Ibu Hamil dan Pantech
Dear, Pantech…
Saya seorang ibu muda yang tengah hamil lima bulan. Insya Allah, jika tak ada aral melintang, anak pertama kami lahir pada bulan Juni 2006 nanti. Saya dan suami sangat ingin mengabadikan kelahiran anak pertama kami.
Lalu, suatu hari, saya melihat iklan Pantech di televisi. Lalu saya berkata kepada suami saya, “Say, ada kamera ponsel. Kelihatannya bagus. Beli, yuk.”
Suami saya yang baru pulang kerja hanya melihat sekilas. “Iya, iya…kalau punya rezeki.” Setelah berganti baju, ia lantas tidur.
Saya tahu, suami saya tidak antusias ketika diajak berdiskusi soal ponsel, kamera, atau terkait produk-produk elektronik apapun.
Lalu saya melihat ponselnya yang tergeletak di meja tak jauh dari ranjang. Itu ponsel model lawas yang mungkin sudah tak ada di pasaran. Antenanya sudah berbalut selotip, karena patah akibat jatuh.
Kami sering bergurau tentang ponsel itu. Kami menyebutnya ponsel pisang, karena bentuknya yang besar seperti pisang.
Ponsel itu dibeli suami saya dengan gaji pertamanya. Sejak saat itu, ia tak pernah berganti ponsel. Suami saya tidak menggantinya dengan yang baru, alasannya: “Ini ponsel banyak gunanya, karena besar. Bisa untuk mengganjal lemari atau menyambit kucing yang masuk rumah.”
Kami memang sering bergurau soal ponsel itu, untuk menutupi alasan sesungguhnya yang sama-sama kami tahu: bahwa kami tak punya cukup keberanian untuk membeli ponsel baru. Apalagi yang berkamera. Terlalu mahal.
Padahal, kami selalu berangan-angan untuk mengabadikan kelahiran anak pertama kami. Daripada beli satu kamera, lebih baik beli ponsel berkamera. Sama saja, begitu kira-kira cita-citanya dulu.
“Ntar kalau aku ada rezeki dan gajiku ada sedikit kenaikan, kita beli ponsel yang ada kameranya, ya , Say. Biar kita bisa bikin foto si Neo (panggilan untuk calon bayi kami),” katanya kepada saya. Saya ingat, nada bicaranya kelu, setelah mendengar saya berkata ingin beli ponsel berkamera.
Namun, tidak. Jangankan untuk membeli ponsel berkamera, kini kami malah sibuk berhemat. Perusahaan tempat suami saya bekerja kini sudah tutup. Karyawannya kini banyak yang terkatung-katung, termasuk suami saya. Ia kini menggantungkan hidup sebagai pekerja lepas di salah satu tempat kerja. Alhamdulillah, kami masih bisa bertahan dan menjalani hidup walau didera krisis.
Kami bersyukur Tuhan masih menyayangi kami, karena suami saya tidak menganggur seperti banyak pekerja lainnya yang perusahaannya bangkrut. Tapi, selamat tinggal ponsel berkamera. Kami mungkin hanya akan bisa memimpikannya.
Lalu saya membaca pengumuman tentang lomba yang diadakan Pantech di media massa. Maka saya memberanikan ikut dan menulis surat ini. Saya tidak tahu, apakah dinilai sudah cukup layak untuk mendapat sebuah Pantech yang luar biasa.
Hari ini saya hanya berdoa: Semoga saya bisa mengabadikan momen berharga, kelahiran anak pertama di bulan Juni nanti. Sekaligus memberi kado bagi suami saya sebuah kamera ponsel untuk mengganti ponsel pisangnya yang sudah aus.
Salam saya,
Heni Agustini
26 February 2006
Labels: Esai
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment