23 December 2005

Surat untuk Pak Djalal

Sungguh, saya tidak kenal Bapak. Saya hanya rakyat kecil yang tahu nama Bapak dari poster-poster yang tertempel di tembok dan pepohonan. Di poster itu, Bapak berpakaian hitam, tersenyum, dan berkopiah layaknya orang kebanyakan. Di poster itu tertulis sederet kalimat ‘Membangun desa menata kota demi kemakmuran bersama’.

Lalu dari obrolan di warung kopi, saya lantas tahu, bahwa Bapak adalah salah satu calon bupati Jember. Kata orang, Bapak adalah putra asli Jember yang lama di Surabaya dan berkeinginan kembali ke kota kelahiran untuk membawa kehidupan lebih baik. Saya hanya orang biasa dan tidak tahu apa itu politik. Jadi saya hanya memandang poster Bapak yang tersenyum.

Lalu datanglah petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang berpakaian biru dongker. Mereka merobek poster-poster Bapak. Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Tapi orang-orang bilang, bupati berkuasa yang ingin mencalonkan diri lagi tidak suka dengan Bapak. Jadi poster Bapak dirobek, dengan alasan mengotori kota dan tidak berizin.

Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Yang saya tahu, sebelum poster Bapak ada di mana-mana, sudah banyak tempelan iklan rokok, iklan sabun, hingga iklan sedot WC yang tidak pernah dirobek hingga koyak sendiri karena air hujan.

Saya tidak tahu, apakah karena memang rokok dianggap tidak berbahaya sehingga tidak perlu dirobek posternya. Padahal, asap rokok membikin paru-paru sesak, sementara senyum di poster Bapak tidak menyesakkan hati saya, Tapi entahlah, saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik.

Lalu di bulan Juni, lapangan dekat kantor kecamatan mendadak dipenuhi orang. Gambar Bapak tertempel di mana-mana, di spanduk dan poster-poster. Sebuah panggung besar terpasang di tengah lapangan, dan saya melihat Bapak berpidato. Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Tapi saya senang Bapak berpidato dengan bahasa Madura, bahasa yang saya pahami. Saya juga senang diberi kaos bergambar Bapak dan Pak Kusen, dengan tulisan ‘Membangun desa menata kota demi kemakmuran bersama’.

Bapak berkata, sudah saatnya desa dibangun. Kota sudah terlalu sering dibangun, jadi sekarang tinggal ditata. Justru desa harus dibangun agar tidak jauh tertinggal dengan kota. Orang-orang yang meluber di depan panggung lalu bertepuk tangan dan berteriak gembira.

Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Tapi saya ikut senang dengan ucapan Bapak. Sebab kampung tempat saya berasal sudah bertahun-tahun tak dialiri listrik. Kami menghidupi malam dengan damar dan lilin kecil. Anak-anak mengaji di bawah temaram cahaya ublik.

Lalu Bapak berkata, siap menghadapi Firaun di Jember. Firaun yang telah memakan uang rakyat. Bahkan, Bapak siap jika harus ‘akheket’ dengan Firaun itu, satu lawan satu, di alun-alun. Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu siapa itu Firaun. Tapi saya senang, Bapak berani membela kami. Menurut saya, siapapun yang menghabiskan uang rakyat harus dilawan.

Saya lalu pulang dengan harapan. Saya memakai kaos bergambar Bapak dalam perjalanan pulang. Di rumah, istri saya bertanya tentang Bapak. Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Saya hanya bilang, “Ini bupati kita yang baru, yang akan membuat kampung kita ada listriknya.” Istri saya pun senang, dan memuji ketampanan Bapak. Saya tidak cemburu, dan malah tersenyum senang. Sebab saya ingin, kampung saya dialiri listrik, sehingga kami tak perlu pakai ublik.

Lalu tanggal 22 Juni itu tiba. Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Tapi menurut Pak Kepala Kampung, saya harus datang ke rumahnya untuk memilih bupati. Katanya, pilihan bupati sekarang seperti pilihan kades, kita harus nyoblos gambar foto. Lalu Pak Kepala Kampung menyelipkan selembar lima ribuan di tangan saya, “jangan lupa nyoblos nomor…”. Ia berbisik, sehingga anak saya pun tidak dengar saya harus mencoblos nomor berapa. Saya hanya mengangguk. Tidak berjanji.

Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Selembar lima ribuan masih di saku saya. Saya sudah di dalam bilik, dan membuka selembar kertas yang disebut surat suara. Saya senang, ada gambar Bapak di situ, tepat di tengah, di nomor dua. Tapi saya bingung, karena nomor Bapak bukanlah nomor yang dibisikkan Pak Kepala Kampung tadi. Saya bingung, dan tidak segera mencoblos salah satu dari tiga pasang gambar di kertas itu.

Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Dalam bingung, saya lalu teringat pidato Bapak, tentang desa yang harus dibangun. Saya membayangkan, kelak kampung saya dialiri listrik dan anak-anak saya tak perlu lagi mengaji di bawah sinar ublik. Saya pun bisa menonton tivi. Lantas tangan saya menancapkan paku di atas kertas itu, dan melubanginya tepat di gambar Bapak yang sedang tersenyum.

Dalam hati, saya merasa bersalah kepada Bapak Kepala Kampung. Tapi saya tidak pernah berjanji. Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Saya hanya menuruti kata hati saya. Saya hanya ingin listrik masuk ke desa saya. Lalu saya menyimpan selembar lima ribuan, dan tak saya gunakan.

Besoknya, saya bertemu dengan orang-orang di pasar. Mereka bilang, Bapak dapat suara banyak dan bakal jadi bupati Jember. Saya senang, karena merasa sebentar lagi listrik pasti bakal masuk ke kampung saya. Soalnya, Bapak kan yang jadi bupati? Saya juga mencoblos gambar Bapak. Saya percaya, Bapak pasti ingat janji.

Lalu saya pulang dan bertemu Pak Kepala Kampung. Ia tampak tergesa-gesa pergi. Saya mau menyapa, tapi tidak jadi. Setelah tanya tetangga kiri-kanan, katanya Pak Kepala Kampung sedang dicari serombongan orang yang mengaku tim sukses. Mereka marah-marah.

Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu tim sukses. Tapi katanya, Pak Kepala Kampung sudah menilap sebagian uang yang seharusnya dibagikan kepada warga kampung saya agar mau mencoblos gambar salah satu calon. Saya teringat nama calon yang dibisikkan Pak Kepala Kampung, dan saya bersyukur tidak mencoblos gambarnya. Saya bersyukur telah mencoblos gambar Bapak.

Sesampai di rumah, saya didatangi beberapa tetangga. Katanya, mereka hendak menggelar tasyakuran karena Bapak menang. Saya hanya rakyat biasa, tidak tahu apa itu politik. Maka saya berikan saja selembar lima ribuan dari Pak Kepala Kampung sebagai sumbangan. Saya tetap berharap, kelak listrik masuk ke kampung saya, agar anak-anak tak lagi mengaji di bawah temaram ublik. (*)

No comments: