07 May 2008

"Ya Allah, Sembuhkan Adik Saya..."

Hari ini aku tidak bisa berkonsentrasi bekerja. Aku memang masih melakukan liputan di lapangan untuk beritajatim.com. Namun hatiku kacau. Adikku, Dwi Rizki Wulandari, dalam kondisi kritis di rumah sakit daerah Dr. Soetomo.

Kiki, demikian sapaan akrab adikku itu, terserang demam berdarah. Mulanya dia dirawat di rumah sakit Hasanah Mojokerto, tempat dia bekerja sebagai dokter sejak Ahad lalu (4 Mei). Namun Selasa malam, kondisinya mendadak kritis.

Adik bungsuku Rizka Paramita Safitri menelponku Selasa malam itu. Ia menangis. "Mas, Mbak Kiki kritis. Dia mau dibawa ke Surabaya sekarang. Ibu masih nunggu disana."

"Kamu nggak usah bilang Bapak dulu. Bapak lagi nganterin Mas Arif ke stasiun," kata Pipit, nama panggilannya.

Hatiku mencelos. Meremang. Lidahku tercekat. Dengan susah payah, aku memintanya tenang. "Sudah, sekarang kamu salat dan berdoa. Insya Allah Mbak Kiki nggak apa-apa."

Istriku, Heni Agustini, kebingungan. Dia memaksaku menelpon Arif Budi Wicaksono, adikku yang hendak pulang ke Jember. "Arif jangan disuruh pulang dulu. Biar dia di Surabaya dulu," katanya.

Aku setuju. Namun nomor telpon Arif tak aktif. dia pakai nomor yang lain. Saat ditelpon, ternyata dia sudah berada di atas kereta api, menuju Jember.

Aku mengatakan, Arif sebaiknya dibiarkan pulang ke Jember dulu. "Sekarang pukul setengah sebelas malam. Kalau dia nanti turun di Bangil Pasuruan, belum tentu dia dapat kendaraan kembali ke Surabaya," kataku.

Bapak menelponku, memberitahukan kondisi Kiki. "Doakan adikmu," katanya, lirih.

Aku menelpon Ibu untuk mengetahui kondisi Kiki sebenarnya. "Sekarang dia mau dibawa ke Surabaya. Perutnya sudah tidak keisi makanan. Trombositnya naik cuma sedikit," suara Ibu seperti menahan tangis. Ada rasa capek.

Selama sakit, Kiki memang kesulitan makan. Setiap kali makan, selalu muntah. Lambungnya menolak benda asing. Tubuhnya lemah. Trombositnya merosot cepat. "Tapi semangat adikmu untuk sembuh besar," kata Bapak suatu kali.

Tidak ada yang bisa aku lakukan malam itu. Kami semua dilanda ketegangan. Anakku, Neo, bahkan tidak rewel. Ia seperti tahu kedua orangtuanya gelisah. Aku mencium dahi Neo, mencoba meredakan gundah.

"Yang'e wudu dulu, terus salat isya," kataku kepada Heni.

Aku menidurkan Neo di kamar. Malam ini ia benar-benar tenang, dan membiarkan dada dan punggungnya aku gosok sampai tertidur. Biasanya, Neo selalu menolak jika aku gosok, dan lebih suka memilih tangan ibunya.

Aku salat isya setelah Neo tidur.

Aku tak pernah menangis. Terakhir kali aku menangis adalah saat melihat Neo lahir dua tahun lalu dan saat meminta maaf kepada Bapak tahun lalu. Tapi malam itu aku benar-benar menangis setelah salat.

Aku sebenarnya tak ingin menangis. aku hanya mengucapkan, "Ya Allah, nyuwun adik kula diparingi sehat...Ya Allah, nyuwun adik kula diparingi sehat..."

Berulang kali. Lagi. Lagi. Lagi. Tak ubahnya mantera.

Semakin dalam bibirku mengucapkannya, semakin menangislah aku. Aku terisak. Mungkin cukup keras, sehingga istriku yang berada di ruang tamu masuk kamar dan memelukku. Dia mencium dahiku.

"Sudah, Dik Kiki nggak papa. Dia akan ke Surabaya," katanya.

Aku tak berkata apa-apa. Aku hanya mengulang kalimat yang sama dalam hati.

Aku tidak tahu berapa lama duduk di atas sajadah. Aku bersandar di lemari, dan sedikit tertidur.

Aku mencopot sarung, dan mencoba tidur di kasur. Aku harus istirahat. Tidak ada yang bisa aku lakukan malam ini, kecuali berdoa. Pukul setengah tiga dinihari, aku harus ke stasiun Jember menjemput Arif.

Tapi aku tidak bisa tertidur lelap. Aku tidak bermimpi. Tapi sekian gambar, sekian wajah datang dan pergi dalam benakku. Kiki. Bapak. Ibu. Rara. Kiki. Heni. Pipit. Berseliweran.

Ponselku berbunyi. Aku terbangun dengan kepala sedikit pusing. Heni masih tidur. Neo juga.

"Halo?"

"Aku sudah sampek Rambipuji, Mas," suara Arif menerpa telingaku.

Lima belas menit kemudian, aku melaju di atas sepeda motor, membelah malam. Dingin. Jaketku tak kukancingkan. Benakku masih dipenuhi bayangan macam-macam.

Aku sempat melayangkan pesan pendek ke Ibu sebelum berangkat. "Sudah di IRD, masih diobservasi. Alhamdulillah semua teman-temannya membantu. Belum tahu kamarnya di mana. Nanti kalau pasti kamarnya tak kabari lagi. doain semua lancar. Amin."

Aku bertekad tak menyampaikan kabar soal kondisi Kiki kepada Arif sebelum tiba di rumah. Sepanjang perjalanan kami hanya bicara soal sepakbola, website, dan lain-lain.

Arif terdiam saat aku beritahu kondisi Kiki di rumah. Hening sebentar. "Aku pulang Jumat saja ke Surabaya," dia memutuskan mempercepat jadwal acaranya di Jember.

Pesan pendek dari Ibu masuk ke ponselku. "Sekarang (Ibu) sama Pipit n bapak. (Kiki) masih di IRD. Tapi nanti masuk ROI (Ruang Observasi Intensif). Dia sadar kok. Tapi sesak napas."

Kami menghabiskan sisa malam dengan gelisah.

Aku dan Heni sebenarnya ingin segera ke Surabaya. Aku ingin Heni berada di sana untuk membantu Ibu. Aku yakin Ibu dan Bapak butuh bantuan. Di Surabaya, hanya ada Pipit dan Rifki.

Tapi kondisi Heni tidak memungkinkan. Usia kehamilannya sudah memasuki enam bulan dan kandungannya sempat ada masalah. Plasentanya belum stabil berada di posisi rahim bagian atas. Masih ada kemungkinan plasenta itu berada di rahim bagian bawah dan bisa menutupi jalan keluar bayi di vagina.

Rencananya, pekan ini aku hendak mengantarkan Heni ke Situbondo bersama Neo. Aku akan membiarkan mereka beristirahat di sana.

Rabu pagi, aku menelpon Bapak. Ibu yang menjawab. Ibu menangis. Suaranya tak jelas, di antara isak. Namun aku menangkap, bahwa Kiki memiliki daya juang yang luar biasa. Dia sendiri yang menjelaskan kenapa kondisinya kritis kepada Ibu.

Aku mencoba menjelaskan penyebab Kiki kritis semampuku kepada kalian yang membaca tulisan ini. Trombosit Kiki yang anjlok membuat darahnya tidak tidak mampu mengikat air, dan akibatnya air berlimpah masuk ke lambung dan menerabas paru-parunya. Banyaknya air di lambung ini yang membuat Kiki kesulitan makan.

Air dalam lambung dan paru-paru adikku itu yang harus disedot. Aku membayangkan kengerian Ibu dan Bapak di sana.

Ibu mengatakan, sebenarnya keluarga tidak boleh masuk ruang observasi untuk menjenguk Kiki. Namun kawan-kawan Kiki yang menjadi dokter di RSUD Dr. Soetomo memberikan keringanan. Boleh sesekali Ibu, Bapak, atau Rifki (suami Kiki) masuk, namun tak boleh tinggal lama.

Siang hari, aku menelpon Bapak. Aku mendengar suara alat bantu medis berdetik-detik. "Aku berada di kamar adikmu. Adikmu belum bisa bicara."

Bapak mengatakan, penyedotan cairan belum dilakukan.

Aku matikan ponsel. Aku mengirimkan SMS: "Pak, tolong sampaikan salam sayang dan doaku, Heni, dan Neo untuk Bulik Kiki. Semoga cepat sembuh, Bulik. Insya Allah setelah nganter Heni ke Situbondo Ahad ini, aku ke Surabaya." (*)

6 comments:

Anonymous said...

aku melu dungano bro...mugo-mugo cepet sehat. Awakmu seng tabah ben fokus karo kerjoanmu. Reporter forever and keep write bro...

Anonymous said...

moga cepet sembuh...dikasih minum terus menerus mas... yang penting juga semangatnya dan semangat orang2 di sekelilingnya

Eko Rusdianto said...

Semoga cepat sembuh. Saya mendoakannya. AMIN...

Saya membaca tulisan ini ada kepanikan. Harap tenang Mas. Semua akan berjalan dengan baik jika semua keluarga yang membutuhkannya dalam keadaan stabil. Semangat.

Anonymous said...

semoga cepat sembuh adiknya. Salam kenal dan sukses selalu

wnpwnp said...

semoga cepat sembuh. gimana kabarnya sekarang

wnpwnp said...

(wahyudi pesen)
SING SABAR RI, tak ewangi dungo. awake dewe wis biasa diuji.