangkan Che Guevara. Ernesto mengembara keliling Amerika Selatan. Ia dokter, lahir dari kalangan berpunya. Di atas sepeda motornya, ia melihat rakyat papa dan jelata butuh pertolongan. Ia menjadi tabib kehidupan.

Adakah dokter seperti itu? Rini pernah bercerita tentang sepasang suami istri dokter dengan mata berbinar-binar. Anak pasangan itu juga dokter brilian dan berkawan dengannya. Menurut Rini, sang dokter pria adalah orang penting yang turut membangun sebuah paviliun rumah sakit negeri.

Namun lihatlah rumahnya. “Ia tinggal di rumah sederhana di sebuah perkampungan yang sempit. Setiap hari istri dokter itu berangkat kerja dengan naik becak. Aku merasa di rumah jika bertemu dan bercakap-cakap dengan mereka.”

Apa yang menentramkan hati, dalam kebersahajaan sekalipun, agaknya memang pantas disebut rumah. Seperti apa yang dikatakan seorang staf Gedung Putih yang mengundurkan diri karena tak ingin terlibat skandal Presiden Richard Nixon. “Setidaknya ini rumah yang jujur.” Begitulah. (*)

6 comments:

Eko Rusdianto said...

Saya sangat tertarik membaca artikel ini. Oryza kapan mulai liputan ini. Saya kira mungkin enak juga mengerjakannya di Makassar. Apakah ide ini boleh saya tiru?

Salam,
eko

Anonymous said...

Halo Mas Oryza..
Kejadian seperti artikel ini sudah jadi rahasia umum. Benar kalau Mas bilang, mereka jadi begitu (komersialisasi profesi) karena sejak di bangku kuliah sudah ditanamkan mindset jika profesi dokter itu menjamin kesejahteraan (baca: kaya). Para dokter yang sering bolak balik ke luar negeri, ikut seminar ini dan itu, atau gonta-ganti mobil, memangnya dari mana kalau tidak dengan perjanjian 'iblis' dengan perusahaan farmasi. Bahkan ada seorang dokter ahli penyakit dalam yang minta ulang tahun anaknya dipestakan di hotel bintang lima (dari teman sales farmasi?, sampai dibiayai rekreasi ke luar negeri. Berapa sih gaji seorang dokter (apalagi PNS) yang kemudian berpraktik di tiga tempat (satu di rumah dan dua lainnya di rumah sakit swasta?) Mengandalkan itu saja mereka tidak kaya raya kok Mas, cukup berkelebihan saja, tidak sampai bolak balik ke luar negeri.
Semoga ini dibaca para dokter ya, agar hati nurani mereka terketuk.

Anonymous said...

Saya adalah seorang dokter umum. Saya ingin bisa segera menjadi dokter spesialis anak. Bukan karena saya ingin kaya raya. Sejak awal saya menempuh pendidikan dokter hingga saya hampir menyelesaikan PTT saya sekarang, tertancap dalam benak saya petuah guru-guru saya: kalau mau kaya jangan jadi dokter! Dan memang bukan itulah cita-cita saya. Walaupun saya menyadari kenyataan, bayaran saya selama 1 bulan di RS tempat saya PTT bisa saya dapatkan dengan mudah ketika saya menggantikan praktek swasta seorang spesialis anak di kota saya selama hanya 1 minggu.
Saya tidak mungkir, bahwa fenomena -fenomena yang telah disampaikan mas Oryza tidak asing lagi. Tapi juga tidak sedikit mereka yang sudah tidak lagi memikirkan dengan obat apa pasien ini akan saya obati (mungkin pilihan obat tergantung dari servis yang dijanjikan perusahaan farmasi), tapi mereka berkutat dengan bagaimana supaya angka kematian di negara ini bisa ditekan.. siapa yang mau membayar tujuan mulia mereka?
Untuk dokter-dokter di daerah kategori terpencil (bukan sangat terpencil), perusahaan farmasi mana yang mau merayu dokter di daerah yang kadang menarik bayaran saja tidak tega? Kenapa mereka masih juga mau bertahan di sana walau sokongan dari pemerintah pun langganan terlambat.
Pasangan suami istri, keduanya dokter. Di masa PTT mereka dulu di Kalimantan, pernah suatu ketika sang istri yang sekarang spesialis saraf, menangis memohon pada suaminya untuk tidak lagi menerima (bukan menarik) bayaran dari pasiennya. Karena dia mendapati uang yang digunakan untuk membayar jasa mereka diperoleh dari pekerjaannya 'ngarit' beberapa hari. Akhirnya mereka melukis batik untuk menyambung hidup. Tapi mereka tetap kaya sepulang PTT, karena pembeli batik mereka adalah petinggi2 daerah setempat yang mungkin mudah mendapat uang karena menjual hutan.
Saya masih punya banyak contoh dokter yang pulang pergi luar negeri justru karena mereka menyadari tidak bisa kaya dengan menjadi dokter.

Anonymous said...

miriss..moga banyak rini2 yg bertebaran di bumi indonesia

An said...

Artikel yang objektif :)
Terima kasih buat sharingnya, Mas..

Anonymous said...

dengan bahasa lain, saya menulisnya di sini : http://inayah16.wordpress.com/2013/12/11/dokter-dalam-kuasa-pasar/