26 February 2008

Drama Terindah dalam Sepakbola

Apa yang membuat saya mencintai sepakbola? Inilah jawabnya: dalam sepakbola, takdir kemenangan dan kekalahan, pemenang dan pecundang, ditentukan dalam waktu yang terbatas. Garis nasib itu bernama kerja keras.

Maka kita menemui apa yang disebut drama dalam sepakbola. Namun hanya sedikit drama indah dalam sepakbola yang bisa membuat saya menangis.

Drama pertama adalah saat Persebaya menjadi juara Liga Indonesia tahun 2004. Pertandingan terakhir digelar di Tambaksari. Stadion lautan hijau. Kami berdesak-desakan. Para Bonek seluruh Jawa Timur berkumpul hari itu. Di luar stadion, ribuan orang tidak bisa masuk dan memilih menyemut.

Ini pertandingan genting. Persebaya harus menang. Persija, lawannya dalam pertandingan itu, tinggal butuh hasil seri untuk menjadi juara. Kami semua berdiri menanti pertandingan itu.

Hujan turun deras. Pertandingan tidak bisa segera digelar, karena hujan yang deras membuat lapangan tergenang. Para Bonek harus bergotong royong dengan panitia pelaksana membuang air dari lapangan. Garis batas harus dipertegas lagi dengan kapur.

Pertandingan baru mulai setelah magrib. Persebaya menyerang, dan langsung membuat penonton bersorak melalui gol cepat menit keenam Danilo Fernando.

Namun selanjutnya yang terjadi adalah neraka. Persija berkali-kali melancarkan serangan yang membuat dagdigdug. Bambang Pamungkas benar-benar bikin jantungan.

Panik. Mat Halil mencetak gol ke gawang sendiri yang dijaga Hendro Kartiko yang tampil cantik. Bonek terdiam. Saya dan adik saya, Arif, dilanda kecemasan. Rasanya seperti orang naik rollcoster.

Namun inilah drama itu. Di tengah serbuan anak-anak macan kemayoran, Bonek terus bernyanyi. Keras. Keras. Makin keras. Nyanyian itu seperti menjadi bensin anak-anak Persebaya, dan melalui sebuah serangan balik, pemain Brasil Luciano menggetarkan jala gawang Syamsidar.

Stadion seperti hendak runtuh. Saya dan Arif saling berpelukan. Kami menangis. Saya benar-benar memangis. Nyanyian Bonek semakin keras. Ijo.Ijo.Ijo.Ijo.Ijo.ijo. Saya bertteriak sekuatnya.



Begitu wasit meniup peluit, mimpi itu menjadi nyata. Persebaya juara Liga Indonesia kembali. Kali ini lebih manis dibandingkan tahun 1997, karena terjadi di Tambaksari.

Drama kedua yang membuat saya menangis haru adalah final Champions Cup tahun 2005 antara Liverpool melawan AC Milan. Tidak ada yang menyangka The Reds akan menjadi juara.

Babak pertama, AC Milan membuat Liverpool seperti anak kemarin sore dengan tiga gol tanpa balas. Liverpudlian termenung. Dominasi merah di istanbul, Turki, seolah tak berarti.

Namun pertandingan belum selesai. Mereka masih punya You'll Never Walk Alone, sebuah lagu pop tahun 1960-an yang menjadi lagu kebangsaan kesebelasan ini. Lagu ini dinyanyikan di masa jaya dan terpuruknya Liverpool.

Di Istanbul, menurut kolumnis Rob Hughes, lagu itu dinyanyikan bagai koor raksasa saat jeda. “Walk on…walk on… With hope in your heart… and you’ll never walk alone…you’ll never walk alone.”

Liverpool tidak berjalan sendiri. Babak kedua, mereka membombardir gawang Milan melalui kaki Steven Gerrard, Xabi Alonso, dan Vladimir Smicer. Stadion bergemuruh, dan You’ll Never Walk Alone terdengar lebih kencang. Saya merinding. Saya yakin pemain Milan pun merinding.

Adu penalti. Liverpool menjadi yang terbaik.

Drama itu tetap membuat mata saya basah, saat saya menyaksikannya kembali dalam YouTube di http://www.youtube.com/watch?v=Typ3D6qURMQ&feature=related.

Klip ini dibuat seorang pendukung Liverpool. Lagu pengiringya diambilkan dari soundtrack film Children of Men. Kata-kata penutupnya benar-benar mengharukan: Give your self a chance to be heroes. (*)

No comments: