17 January 2008

Catatan Post Factum atas Kerusuhan Aremania (2)
Media Massa Kurang Jeli Memetakan Gelagat Suporter

Kerusuhan suporter yang terjadi di Indonesia, yang dipuncaki amuk Aremania di Kediri, perlu menjadi cermin bagi siapapun. Termasuk media massa di Indonesia.

Saya menilai, sedikit banyak, media massa menyumbangkan bara dalam konflik antar suporter. Sebagian besar media massa Indonesia lebih suka beropini dalam memberitakan sebuah kerusuhan suporter ketimbang melakukan liputan mendalam. Akibatnya yang muncul adalah profiling (penyosokan) dan sensasi.

Penyosokan adalah sesuatu yang dibubuhkan agar subjek berita jadi lebih jelas dan lebih kontekstual. Misalkan suporter A diprofil sebagai suporter yang tampil awut-awutan, suka tidak bayar tiket, suka keributan, suporter B diprofil sebagai suporter atraktif, terbaik, manis.

Labelisasi dan penyosokan absah saja. Namun, akhirnya ini membuat wartawan cenderung terjerumus pada gebyah uyah (generalisasi) dan membuat malas untuk menggali fakta dan data baru.

Contoh kongret: Bonek, suporter Surabaya, selalu diprofilkan sebagai suporter tukang ribut, perusuh, tak mau bayar tiket kalau masuk stadion. Profil ini muncul setelah Bonek melakukan aksi kerusuhan beberapa kali. Profil ini membentuk stigma pada masyarakat yang memang mencitrakan sesuatu berdasarkan apa kata media massa.

Aremania diprofilkan sebagai suporter atraktif, sportif, menerima kekalahan dengan lapang dada. Profil ini muncul setelah Aremania tampil di Jakarta dengan atraktif dan menyanyikan lagu-lagu layaknya suporter Eropa.

Namun, sebagaimana saya katakan, profiling dan labelisasi kalau tidak jeli akan menyesatkan (misleading). Hari-hari ini, kita semua tahu, citra perusuh, masuk stadion tak mau bayar tiket, dan citra lusuh, justru terdapat pada sejumlah kelompok suporter yang justru bukan Bonek.

Namun, media massa seolah tidak mencoba menggali lebih dalam mengenai hal itu. Media terjebak pada label-label lama. Label-label lama ini terpaku menjadi kerangka berpikir dan digunakan saat meliput soal suporter Indonesia.

Maka, tak heran, jika media massa dan (ironisnya juga PSSI) tak jeli melihat perubahan peta suporter Indonesia. Saya tidak pernah membaca ada media massa yang meliput gelagat perubahan iklim suporter di Surabaya.

Selama satu musim kompetisi, Bonek praktis tidak pernah bikin rusuh. Padahal Persebaya kalah beberapa kali di kandang sendiri. Dua kali gesekan terjadi saat Persebaya dijamu Deltras Sidoarjo dan Persebaya menjamu Arema. Namun tidak pecah kerusuhan besar sebagaimana ditakutkan. Pertandingan berjalan lancar.

Media massa juga tidak jeli membaca gelagat adanya tanda-tanda tidak baik di Malang. Media massa seperti terhanyut dengan julukan suporter terbaik dan tersportif. Padahal, menurut saya, Aremania belum teruji sebagai suporter tersportif, karena Arema tidak pernah kalah di kandang melawan musuh besarnya.

Akhirnya, media menganggap remeh kisruh saat Arema kalah 0 -1 dari Persipura dan draw dengan Persekabpas di Malang. Berita mengenai kisruh tidak cukup proporsional dan tidak membuat publik waspada. Padahal, berita itu bisa menjadi alarm awal bahwa Aremania pun bisa meledak sewaktu-waktu.

Media massa lebih menyukai meliput Bonek dengan paradigma penyosokan lama: suka rusuh.

Akhirnya, semua salah baca. Suporter terbaik itu yang kini justru menorehkan noda hitam dalam sepakbola Indonesia. Tidak perlu menyalahkan wasit. Jika kerusuhan ditoleransi dengan menyalahkan wasit, percayalah, kerusuhan tak akan pernah berhenti.

Media massa sebaiknya juga tidak menampilkan berita talking news dari tokoh-tokoh suporter yang cenderung memanaskan suasana. Tempo hari saya membaca di sebuah harian, seorang tokoh suporter mewaspadai penyusupan salah satu kelompok suporter yang dikhawatirkan bikin onar dalam pertandingan 8 besar di Solo.

Menurut saya, berita seperti ini tidak memiliki manfaat apapun bagi sepakbola. Berita ini justru akan memanaskan suasana satu kelompok suporter dengan yang lain.

Akhirnya, sudah saatnya media massa berhenti beropini dan mulai menggali kedalaman fakta. (*)

No comments: