01 October 2006

Perahu Fiber dan Pelestarian Hutan

Dia bernama Nurhadi Susilo. Bersama saudaranya, Ahmad Khusaeri, pria kelahiran 5 Mei 1974 ini meniti jalan yang kurang populer di kawasan Puger, Jember: menjadi pengrajin kapal fiberglass di tengah nelayan yang masih lebih menyukai kapal yang terbuat dari kayu.

Saat ini, jumlah nelayan yang menggunakan perahu fiber memang masih bisa dihitung jari. Selain model kapal fiberglass produksi Probolinggo dan Cilacap tak disukai nelayan Puger, harganya juga mahal. Harga satu kapal jukung (palkung) fiber yang second hand bisa mencapai Rp 14 juta per unit.

Nurhadi sendiri mematok harga pembuatan perahu jukung fiberglass Rp 15,5 juta per unit. Sementara untuk kapal jukung (palkung) yang lebih besar, ia mematok tarif Rp 18,5 juta per unit.

Bandingkan dengan harga perahu jukung baru yang terbuat dari kayu suren yang berkualitas super, yang hanya Rp 13,5 juta. Sementara perahu jukung yang terbuat dari kayu bendo yang merupakan kualitas di bawah suren hanya Rp 9 juta.

“Selain itu, nelayan Puger juga masih trauma dengan kapal fiber bantuan presiden (Banpres) tahun 1989 dulu yang diberikan sesudah tsunami terjadi. Kapal banpres itu mudah karam, karena tak punya pelampung,” kata Nurhadi.

Harga perahu fiber memang sangat mahal untuk para nelayan Puger. Namun di mata Nurhadi dan Khusaeri, perahu jenis ini merupakan keharusan dan tak bisa dihindari kehadirannya di Puger.

“Perahu fiber bisa melaju lebih kencang di laut, memiliki tonase lebih besar, dan lebih awet. Perahu ini bisa tahan 10 – 15 tahun. Perahu kayu hanya bertahan 8 tahun, dan jika rusak karena karam tak bisa diperbaiki lagi,” kata Khusaeri.

Satu hal lagi yang penting adalah keramahan perahu fiber terhadap lingkungan. Bukan rahasia lagi jika pembuatan perahu kayu membuat hutan di sekitar Puger dan Jember wilayah selatan rontok. Khusaeri mengatakan, sebagian besar perahu di Puger dibuat dengan kayu hutan hasil pembalakan liar.

Biasanya yang digunakan sebagai bahan baku adalah kayu pohon suren, bendo, takir, balang, dan duren. Dibutuhkan gelondong kayu berdiameter satu meter, dengan panjang 12 – 13 meter untuk membuat sebuah kapal jukung.

“Di Puger ada ribuan jukung. Bayangkan, ada berapa ribu batang pohon yang ludes,” kata Khusaeri.

Dengan semakin menipisnya area hutan di wilayah selatan dan semakin ketatnya pengawasan terhadap illegal logging, Nurhadi dan Khusaeri percaya, perahu fiberglass adalah solusi. Di pesisir utara pulau Jawa, perahu fiberglass sudah merupakan kelaziman.

Kendala yang dihadapi mereka adalah kemampuan ekonomi nelayan Puger. Tak banyak nelayan yang bisa membayar kontan biaya pembuatan perahu. “Mereka ingin bikin perahu fiber, tapi ingin membayar secara mencicil. Wah, kalau begitu, modal kami dari mana,” kata Nurhadi yang mempekerjakan maksimal enam orang untuk membuat perahu. (*)

No comments: