12 April 2008

Seorang Presiden yang Dipenjara

Ia sebenarnya bukan presiden lagi. Namun para pendukungnya tetap menyebutnya Bapak Presiden. Maka mari kita sebut saja dia El Presidente.

El Presidente tiba di penjara ibu kota saat malam tiba. Ia dibawa dengan ambulans dari kota peristirahatan di bawah kawalan ketat polisi dan petugas kejaksaan. Ia harus memasuki hari-hari peradilan dalam tempo yang tak lama lagi, dengan dakwaan menggangsir uang kas negara.

El Presidente pernah lima tahun berkuasa di republik ini. Ia ditakuti oleh partai politik, pejabat negara, pemuka agama. Ia beri duit kepada polisi, jaksa, hakim yang setia. Ia bungkam pers yang membangkang dengan ancaman somasi miliaran rupiah. Ia buang pejabat yang tak becus menjalankan perintahnya.

El Presidente tak punya anak kandung dan memiliki dua istri. Dengan istri mudanya, usianya terpaut 20 tahunan. Rumahnya di mana-mana. Kekayaannya berupa-rupa.

Tak ada yang berani melawan El Presidente, kecuali beberapa orang gila. Semua bisa dibeli. Maka, tak pernah ada yang membayangkan El Presidente bakal bisa jatuh. Saat pemilihan presiden, semua memperhitungkan, ia bakal meluncur ke istana lagi.

Namun politik bukan matematika. Menjelang hari pemungutan suara, kebusukan keuangan negara yang tersimpan selama ini terbongkar. Yang membongkar adalah pejabat presiden yang ditunjuk oleh Parlementaria, lenmbaga perwakilan rakyat. Media massa yang emoh terus-terusan ditakut-takuti, mendadak punya keberanian memberitakannya habis-habisan. El Presidente pun ditinggalkan rakyat. Rakyat memilih Mister Presiden yang baru. El Presidente pulang dengan terkulai ke kota peristirahatan.

El Presidente pun ditangkap. Mungkin karena syok atau sekadar pura-pura, ia masuk rumah sakit di kota peristirahatannya. Ada gosip, saat pemilihan dulu ia juga sempat masuk rumah sakit. Namun gosip itu tak pernah punya bukti.

Namun malam ini, ia diantarkan ke penjara dengan sebuah ambulans. Sebelumnya jaksa juga sudah memasukkan sejumlah pejabat negara yang didakwa bersekongkol dengan El Presidente dalam menggangsir uang negara. Salah satunya Sekretaris Negara yang di kemudian hari terbukti tidak bersalah di pengadilan.

Kedatangan El Presidente ke penjara membuat sibuk banyak orang. Para jurnalis berkumpul, mengarahkan kamera, menuliskan apa saja yang penting di bloknot mereka. Pegawai jaksa negara tak ada yang tidur, menunggu El Presidente. Para pendukung El Presidente sibuk berteriak-teriak memberikan dukungan. Sipir penjara kerepotan memilih sel untuk El Presidente.

Datang ke penjara, El Presidente masih merasa sebagai penguasa. Ia tak mau langsung masuk ke sel, dan memilih mampir di ruang Sipir Kepala. Ia memilih tinggal di sana satu dua hari.

Pusinglah kepala Sipir Kepala. Rasa segan masih tertanam di dirinya. Selama menjadi bos di penjara, ia juga menikmati aliran bantuan dari rezim El Presidente. Di penjara ini, El Presidente menang telak atas semua calon saat pemilihan presiden. Tapi membiarkan El Presidente menguasai ruang kerjanya juga akan membuat dirinya kelihatan konyol.

“Bagaimana ini? Saya kan jadi tidak bisa kerja. Apa saya harus seret dia?” keluh Sipir Kepala kepada Sekretaris Negara.

Sekretaris Negara tersenyum. “Gampang. Begini saja, minta dia mengurus administrasi. Nah, administrasi diurus di ruang Kepala Keamanan Penjara yang berada satu kompleks dengan sel narapidana di dalam,” katanya.

Sipir Kepala tampak senang mendengar siasat Sekretaris Negara.

Tak perlu ditanya, El Presidente termakan siasat itu. Ia terpaksa masuk ke kompleks sel untuk menemui Kepala Keamanan. Ia tak bisa balik ke ruang Sipir Kepala.

El Presidente mungkin akhirnya tahu kalau kena kibul. Dia ngambek, dan memilih berada di ruang Kepala Keamanan. Tidak mau masuk sel. Giliran Kepala Keamanan yang pusing.

Sekretaris Negara yang sejk awal mendengar semua keramaian itu dari balik tembok penjara mengajak seorang pejabat negara untuk menemui El Presidente. “Kita silaturahmi,” katanya.

“Wah, bagaimana kalau beliau menolak untuk ditemui,” kata sang pejabat dengan enggan.

“Ya tidak apa-apa. Yang penting kan kita sudah berniat baik.”

Sang pejabat benar. El Presidente tidak mau menemui Sekretaris Negara.

Kepada Kepala Keamanan dia berkata, “Si Sekretaris Negara mau silaturahmi apa dengan aku? Kalau silaturahmi hati, aku sama dia sudah nggak mungkin ketemu. Kalau silaturahmi politik, apa konsep dia?”

Sekretaris Negara tidak kaget dengan jawaban mantan bosnya itu. Ia memang sangat dibenci oleh El Presidente. Kelak di pengadilan, El Presidente menjadi satu dari dua saksi yang memberatkan Sekretaris Negara. Satu saksi lagi yang memberatkan adalah Bendahara Negara yang memang sudah pasang badan untuk El Presidente.

Kepala Keamanan kebingungan menempatkan El Presidente di sel mana. Dijadikan satu dengan maling ayam kok ya tidak pas. Ini yang digangsir duit gede, miliaran perak.

“Kalau mau dekat saya tidak apa-apa. Tapi jangan dijadikan satu dengan saya,” kata Sekretaris Negara.

Cari-cari jalan ketemulah akhirnya. Sebuah bekas klinik di dalam penjara disulap dalam waktu satu hari satu malam menjadi ruang tahanan. Tapi ini bukan sembarang ruang tahanan. Ada televisi, ada kasur empuk, ada pendingin ruangan. Ini bukan sel penjara, tapi kamar kos mewah.

El Presidente menyukai kamar barunya. Ia tak mau bergaul dengan penghuni penjara lainnya, dan lebih memilih mendekam dalam kamar.

Pat gulipat pengelola penjara membuatkan sel VVIP untuk El Presidente tercium pers. Tiada hari berita tanpa perlakuan diskriminatif yang dilakukan Sipir Kepala. Narapidana lain harus tidur ramai-ramai dan berteman kipas angin, El Presidente tidur dengan udara sejuk. Sudah begitu, ia masih boleh menerima tukang pijat dan membawa ponsel.

Tapi Sipir Kepala tutup telinga.

Pengistimewaan untuk El Presidente justru mulai berkurang akibat protes narapidana lain. Gara-garanya sepele: listrik di penjara sering padam karena putus sambungan. Usut punya usut, ternyata daya listrik penjara terbebani jauh melebihi kapasitas, saat pendingin ruangan di ruang tahanan El Presidente dinyalakan.

Maka, saat listrik terputus, para narapidana berteriak-teriak protes: “AC…AC…AC…!”

Para sipir tidak mau menghadapi risiko pemberontakan di penjara gara-gara pendingin ruangan. Maka, buru-buru mereka mencopot pendingin ruangan dan menggantinya dengan kipas angin kecil.

Sekretaris Negara mengatakan kepada Kepala Keamanan bahwa masalah kecemburuan memang menjadi masalah sensitif di penjara. Perlakuan pengistimewaan pada satu tahanan hanya akan memercikkan api protes.

Sejak saat itu, El Presidente tidak terlampau diperlakukan seperti raja.

Mendekam di penjara memang membuat El Presidente meriang. Ia selama ini tinggal di istana negara yang nyaman. Beruntung ia masih bisa menikmati sisa-sisa kekuasaannya, karena orang-orang yang setia kepadanya selalu datang dan pergi menjenguknya.

Namun bahagia itu tak selamanya ada. Hartanya berupa aset tanah, bangunan, dan kendaraan sedikit demi sedikit habis, untuk membiayai urusan hukum yang makan banyak biaya. Sogok sana. Sogok sini.

El Presidente semakin merana, karena tak semua anggota keluarganya rela berkorban untuknya. Suatu kali, ia pernah bertengkar dengan Sang Istri Tua. Sang Istri Tua menolak salah satu aset miliknya dijual untuk biaya proses hukum El Presidente.

“Kenapa sih kok harta yang dijual atas namaku terus? Kenapa bukan aset milik Si Istri Muda?”

Bukannya menjawab protes itu, El Presidente justru menggerutu. “Kalau sudah begini, tidak ada yang mau berkorban. Kalau aset itu tidak dijual, itu sama saja membiarkan aku menderita.”

Sang Istri Tua dan Si Istri Muda memang tak akur. Selama persidangan, Si Istri Muda tak pernah tampak. Jika menengok El Presidente, keduanya tak pernah berangkat bersama.

Bagaimana El Presidente bisa menikahi Si Istri Muda? Ceritanya, justru Sang Istri Tua yang mendorongnya, ketimbang berselingkuh terus dan jadi pembicaraan orang. Si Istri Muda sebelumnya adalah kekasih ajudan El Presidente sendiri.

Sempat ada gosip jalanan: Si Istri Muda hamil. Tak ada bukti. El Presidente agaknya memang mandul.

Bulan berlalu. Pers tak lagi memantau kondisi El Presidente. Kabar terakhir, El Presidente mengajukan banding ke Mahkamah Negara, karena bandingnya di Pengadilan Wilayah ditolak. Bahkan, ia harus mendapat bonus vonis dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

“Ini risiko perjuangan,” kata El Presidente. Entah perjuangan yang mana dan perjuangan model apa. (*)

1 comment:

Anonymous said...

Kok nggak ditulis saja nama aslinya kalau berani???? Hehehe... Uji nyali, Bro!