22 April 2008

Jangan ragu, dengan sesuatu yang berbeda
Oleh Siti Nurrofiqoh

“Kenapa kita membahas ini? karena background-nya sangat menarik,” kata Andreas Harsono yang mengisi sesi ketujuh kelas narasi di gedung Strategy, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Malam itu, mereka membahas tulisan-tulisan karya Ryszard Kapuscinski.

Ia seorang wartawan, penyair, penggubah puisi dan publisher sekaligus. Lahir di Pinsk (sekarang Belarus) dari pasangan Jozef dan Maria, pada 4 Maret 1932. Sejak tahun 1960 dia mulai menerbitkan buku yang memperlihatkan kemampuannya dalam penulisan bergaya narasi. Tulisan yang sebelumnya dibuat dengan paragraf pendek-pendek, mulai ditulis dengan panjang dan dalam. Beberapa buku hasil karyanya adalah The Emperor, Syah of Syah, The Soccer War, dan Travels with Herodotus.

“Hebat, ya?” komentar Andreas selesai membacakan biografi Ryszard Kapuscinski.

Pertemuan kelas Narasi, tanggal 18 Desember 2007 itu, kedatangan peserta tamu. Mereka adalah Dian Lestariningsih dan Oryza Ardyansyah. Datang dari Jogja dan Jember untuk mengikuti kelas Jurnalisme Sastrawi selama dua minggu. Namun, malam itu mereka tertarik untuk masuk ke kelas Narasi.

Malam itu mereka membahas The Soccer War di awal diskusi. Tulisan yang menceritakan perang enam hari antara Honduras dan El Savador akibat pertandingan sepakbola antarkedua negara tersebut. Intro yang diambil adalah suatu percakapan, lalu komentar pendek yang menyatakan pasti perang, kemudian pertimbangan bermanfaat tidaknya pergi ke negara tersebut, dan berikutnya sudah meninggalkan Meksiko hingga berada di Honduras El Savador.

Ringkas, padat, tak bertele-tele, tergambar dalam tulisan Kapuscinski. Potret-potret psikologis yang dia terapkan ketika meliput adalah hal yang luar biasa. Dalam mendeskripsikan seseorang, tidak hanya soal baju yang dikenakan, kacamata, rambut atau kerutan di kening. Ia juga mampu membaca dimensi tersembunyi dari adegan-adegan yang ada di baliknya.

Untuk mengetahui psikologi dalam diri seseorang, kita harus melihat sesuatu lebih dalam dari sekedar apa yang terlihat, apa yang dipakai, termasuk jabatan. Kapuscinski menggambarkan Syah Iran sebagai orang yang punya jabatan, tapi tidak sekedar karena jabatannya. Ia membuat penggambaran yang tidak biasa.

“Ada pertanyaan?” tanya Andreas.

The Soccer War kembali dibaca meski tidak seluruhnya. Para peserta tertarik dengan tempo yang dimainkan.

“Wah, kalau saya mungkin masih akan bermain-main dan berkutat pada pemikiran pergi atau enggak, seimbang atau enggak, Mas,” komentar Dian sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Peserta mengomentari paragraf yang memasukkan pribadi Ryszard Kapuscinski ketika ia tergesa masuk ke kamar hotel, memasukkan selembar kertas ke mesin ketik, harus bergerak cepat, bagaimana ia menabrak drum dan terguling-guling sepulang dari kantor pos dan seterusnya. Narsis-kah? Oryza menanyakan pendapat Andreas soal itu. Narsis atau tidak jika penulis memasukkan hal pribadi di dalam tulisannya? Leila Mona juga punya pendapat senada, bahkan ia punya pengalaman pribadi ketika sang dosen menyuruhnya menghapus penggunaan kata saya dalam disertasinya. Menurut sang dosen, itu narsis dan tidak bisa dipakai di Indonesia. Saat itu di hati Mona sempat terbersit, apakah karena budaya Indonesia yang collectives?

Setelah diam beberapa saat Andreas menjawab, “Harus dicari yang relevan dengan story. Bahwa dia nabrak drum sampai terguling-guling ke bawah, karena seluruh kota itu dimatikan lampunya supaya nggak dibom. Dia hanya bisa mengirimkan telegram di kantor pos karena waktu itu nggak ada internet atau warnet. Soal pribadi Ryszard Kapuscinski masuk di cerita, karena untuk menceritakan betapa gelapnya kota itu, betapa susahnya mengirim berita. Itu masih relevan bagi pembaca. Itulah. Soal sepakbola yang tak lepas dari soal politis, konspiratif, juga masalah-masalah pribadi. Itulah kira-kira gambaran perang itu seperti apa. Ada komentar?” tanya Andreas lagi.

Andreas mencoretkan ujung spidol pada sebuah karton. Tarikan dengan garis panjang ke atas ke bawah, lalu disambung dengan tarikan sedang ke atas ke bawah, dilanjutkan dengan tarikan sangat pendek ke atas ke bawah. Berganti-ganti hingga membentuk sebuah pola segaris.

“Kalau anda mau menulis, supaya konsentrasi pembaca nggak turun, buatlah naik turun seperti ini. Nah ini, panjangnya alinea. Jangan konstan. Itu akan membosankan. Tapi alinea diatur dengan adanya diskusi, dialog dan kesimpulan-kesimpulan yang menarik, itu tak membosankan. Biasanya yang pendek-pendek itu deskripsi. Menulis data dan angka-angka akan membuat daya pembaca menurun. Harus diangkat lagi dengan deskripsi-deskripsi. Supaya menarik,” Andreas menerangkan maksud coretan-coretannya tadi.

Lalu Andreas meminta Emmy Kuswandari membacakan halaman 160 dalam buku The Soccer War.

“Do you think it’s worth going to Honduras? I asked Luis, who was then editing the serious and influential weekly Siempre.
“I think it’s worth it,” he answered. “Something’s bound to happen.”
I was in Tegucigalpa the next morning.

“Stop,” Andreas meminta Emmy berhenti.

“Lihat kecepatannya bergerak. Set, set, set! Nggak perlu menceritakan susahnya mencari tiket, atau capeknya mengantri di loket. Juga tidak perlu menuliskan mengisap rokok yang biasa dialami oleh penulis laki-laki kebanyakan. Menulis dengan paragraf pendek-pendek. Cepat. Nggak bertele-tele,” tandas Andreas.

“Itu benar enggak sih seperti itu? Maksudnya, ketika dia hanya menuliskan hal yang pendek-pendek begitu?” tanya Mona.

“Benar. Efisien,” jawab Andreas.

Membiasakan membaca buku tentang suatu negara yang akan dikunjungi adalah salah satu kebiasannya. Inilah persiapan yang memang harus dilakukan oleh orang yang akan membuat liputan. Tidak hanya sekedar berangkat dan tak mengerti apa-apa. Bahkan Kapuscinski tidak hanya sekedar pergi ke tempat-tempat yang diinginkan, tapi juga ke tempat-tempat yang bermasalah. Ia juga juga sangat telaten untuk mendengar beraneka ragamnya orang-orang yang dia jumpai. Untuk mengetahui dimensi-dimensi yang tersembunyi dari setiap gerak-geriknya.

“Ada pertanyaan?” tanya Andreas.

“The Soccer War ditulis setahun setelah perang. Resminya The Soccer War terbit dalam bahasa Inggris tahun 1978, jadi sembilan tahun setelah perang. Sedang versi Polandia sekitar 2-3 tahun setelah itu. Selama dia berkarir, ada bias tidak dengan profesi dia sebagai Agent?” tanya Dian.

Menurut Andreas itu merupakan pertanyaan menarik, meski tidak mudah menjawabnya. Tapi soal bias, hampir semua orang mempunyai bias. Itulah kenapa, penggunaan kata saya lebih transparan dibanding kata penulis, karena lebih bertanggung jawab. Saya vs penulis, adalah perdebatan panjang. Tidak sesederhana pemikiran bahwa saya dapat diganti dengan penulis, meski sekilas punya kesamaan. Saya dan penulis adalah dua kubu dengan cara pandang dan prinsip yang berbeda. Kubu yang suka menggunakan kata penulis beranggapan bahwa penggunaan kata saya dianggap subyektif dan tidak independen karena tidak berjarak. Sementara, kubu yang memilih menggunakan kata saya, justru mempertanyakan arti subyektifitas itu sendiri.

Setiap orang pasti punya bias terhadap nilai-nilai tertentu. Percaya bahwa dirinya tidak obyektif, pemikirannya lebih bisa diterima. Itulah perlunya transparansi, karena dengan transparan kita bisa memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menilai dan mengukur derajat kepercayaannya terhadap tulisan yang dibaca. Hal ini bukan hanya demi kenyamanan pembaca, namun agar tidak bersembunyi di balik kalimat pasif dengan menyebut dirinya penulis.

Andreas mencontohkan, bagaimana para dosen atau kalangan akademisi yang merangkap sebagai politikus, tim sukses, terlibat di partai, jadi penasehat, dan sebagainya. Bagaimana mau independen dan obyektif? I’m sorry…jika saya merasa ragu,” tegas Andreas.

Tulisan Kapuscinski yang dibahas berikutnya adalah Syah of Syah yang dimuat majalah The New Yorker dalam dua edisi di tahun 1985. Lain dengan The Soccer War yang bertempo cepat, kekuatan tulisan ini ada pada detil, kemampuan menggunakan metafor, perumpamaan dan sudut pandang yang diambil dari foto-foto. Kontras memang. Dari tempo yang penuh dengan loncatan, berpindah ke tempo yang lambat, penuh dengan detil dan kedalaman, serta paragraf-paragraf panjang. Sempat membingungkan.

Di sela keheningan, Mona kembali bertanya soal ukuran untuk mempercepat atau melambatkan tempo dalam tulisan, kapan mengabaikan detil dan kapan harus menggalinya.

“Syah of Syah lebih lambat dan hanya berkutat pada foto-foto, karena foto adalah entry untuk masuk ke cerita, untuk menggambarkan profil seorang ayah dan anak dengan karakter yang berbeda dan masuk ke psikologisnya. Dalam konteks ini detail menjadi relefan,” komentar Oryza.

“Inilah cara penulis yang terlatih, ketika soal sepak bola harus ditulis sepeti apa, dan ketika menulis soal profil juga seperti apa,” Eko menambahi.

“Polanya gimana ya mas…? Sebagai penulis mas pasti tahu bagian mana yang perlu digali dan tidak?” pinta Leila Mona.

“Hmm, saya nggak merasa mampu menerangkan dengan bagus kapan harus dalam, kapan harus cepet,” kata Andreas, kemudian mengemukakan dua contoh yang disebutnya sebagai contoh ringan. Pertama, penulis harus tahu dulu apa yang mau ditulis. Menguasai teorinya, tahu isu besarnya, tahu di mana strukturnya, baru memilih titik yang mau dimasukkan. Titik masuk yang meski kecil tapi menggambarkan sesuatu yang besar dan orang yang membaca tahu bahwa penulisnya mengerti. Kedua, setelah tahu isi dan teorinya, aturlah keindahannya, sehingga bacaan menjadi bagus tanpa mengorbankan kedalaman analisis. Juga tidak perlu larut untuk menceritakan apapun yang tidak relefan, juga tak perlu menyediakan berhalaman-halaman tulisan hanya agar pembaca mengetahui teori yang dipakai.

“Orang tidak perlu tahu bahwa Pram atau Soekarno mengerti nasionalisme. Tapi, kalau dia nulis orang tahu bahwa dia mengerti nasionalisme,” tandas Andreas.

Di menit-menit terakhir Andreas juga menjelaskan tentang footnote yang sebisa mungkin dihindari. Ini karena nomor bisa mengganggu mata dan otak pembaca. Lalu bagaimana referensinya? Andreas biasa menggunakan halaman terakhir untuk menulis referensi. Hal itu dimaksudkan untuk mengakui bahwa itu bukan hasil pemikiran kita. Supaya tidak memplagiat karya orang lain. Dalam mengutip pun selalu ada batas. Untuk standar membuat buku yang jumlah katanya antara 30.000 -110.000, kutipan tidak boleh lebih dari 800 kata. Kalau lebih dari itu harus meminta ijin dulu dengan sumbernya.

Seiring gerak jarum jam yang terus berjalan, waktu tinggal tersisa beberapa menit untuk sampai pada pukul 9 malam. Layar yang sebelumnya menampilkan tentang sosok Ryszard Kapuscinski hanya menyisakan selembar kanvas putih. Sesi pun diakhiri.

*****
Edited by Eva Danayanti

No comments: