30 March 2008

Jurnalisme Sastrawi di Retorika

Saya baru saja masuk kerja, setelah selama dua pekan lebih terkapar karena sakit, saat seorang mahasiswa Universitas Airlangga menghubungi saya melalui ponsel. Ia mengaku dari majalah mahasiswa FISIP Retorika.

Ia mengaku tahu nama saya dari Ribut Wijoto, redaktur harian Jatim Mandiri. "Saya berharap Mas Oryza bisa memberi materi jurnalisme sastrawi hari Minggu, 30 Maret nanti," katanya.

Saya tidak langsung berjanji. Namun akhirnya saya sanggupi juga. Saya ke Surabaya.

Sebelumnya, saya minta izin kepada Andreas Harsono dan Linda Christanty untuk bisa menggunakan materi kursus jurnalisme sastrawi Pantau. Saya sebenarnya percaya mereka bakal memempersilakan tanpa harus minta izin. Tapi secara etika, lebih santun kiranya jika saya minta izin.

Andreas membalas pesan pendek saya: "Go ahead. Sudah saatnya kamu tampil. Saya senang membaca pesan ini."

Linda pun mempersilakan. "Sukses ya," katanya dalam pesan singkat.

Saya mengirimkan sejumlah materi tulis ke panitia pelatihan jurnalistik via surat elektronik. Saya minta kepada panitia agar menggandakan materi tulis lebih dulu agar bisa dibaca peserta. Jadi, nantinya saat materi jurnalisme sastrawi diberikan, otak peserta tak kosong.

Di kampus FISIP, tak ada yang menyambut saya. Saya memilih duduk di salah satu sudut kampus dan senang melihat dua orang mahasiswa membaca fotokopian materi jurnalisme sastrawi dari saya. Mereka berdiskusi.

Saya duduk saja memperhatikan. Sang mahasiswa, belakangan saya tahu namanya Sigit, berbicara dengan penuh semangat. Sementara kawannya seorang mahasiswi berjilbab dengan wajah menawan hati membaca artikel Jurnalisme Sastrawi yang ditulis Andreas Harsono. Sesekali ia mengisap sebatang rokok.

Seorang panitia melayangkan pesan pendek ke ponsel saya, dan kami bertemu. "Acaranya di lantai tiga, Mas," katanya. Ia memperkenalkan diri Andrian.

"Berapa pesertanya?"

"Empat puluh. Ada yang izin."

Di lantai tiga, saya bertemu Munip. Ia mantan aktivis pers kampus. Sekarang bekerja sebagai redaktur di Duta Masyarakat. Kami ngobrol soal pers kampus dan saya cerita-cerita soal Pantau. Munip berminat menjadi kontributor Pantau. Saya berikan nomor ponsel dan email Andreas.

"Coba saja kirim tulisan. Aku dulu juga begitu," kata saya.

Saya tampil di sesi terakhir, sebagai penutup acara pelatihan jurnalistik. Saya tahu para peserta kecapekan. Tentu cukup berat memberikan materi pengantar jurnalisme sastrawi dalam kondisi begitu. Saya katakan kepada peserta, di Pantau, materi kursus ini diberikan dalam waktu dua pekan.

Saya bicara tentang Tom Wolfe. Truman Capote. Jimmy Breslin. New journalism. Robert Vare. Sebenarnya saya masih ingin bicara tentang Hiroshima karya John Hersey. Saya sudah mengirimkan powerpoint tentang Hiroshima milik Pantau ke panitia. Sayang, waktu terlampau singkat.

Seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran bertanya tentang penerimaan media massa cetak di Indonesia terhadap jurnalisme sastrawi dan prospek genre ini. "Orang sekarang ingin informasi lebih cepat," katanya.

Saya katakan, media massa cetak di Indonesia masih belum banyak menerapkan genre ini. "Saya tidak tahu mengapa begitu. Seharusnya peluang itu ada. Kompas Minggu memiliki satu halaman untuk cerpen. Seharusnya itu bisa digunakan untuk naskah naratif."

Saya tetap optimistis genre ini bakal punya pembaca. "Ayat-Ayat Cinta hari ini terjual 400 ribu kopi. Laskar Pelangi karya Andrea Hirata begitu booming. Jadi saya pikir orang masih punya kesempatan baca novel yang panjang."

Jurnalisme sastrawi memiliki struktur novel. Bedanya, karena ini jurnalisme, maka isinya faktual bukan fiksional. Persoalannya, kata saya, masih sedikit jurnalis di Indonesia yang bikin buku jurnalisme naratif.

"Anda silakan ke Gramedia. Di sana novel non fiksi karya Sonia Nazario dan Mark Bowden dijejerkan satu rak dengan novel fiksi," kata saya.

Saya tidak tahu kenapa jurnalis Indonesia masih sedikit bikin karya naratif non fiksi. Saya percaya jurnalis Indonesia mampu. Persoalannya: mau atau tidak.

Sigit, seorang peserta, mengatakan penggarapan jurnalisme sastrawi butuh energi dan ongkos operasional lebih besar. Saya membenarkan. Boleh jadi itu pula yang membuat media massa cetak enggan menginstruksikan wartawannya melakukan reportase naratif yang serius.

"Wartawan Indonesia ini kan dididik menjadi beat reporter. Wartawan harian yang selalu dikejar deadline dan jumlah berita," kata saya.

Ulfa, seorang mahasiswi Fakultas Sastra menanyakan, apakah buku-buku novel non fiksi bisa disebut jurnalisme sastrawi. Saya katakan tidak semuanya. Karena jurnalisme sastrawi adalah jurnalisme, maka harus ada kerja pengumpulan fakta melalui reportase.

"Laskar Pelangi karya Andrea Hirata boleh jadi non fiksi karena itu kisah hidup dia. Tapi itu bukan jurnalisme sastrawi, karena Andrea hanya menuliskan kenangannya tanpa ada proses reportase. Itu lebih layak disebut memoar. Tapi ada juga memoar yang dibuat dengan metode reportase naratif seperti karya Julius Pour soal Benny Moerdani," kata saya.

Waktu berjalan begitu cepat. Saya sendiri kurang puas. Tapi saya pikir sebagai pengantar, semoga apa yang saya jelaskan sudah cukup membantu mereka. Saya sarankan mereka untuk membaca novel-novel non fiksi yang sudah diterjemahkan: Mark Bowden, Joan Didion, Truman Capote, Sonia Nazario. Mereka juga saya sarankan browsing di internet karya-karya naratif.

Sebelum pulang, saya sempatkan mengobrol dengan panitia. saya bertemu dengan Ribut Wijoto. Ini tatap muka kami yang pertama. Seperti dugaan saya, Ribut sosok low profile. Sayang, kami tak bisa berlama-lama ngobrol. "Anakku rewel, sakit demam dan mencret," katanya, mohon diri.

Saya juga mohon pamit. Dari Retorika, saya sempatkan diri mampir ke toko buku Uranus. Uang honor dari panitia saya belikan Ayat-Ayat Cinta pesanan istri saya dan sebuah buku berjudul The Heart Against Al-Qaeda.

Heni ingin baca Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. "Aku nggak mau nonton filmnya dulu. Aku mau baca bukunya dulu," katanya.

Ayat-Ayat Cinta memang sudah difilmkan dan dalam waktu singkat ditonton dua juta orang. Sejumlah tokoh seperti Jusuf Kalla dan Habibie juga ikutan nonton.

The Heart Against Al-Qaeda adalah karya Marianne Pearl, diterjemahkan dari A Mighty Heart: The Inside Story of The Al-Qaeda Kidnapping Danny Pearl.

Marianne adalah istri Daniel Pearl, jurnalis The Wall Street Journal yang tewas dipenggal di Pakistan oleh sekelompok radikalis. Saya selalu terpikat dengan buku-buku mengenai kisah jurnalis. Marianne juga menuliskan narasi memoar itu dengan bagus.

Buku ini juga sudah difilmkan dengan judul A Mighty Heart yang dibintangi Angelina Jolie. (*)

1 comment:

Eko Rusdianto said...

Mantap Mas. Jadi dosen di depan mahasiswi yang cantik2. Apa lagi mahasiswa kedokteran. Menyenangkan tentunya. Eh, salam sama Ulfa anak fakultas sastra itu sepertinya dia perlu berteman dengan yang muda, bukan sama Mas Oryza. Oh iya, nanti saya ubah hurufnya menjadi lebih besar, saya lupa jika ada teman di Jember yang sudah tua. Hehehe...