28 March 2008

Tak Mudah Memperjuangkan Hak di Jatim Mandiri

Ternyata tak mudah memperjuangkan hak normatif di sebuah perusahaan media. Setidaknya itu saya rasakan setelah diputus hubungan kerja oleh harian Jatim Mandiri, tanpa alasan resmi.

Saya melayangkan surat permintaan agar hak-hak normatif saya diselesaikan secara baik-baik. Ini pertanda itikad baik saya. Meski banyak dirugikan karena PHK dilakukan tanpa kejelasan, saya tetap menginginkan semua diselesaikan secara damai dan tenang.

Namun nyatanya, surat saya tidak digubris. Hingga 15 Maret 2008, hak-hak normatif saya berupa pesangon dan gaji belum juga dibayarkan via rekening. Saya terlambat tahu, karena sakit selama dua pekan.

Lalu saya melayangkan surat somasi pertama. Saya mengingatkan kepada Jatim Mandiri agar tak lepas tangan dan menjadi pengecut. Jumlah uang itu tak seberapa, tak sampai dua juta perak dibandingkan apa yang saya tanggung akibat kehilangan pekerjaan tanpa alasan yang terang dan profesional.

Saya tetap beritikad baik dengan mengirimkan somasi pertama via surat elektronik. Sebagai tanda niat baik saya, saya juga meminta tolong Ferry Ismirza. Saya bisa menyapanya Bang Fim. Dia mantan wartawan Jawa Pos.

Dalam pesan pendek tanggal 26 Maret lalu, saya katakan:
"Bang, saya ingin minta tolong sampeyan sebagai senior saya. Saya diberhentikan oleh Jatim Mandiri yang dipimpin Imron Mawardi. Namun hak normatif saya dua bulan gaji dan pesangon tidak dibayar. Jumlah total Rp 1,75 juta. saya sudah surati dia, tapi ternyata hasilnya nihil. Hari ini saya akan kirim somasi pertama. Saya benernya gak mau rame-rame, asal hak saya menafkahi anak istri terpenuhi. Saya minta tolong Bang Fim beritahu Imron. Terima kasih atas bantuan Abang."

Bang Fim menjawab:
"Subhanallah. Baik Mas, akan saya urus dan Mas Imron akan saya ajak omong. Ini harus diselesaikan, karena menyangkut hak dan kewajiban. Demikian terima kasih wassalam."

Belum ada kabar lagi dari Bang Fim.

Saya mendapat dorongan dari teman-teman Serikat Pekerja Pers Independen (SPPI). Ini organisasi serikat pekerja media massa yang didirikan sejumlah wartawan Jember, dan terdaftar resmi di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jember. Martin Rachmanto, sang ketua, siap memberikan dukungan.

"Kawan-kawan ABJ (Aliansi Buruh Jember) juga siap mendukung," kata Rachmanto.

Andreas Harsono, direktur PANTAU, sempat menelpon saya. Ia memberi semangat agar saya tak patah arang. "Sudahlah, nggak usah mikiri ruwet-ruwet Jatim Mandiri. Menjengkelkan memang. Tapi kamu lebih besar daripada mereka."

Andreas menyarankan saya agar lebih berkonsentrasi membuat reportase-reportase panjang yang bagus. Setelah itu, dalam waktu dua tahun, saya disarankan untuk sekolah lagi, mengikuti pendidikan jurnalisme.

Saya sadar, perjuangan ini bakal tak mudah. Ribut Wijoto, redaktur Jatim Mandiri, sempat membalas pesan pendek saya. "Sepertinya Pak Imron gak bisa apa-apa, Mas. Semua tergantung pada Pak Anki, Direktur Keuangan."

Saya mendadak teringat tetralogi Pulau Buru. Saya teringat Nyai Ontosoroh. Saya teringat Minke. "Kita telah melawan. Sebaik-baiknya melawan."

Melawan. (*)

2 comments:

Eko Rusdianto said...

Saya suka ending tulisan ini. Seperti mengingat2 Pram saja. Ada keberanian dan kesabaran. Meski kemudian harus mengundurkan diri. Sabar Mas Oryza, ayo berjuang, lalu terus melawan.

Soal cewe',,, lebih hebat lagi kalau pintar berkelahi dan pernah tonjok wajah mamanya, hehehe.

Anonymous said...

Mas Ozy??? walaupun kita blm pernah bertatap muka, tapi setelah membaca tulisan mas, baik bentuk reportase maupun masalah yang dihadapi oleh mas di Jatim Mandiri, saya jadi terinspirasi dan sangat salut dengan perjuangan mas. Maaf saya baru baca tulisan mas..Sabar ya mas??? Allah selalu mendengarkan doa orang-orang yang teraniayah....