Soeharto Meninggal Jam 13.10
Soeharto akhirnya meninggal juga. Saya mengetahui kabar itu dari Heni Agustini, istri saya. "Say, Soeharto meninggal. Bener kan kata Tempo? Soeharto meninggal setelah Muharram," katanya.
Saya tidak tahu persis hubungan Muharram dan kematian seseorang. Saya hanya percaya, kematian ditentukan oleh Tuhan. Andai boleh berandai: Tuhan adalah dalang, dan manusia adalah wayangnya. Dunia adalah panggungnya. Determinis dan fatalis. Tapi mau bagaimana lagi?
Banyak gosip menjelang kematian Soeharto. Sulitnya Soeharto mati dikaitkan dengan klenik khas kejawen: Soeharto punya sembilan susuk. Ia tidak akan mati-mati, jika susuknya belum dicabut. Susuk adalah semacam jimat yang ditanam di dalam tubuh untuk menambahk kesaktian sang pemakai.
Dalam kasus Soeharto, susuk itu dipasang oleh seorang yang sakti mandraguna. Hanya sang pemasang yang bisa mencabut susuk itu dari tubuh Soeharto. Persoalannya: usia Soeharto saja sekarang 86 tahun.
Si pemasang susuk boleh jadi sudah tua, pikun, atau meninggal. Nah, kalau si pemasang sudah meninggal dan tak bisa mencabut susuknya, apakah Soeharto tak akan mati? Pertanyaan inilah yang membuat saya menolak logika kejawen soal susuk. Karena dalam hal kematian, saya fatalis dan percaya malaikatul maut tak bisa dihadang dengan sejuta susuk.
Saya bersyukur Soeharto meninggal. Mati menjadi pilihan terbaik daripada tubuhnya menjadi seonggok daging yang dijadikan percobaan 'adu sakti' para dokter dan teknologi.
Dalam sakaratul mautnya, saya tidak membenci Soeharto. Menurut saya, tak layak membenci seseorang yang berada dalam sakaratul maut. Meski saya tahu, rezim Soeharto juga telah menyakiti keluarga saya: keluarga Masyumi yang pernah dibidik dengan isu Komando Jihad.
Selamat jalan, Soeharto. Ternyata hakim terbaiklah yang akan mengadilimu. (*)
27 January 2008
Labels: Esai
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment