Catatan Post Factum atas Kerusuhan Aremania (3-Habis)
Hapuskan Saja Gelar Suporter Terbaik
Rusaknya stadion Brawijaya Kediri oleh amuk Aremania agaknya membuat kita patut berpikir ulang soal pemberian gelar suporter terbaik dalam momen-momen sepakbola nasional.
Saya adalah salah satu orang yang tidak setuju adanya gelar suporter terbaik. Bukan apa-apa. Perjalanan sejarah suporter kita masih belum cukup tua untuk membentuk karakter sebagaimana suporter di Eropa. Suporter Indonesia baru pada tahapan mencari karakter.
Praktis, kalau mau jujur, tradisi dan kultur suporter Indonesia baru terbentuk tahun 1980-an di tiga kota, yakni Bandung, Surabaya, dan Medan. Tahun 1987, tradisi suporter away (bertandang ke kota lain) dalam jumlah besar dipelopori suporter Persebaya ke Jakarta.
Setelah itu, kita tahu, suporter Indonesia lebih banyak ributnya. Era 2000-an, Aremania mengejutkan publik dengan tampilan atraktif di senayan. Semua terpesona, dan buru-buru menjadikan Aremania sebagai suporter teladan dan terbaik.
Padahal, menurut saya, suporter terbaik memiliki sekian kriteria yang ketat. Salah satunya adalah terbukti tidak melakukan kerusuhan saat kesebelasan yang didukungnya kalah di kandang, dan bisa menerima suporter lain secara baik.
Bagaimana dengan kekompakan menyanyi dan menari di stadion? Menurut saya, itu bisa dimasukkan sebagai kriteria utama suporter teratraktif, dan hanya bagian kecil dari kriteria suporter teladan dan terbaik.
Dengan dua kriteria awal yang saya sebutkan tadi, bisa saya katakan, belum ada suporter terbaik di Indonesia. Semua kelompok suporter belum terbukti bisa menerima seluruh kelompok suporter lain yang menjadi lawan, terutama yang bermusuhan secara tradisi seperti Surabaya - Malang dan Jakarta - Bandung.
Alasan lain, gelar suporter terbaik hanya akan menimbulkan kecemburuan dan memperbesar jarak antar suporter. Saat ini, diakui atau tidak, di akar rumput suporter muncul dikotomi antara kelompok yang mengklaim diri terbaik dengan kelompok lain yag dicap perusuh.
Saya khawatir, jarak ini bakal semakin besar, jika penobatan suporter terbaik oleh penyelenggara turnamen dilakukan tanpa kriteria yang jelas dan ketat.
Penunjukan The Jak sebagai suporter terbaik dalam Copa Indonesia sedikit banyak menimbulkan pertanyaan dan kecemburuan, dan ini bisa kita lihat di sejumlah forum suporter di dunia maya.
Bagaimana mungkin suporter yang berbuat rusuh saat semifinal Copa dinobatkan sebagai suporter terbaik?
Jadi, hentikan saja pemberian gelar itu. Lebih baik, berikan saja penghargaan untuk kesebelasan yang mau mengurusi suporternya dengan benar dan serius.
Selama ini klub dan suporter seolah hidup sendiri-sendiri. Akibatnya, banyak klub mencoba lepas tangan jika ada kerusuhan, meski sekarang sudah sulit dilakukan. (*)
17 January 2008
Labels: Sepakbola
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment