24 July 2008

Bukan Sebuah Pesta Makan Malam
(Sebuah Refleksi Tengah Malam)

Mao Tse Tung pernah berkata: "Revolusi bukanlah sebuah pesta makan malam."

Saya kira Mao benar. Karena, sebagaimana kita tahu, revolusi memakan anaknya sendiri. Revolusi menyisakan daftar nama panjang siapa yang harus disingkirkan, dengan cara beradab atau biadab.

Oleh karenanya, saya bersyukur, hari ini kita tidak menempuh jalan revolusi. Hari ini, pagi tadi, kita memilih jalan lain yang lebih pelan untuk melakukan perubahan: pemilihan umum. Gubernur Jawa Timur lama berhenti. Gubernur baru menuju Grahadi.

Sebuah proses pergantian yang indah, saya pikir. Tak ada darah. Tak ada air mata dari mereka yang dilukai rasa kemanusiaannya. Hanya jutaan orang berduyun-duyun memadati puluhan ribu bilik suara di 38 kota di Jawa Timur.

Sejarah memang hanya akan mencatat nama Khofifah. Soekarwo. Sutjipto. Soenarjo. Achmady. Sejarah tak akan menulis nama Pak Mat penjual es. Ponirah buruh kebun. Wadiman tukang parkir. Babah Cong pedagang kelontong. Dalam sebuah buku besar politik, mereka mungkin hanya catatan kaki.

Toh, tak ada yang pernah menanyakan: setelah Tembok China berdiri, ke mana para tukang batu itu pergi. Semua untuk sang kaisar.

Tapi mungkin itulah indahnya demokrasi. Seperti kata filsuf Karl Popper, demokrasi memang tak sempurna. Namun inilah satu-satunya jalan yang terbaik daripada semua alternatif buruk untuk menahan kediktatoran.

Babah Cong, Ponirah, Wadiman, boleh jadi hanya catatan kaki. Kandidat yang kelak menjadi pemenang mungkin akan segera melupakan mereka. Lupa jika pernah berjabat tangan, atau bahkan dipeluk sayang.

Tapi, Babah Cong, Ponirah, Wadiman bukanlah para kuli dan tukang batu tembok China yang pergi setelah tugas selesai. Mereka akan tetap ada hari ini, besok, bulan depan, dan lima tahun lagi ketika para politisi dan juragan berduit meminta untuk dipilih kembali.

Maka, seperti membaca catatan kaki dalam sebuah buku, jangan sekali-kali lupa membaca keinginan mereka. Mereka ada dalam buku sejarah politik pemimpin baru Jatim, karena sang pemimpin pernah mencatat janjinya dan permintaan dari mereka.

Jadi, setelah pesta usai, mereka boleh saja dipinggirkan. Mereka mungkin bisa memaafkan saat diingkari. Tapi yakinlah mereka tak akan melupakan. Forgiven but not forgotten. Termaafkan, tak terlupakan. (*)

No comments: