05 August 2007

Sebuah Catatan:
Enam Tahun JFC, From Zero to Hero

Penyelenggara Jember Fashion Carnaval (JFC) membutuhkan waktu setidaknya enam tahun untuk meyakinkan publik Jember, agar masuk ke dalam agenda resmi kegiatan tahunan kota.

Bahkan JFC bisa disebut sebagai acara kunci Bulan Berkunjung Jember (BBJ). Jika menyimak sejarah perjalanan JFC, kita bakal menyimak kisah sebuah kegigihan.

JFC di Jember bisa diibaratkan from zero to hero, dari pecundang menjadi pahlawan. Atau jika menganut filosofi guyonan film ala Jawa: lakon menang keri (pahlawan memenangkan pertarungan di saat terakhir, setelah sempat terseok-seok).

Saat muncul pertama kali di tahun 2001, JFC mendapat tentangan keras dari sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh agama. JFC dituding sebagai ajang hura-hura dan cerminan budaya Barat.

Dynand Fariz sebagai penggagas JFC harus mondar-mandir menyambangi gedung DPRD Jember, untuk meyakinkan bahwa acara tersebut tidaklah sebagaimana dituduhkan. Tahun lalu, bahkan ia sempat menangis saat diwawancarai pers karena terkesan dengan semangat anak-anak muda peserta JFC yang tak patah menghadapi tudingan minor.

JFC tak ubahnya sebuah ironi. Di saat Fariz harus meyakinkan publik Jember, dunia internasional mulai mengakui eksistensi JFC. Acungan jempol mengarah ke Jember. JFC ditahbiskan sebagai acara fashion terbesar dengan catwalk terpanjang di dunia.

Kini entah apa perasaan Fariz, saat mendengar pidato pembuka Bupati MZA Djalal. Djalal menyebut JFC sebagai karya anak bangsa yang mengangkat nama Jember. JFC dimasukkan sebagai agenda wisata tahunan Jember.

Bahkan, Bupati Jember sudah berkomitmen mulai tahun mendatang JFC akan dijadikan kegiatan ekstrakurikuler. Mendadak JFC benar-benar 'from zero to hero'.

Fariz menilai, JFC memang sudah selayaknya masuk agenda resmi Jember, dan mendapat dukungan sekolah. Selama ini, setali tiga uang dengan pandangan publik, pihak sekolah masih sering memandang sebelah mata.

"Pada akhirnya waktu yang bicara. Makanya, lihat dulu, datang, simpulkan. Nggak bisa kata orang, kata orang. Kalau lihat, (akhirnya) tahu toh. Tidak saatnya lagi kita berdebat JFC melanggar norma agama atau mengajak anak hura-hura," kata Fariz soal tudingan miring publik terhadap JFC.

Setelah berhasil meyakinkan publik, Fariz mulai memperluas cita-citanya. "Kita ingin punya coliseum, institute carnival. Kita ingin JFC milik Indonesia," katanya.

Singkat kata, Fariz ingin Jember menjadi carnival city. Tentu semuanya harus dipenuhi, seperti adanya coliseum, highway, catwalk jalanan, perhotelan, transportasi, dan lain sebagainya.

Fariz ingin kelak show diadakan dua kali. Pekan pertama, show digelar oleh personil JFC yang terlatih. Pekan berikutnya diikuti oleh publik awam dengan memilih tema yang dipresentasikan. Selama sepekan mereka akan mengikuti workshop. "Tapi semua masih wacana," katanya. (*)

No comments: