04 April 2008

Komunitas Sabtuan: Panggung Kata yang Hilang

Awal Januari 2003, saya dan pemimpin redaksi Radar Jember Muhammad S. Rasyid berdiskusi kecil di warung depan kantor kami, di jalan Ahmad Yani 99. Topik perbincangan kami lain dari biasanya. Kali ini bukan soal politik. Saya menanyakan kepada Rasyid mengenai kemungkinan adanya sebuah halaman khusus untuk berita-berita seni dan budaya.

Saya mencontohkan media-media besar yang memberikan porsi untuk seni budaya. Di Jawa Pos sendiri setiap hari Minggu ada halaman khusus untuk tema ini. Media massa bicara tentang manusia. Seni dan budaya adalah hasil olah rasa manusia. Jadi, saya pikir, layaklah laku berkesenian dan berkebudayaan diberi tempat.

Sebelumnya, Radar secara intensif juga sudah sering memuat berita-berita hasil reportase saya tentang seni budaya di halaman satu. Saya memang sering nyambangi panggung-panggung teater, pameran lukisan, atau pentas musik di malam hari. Dari sanalah muncul tulisan-tulisan tentng seni. Melalui reportase itu, saya berkenalan dengan sejumlah pelaku seni. Ini komunitas pergaulan saya yang lain, di luar para politisi dan birokrat.

Usulan saya lantas disetujui Rasyid. Maka sejak itu, saya resmi menjadi redaktur sekaligus wartawan desk seni budaya. Selanjutnya, saya sendirian mengurus halaman khusus ini. Tidak banyak wartawan yang tertarik dengan urusan seni budaya. Nonton teater saja ogah. Di masa-masa akhir Komunitas Sabtuan memang ada bantuan dari Eko Saputro, wartawan Radar Jember di Bondowoso, yang menuliskan masalah seni budaya di kota tape.

Halaman khusus itu disepakati terbit setiap hari Sabtu, di mana satu lembar halaman bagian dalam Radar dikhususkan untuk membahas topik-topik seni dan budaya.

Formatnya: satu tulisan wawancara dengan pelaku seni atau akademisi dan setidaknya dua tulisan mengenai wacana atau kegiatan seni budaya. Di bagian kiri, ada kutipan kata-kata bagus dari tulisan wawancara, agenda kegiatan kesenian, dan puisi.

Untuk layout halaman, awalnya ada foto seperti halaman lain. Namun, dalam perkembangannya disepakati penempatan foto diminimalisasi, kecuali ada foto adegan pentas teater yang artistik. Satu-satunya gambar dalam rubrik itu adalah karikatur tokoh yang diwawancarai. Kami lebih memilih karikatur ketimbang foto, karena lebih artistik.

Karena terbit setiap hari Sabtu, maka kami sepakat memberi nama halaman suplemen khusus itu ‘Komunitas Sabtuan’. Kata ‘Sabtuan’ ini juga cukup merakyat: mengingatkan masyarakat pada ‘Pasar Sabtuan’.

Edisi pertama Komunitas Sabtuan terbit 4 Januari 2003. Ada dua tulisan dalam edisi itu, yakni wawancara dengan Ketua Forum Kesenian Jember Ilham Zoebazarry dan tulisan mengenai nasib komunitas-komunitas seni di kampus berhadapan dengan zaman. Saat itu, saya mewawancarai aktivis Dewan Kesenian Kampus Ikhwan, Indah Fajarwati, dan Gunawan.

Respons para pelaku seni dan masyarakat umum belum terbaca. Untuk memperkuat hubungan rubrik itu dengan komunitas pembaca dan pelaku seni, Rasyid setuju menjadikan ruang rapat Radar Jember Bedadung Room sebagai tempat pertemuan dan diskusi para pelaku seni setiap hari Rabu. Hasil diskusi ini kemudian akan dimuat di lembar Komunitas Sabtuan.

Diskusi pertama dilangsungkan 8 Januari 2003. Sebanyak 13 orang pelaku dan peminat seni hadir dalam diskusi mengenai peran media massa bagi pengembangan seni dan budaya di Jember. Semua menyambut baik kehadiran Komunitas Sabtuan sebagai media komunikasi antar para pekerja seni.

“Selama ini kan komunikasi kita dari mulut ke mulut. Hal ini kadang menimbulkan prasangka,” kata Ilham Zoebazarry saat itu.

Diskusi Rabuan pun berjalan marak. Kami tidak hanya berdiskusi. Kadang ada pentas musik, pentas patrol, atau pembacaan puisi.

Saya pun semakin yakin, Komunitas Sabtuan memang sudah selayaknya hadir. Tulisan-tulisan bertema wacana budaya dan kesenian pun semakin beragam dari sabtu ke sabtu. Ada kalanya, Komunitas Sabtuan memuat tulisan tentang puisi Jawa, politik representasi gender, komunitas pengamen, nasib suku Tionghoa di Jember, pentas teater, sampai musik dangdut dan pembuatan film independen.

Namun, idealitas selalu saja membentur realitas. Dalam perjalanannya, forum diskusi Rabuan sebagai bagian dari Komunitas Sabtuan tidak juga memiliki daya rekat. Para pegiatnya datang dan pergi, dan tidak ada rasa memiliki. Saya merasa, teman-teman pelaku seni menganggap Komunitas Sabtuan adalah milik Radar, dan bukan milik mereka.

Yang menyakitkan, ada lontaran yang mampir ke telinga saya, bahwa Radar mengeksploitasi wilayah kesenian yang ujung-ujungnya keuntungan perusahaan. Sementara, para pelaku seni tidak mendapat apa-apa.

Saya tidak memahami pola pikir seperti itu. Sejak awal, kalau mau jujur, satu halaman khusus untuk seni budaya sama sekali tidak memiliki prospek bisnis. Di sebuah kota yang enggan menoleh pada kesenian, bagaimana mau berharap untung dari halaman seni budaya. Ini proyek gambling. Kami di Radar berjudi, dan hanya berbicara soal idealisme.

Akhirnya, saya kelelahan. Jika hanya menulis hal-hal bertema seni budaya untuk satu halaman, bukan masalah. Namun, berupaya keras agar diskusi Rabuan sebagai bagian dari Komunitas Sabtuan tetap hidup, itu lain perkara. Tanpa dukungan kawan-kawan pekerja seni, semua sia-sia.

Seiring bersama dengan waktu, Komunitas Sabtuan akhirnya lenyap dari Radar Jember. Hiruk-pikuk pemilu membuat konsentrasi saya terpecah. Apalagi kemudian saya dipindahtugaskan ke Bondowoso, dan ujung-ujungnya saya harus ‘pensiun’ dari Radar.

Komunitas Sabtuan tinggal kenangan. Saya tidak tahu lagi, apakah kelak bakal ada media lokal yang memiliki oplah besar bakal memberi ruang kepada kehidupan seni budaya sebagaimana yang pernah dilakukan Radar Jember. (*)

No comments: