31 August 2005

Di Bawah Jembatan Jompo...

Di bawah jembatan Jompo yang hiruk-pikuk, pada sebuah kedai bercukur, kebijaksanaan hadir dan Machiavelli tak selamanya benar. Ia memang menubuatkan sebuah keyakinan dalam Il Principe, bukunya yang masyhur itu: penguasa yang ditakuti lebih kuat dan lebih baik daripada penguasa yang dicintai.

Seorang penguasa yang ingin melanggengkan kuasa, harus mencetak rasa takut, ketiadaberdayaan, pada rakyat. Kita tahu, Machiavelli mempermaklumkan tirani.

Di bawah jembatan Jompo yang hiruk-pikuk, pada sebuah kedai bercukur, lalu Sjahrazad Masdar datang pada suatu hari. Dengan pakaian biasa, tanpa pengawal, tanpa gemerlap seorang kepala daerah. Tanpa pretensi kuasa dan politik.

Ia menyapa sang pemilik barber, seorang Tionghoa yang tangkas bekerja merapikan rambut. “Tolong rapikan rambut saya,” kata Sjahrazad.

Sang Tionghoa terdiam sesaat. Beberapa kali berganti-ganti, matanya menatap Sjahrazad dan menatap bayangan Sjahrazad di cermin. Agak lama, ia tidak langsung bekerja. Diam, dan ia lantas bertanya: “Bukankah Bapak seorang Penjabat Bupati? Saya ingat wajah Bapak di koran.”

“Ya, dan sekarang saya minta tolong Bapak merapikan rambut saya.” Dan bekerjalah Sang Tionghoa dengan takzim. Hingga di ujung kerja, ia menolak untuk dibayar dan harus dipaksa untuk mau menerima upah.

Di bawah jembatan Jompo yang hiruk-pikuk, pada sebuah barber, Sjahrazad seperti membantah Machiavelli dan menunjukkan, bahwa kuasa modern yang benar tidak harus selalu dibangun berdasarkan asas ketakutan. Kuasa sesungguhnya hadir dalam sebuah relasi, sebuah komunikasi tanpa tekanan: singkat kata keikhlasan.

Benar, pada kuasa seorang kepala daerah selalu melekat atribut-atribut hukum pengabsah. Seorang bupati adalah bupati ketika secarik kertas surat keputusan atas nama negara menyatakan itu. Seorang pamong adalah pamong ketika negara atas nama regulasi melantiknya. Tanpa apa yang disebut legalitas, maka seorang kepala daerah bukanlah kepala daerah.

Dalam garis legalitas ini, kita paham, kuasa tak ubahnya sejenis kepemilikan. Ketika kita menjadi bupati, maka kita adalah pemilik kuasa sah di mata negara. SK dan dokumen-dokumen lainnya tak ubahnya surat akta, yang dibutuhkan sebagaimana bila kita memiliki tanah.

Tapi, Bung, hidup bukan sekadar perkara aturan dan hukum negara. Seorang kepala daerah memang harus diakui rakyat – karena aturan dan hukum mengharuskan rakyat mengakui kuasa yang dimiliki sang kepala daerah. Namun, rakyat tidak bisa dipaksa tunduk dan hormat, hanya dengan sekian atribut kuasa yang dikukuhkan hukum negara belaka.

Bagi saya, seorang kepala daerah yang berkuasa hanya dengan pengakuan hukum negara sama sekali tak menarik. Tidak ada daya pikat bagi kuasa yang hanya diabsahkan sebagai kepemilikan belaka layaknya tropi yang diabsahkan dengan akta.

Pandangan terhadap kuasa sebagai sejenis harta yang dimiliki, membuat kuasa berwajah kaku, angker, dan tak mudah disentuh. Pandangan seperti ini membuat kuasa tak bisa tampil rileks di hadapan orang banyak. Untuk bisa menunjukkan di hadapan umum dan diakui, kuasa akhirnya harus selalu tampil dibarengi dengan atribut-atribut protokolat: voorijder yang bergerak cepat – berngiung-ngiung - mengabaikan lampu lalu lintas, basa-basi kenegaraan, pidato-pidato yang berangkat dari angka-angka yang dibikin di belakang meja.

Alhasil, sang pemegang kuasa pun akhirnya harus tampil sebagai sosok yang selalu serius, menegangkan, dan tak ramah. Ia ditakuti, karena sang pemilik kuasa bisa disamakan dengan sang pemegang senjata di hadapan orang-orang tak bersenjata.

Orang bersenjata bisa kapan saja meletupkan senjatanya untuk membunuh mereka yang tak disuka, dan membiarkan hidup mereka yang disuka. Dalam konteks ini, pemilik kuasa memainkan peran sebagai tuhan (dengan T kecil): playing god.

Selama sekian tahun menjadi wartawan, saya melihat kuasa dalam arti ini yang selama ini berlaku di Jember. Bupati, sang kepala daerah, adalah pemilik kuasa dan pemegang senjata. Ia ditakuti, karena bisa mematikan dan melejitkan karier seorang pamong negara.

Maka selama itu pula, saya melihat, kuasa menjadi begitu angker dan dilekati atribut-atribut membosankan: sebutan abah untuk bupati, ‘ritual’ cium tangan setiap kali bertemu sang abah, dan pidato-pidato tentang keberhasilan pembangunan.

Sampai kemudian, datanglah Sjahrazad yang menyadarkan, bahwa kuasa (dengan K besar) tak sekadar legalitas negara. Karena jika hanya itu, berarti ia kosong. Tanpa jiwa.

Kuasa (dengan K besar), terutama dalam negara modern, hanya bisa hadir ketika ada konsensus: individu dengan orang banyak. Kuasa ada, saat individu mau bersepakat menjadi wali yang mengurusi hajat hidup orang banyak.

Pemilihan individu sebagai wali melalui jalan demokrasi, hanyalah proses belaka. Yang terpenting adalah kesepakatan terbentuk, bila individu dan orang banyak (kita menyebutnya ‘rakyat’) memiliki rasa saling hormat melalui komunikasi dan relasi tanpa tekanan, tanpa ketakutan.

Singkatnya, kesepakatan untuk menyerahkan urusan hajat orang banyak ke satu orang yang dipercaya membutuhkan apa yang disebut dengan cinta.

Saya merasa, Kuasa (dengan K besar) itulah yang dimiliki Sjahrazad, saat menjadi penjabat bupati di Jember. Ia datang dan memporak-porandakan atribut kuasa yang selama ini melekat dalam jabatan kepala daerah.

Dalam diri Sjahrazad, pemegang kuasa adalah manusia biasa yang bisa silap dan bosan dengan rutinitas. “Berat badan saya turun lima kilo, karena mengurusi Jember,” katanya pada suatu ketika.

***

Dalam 88 hari masa kerjanya di Jember, Sjahrazad membuat terhenyak banyak orang: senang bagi mereka yang telah muak dengan atribut-atribut kuasa (dengan K kecil), benci bagi mereka yang terbiasa diuntungkan oleh atribut-atribut kuasa (dengan K kecil) itu.

Lihatlah, bagaimana Sjahrazad mendesakralisasi Pendapa Wahyawibawagraha. Kala kuasa lama berjaya, pendapa bukan sekadar rumah dinas seorang kepala daerah. Pendapa tak ubahnya lubang hitam kekuasaan: mampu menyedot siapapun, apapun, dan tak akan membiarkan siapapun yang masuk lolos dalam cengkeraman kuasa.

Di Pendapa, sebelum Sjahrazad datang, kuasa semakin memperoleh pengukuhan. Inilah sanctuary kuasa. Kehadiran seseorang di sana menjadi representasi ketaatan dan ketundukan terhadap kuasa. Maka hampir setiap malam, saya tahu, depan Pendapa tak pernah sepi dari kendaraan-kendaraan dinas dan kendaraan-kendaraan pribadi.

Pendapa bukan lagi sanctuary kuasa, saat Sjahrazad tinggal di sana. Kendaraan-kendaraan dinas dan pribadi memang tak lagi berjajar bak antrean di sana. Namun, Pendapa itu justru lebih ramah dan terbuka bagi siapa saja.

Saya dan teman-teman wartawan pernah mewawancarai Sjahrazad, saat sang penjabat bupati itu berpakaian santai dan bersarung, usai salat Jumat. Pernah juga, orang-orang yang berpakaian sederhana dan hanya bersandal ditemuinya di sana.

Di Pendapa, Sjahrazad adalah manusia biasa, bukan dewa dengan kuasa tak tersentuh. Ia tampil tanpa atribut-atribut kuasa: bangun pagi buta, berjalan kaki ke Masjid Jamik yang berjarak sepelemparan batu dari Pendapa untuk salat di sana, dan berjalan-jalan mengelilingi alun-alun dengan memakai topi pet yang dibenamkan dalam-dalam untuk menutup wajah.

Kebiasaan Sjahrazad yang tampil tanpa atribut-atribut kuasa, sempat membuat para petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang berjaga di Pendapa kebingungan. Mereka khawatir terhadap keselamatan sang penjabat bupati yang biasa bepergian tanpa pengawalan.

Mereka tahu, Sjahrazad adalah sasaran empuk siapapun yang merasa terganggu oleh keberaniannya mengungkap perilaku kuasa lama yang menggangsir uang negara. Sjahrazad adalah sasarang empuk, karena terlalu berisik dan kurang ajar mengutak-kutik simpul persekongkolan hitam di masa silam.

Namun, Sjahrazad bukanlah orang yang gampang digertak. Pernah suatu ketika, ia diperingatkan agar lebih baik makan di luar Pendapa. Dikhawatirkan, ada tangan-tangan hitam yang mencoba membubuhkan centik dalam piring dan gelas hidangan.

Namun, Sjahrazad berkata, “Biarlah. Kalau memang saya harus mati di sini, saya ikhlas.”

Melalui ponselnya, Sjahrazad pernah diminta menyiapkan kain kafan: sebuah ancaman halus untuk dibunuh, entah dari siapa. Dan, Sjahrazad malah menceritakan ancaman itu kepada siapapun, termasuk wartawan, dengan tergelak, tanpa beban.

Digugat Rp 1 miliar oleh Samsul Hadi Siswoyo gara-gara pernyataan soal pemeriksaan di hotel, Sjahrazad pun tenang-tenang saja. Menurutnya, itu soal kecil, dan tak mengganggu kenikmatannya bersantap.

Maka, melihat Sjahrazad, saya lantas teringat dengan Habibie dan Abdurrahman Wahid. Mereka tiga sejenis. Bedanya, mungkin, Sjahrazad melucuti atribut-atribut kuasa (dengan K kecil) dengan menyisipkan kejenakaan di sana-sini.

Suatu ketika, saya ditemani Mas Syamsul Hadi (wartawan Kompas) dan Hari (wartawan Radar Jember), pernah mengunjungi ruang kerja Sjahrazad di Pendapa. Di sana kami bercerita banyak hal, termasuk urusan ‘politik dalam negeri’ Jember yang ruwet setelah bupati lama Samsul Hadi Siswoyo turun tahta.

Dalam kesempatan itu, saya minta izin kepada Sjahrazad untuk melihat-lihat ruangan di Pendapa. Saya beralasan, sepanjang hayat menjadi wartawan, saya tak pernah masuk jauh ke dalam Pendapa. Saat Samsul berkuasa, saya hanya pernah beberapa kali ke Pendapa dalam rangka liputan. Itu pun hanya sampai ruang tamu.

Begitu mendapat izin, saya langsung berkeliling-keliling. Tak dinyana, di salah satu ruangan, saya menemui selembar stiker Abah Samsul (sebutan Samsul Hadi Siswoyo) masih tertempel. Saat saya tanyakan, Sjahrazad hanya tertawa.

“Lho itu memang sengaja disisakan satu. Buat kenang-kenangan. Sebelumnya, jumlahnya banyak sekali.”

Menghadapi para pamong negara yang biasa merunduk dan berlutut di hadapan kuasa, Sjahrazad juga menghadirkan jenaka. Mulanya, ia terkejut, melihat sebagian besar pamong negara di Jember mencium tangannya saat bertemu. Setelah diberitahu, Sjahrazad baru mafhum, bahwa itu kebiasaan yang dipupuk saat kepala daerah lama berkuasa.

Akhirnya, mungkin dengan rasa jengkel dan ingin bermain-main, saat ada pamong yang mencoba mencium tangannya, Sjahrazad malah mendorongkan tangannya itu ke hidung sang pamong. “Ternyata enak ya jadi bupati,” katanya kepada saya, sambil tergelak.

Lain waktu, Sjahrazad juga bisa menjadi Abunawas yang cerdik.

Saat menghadapi para pendukung mantan bupati Samsul Hadi Siswoyo yang marah dan menanyakan, mengapa ia mengungkapkan raibnya uang kas daerah Rp 18 miliar H – 2 menjelang pemungutan suara pilkada, Sjahrazad punya jawaban tangkas: “Ya, karena saya menemukan itu H – 3 menjelang pemungutan suara. Kalau saya menemukan sejak awal saya menjabat, ya saya langsung umumkan.”

Namun, Sjahrazad yang jenaka juga Sjahrazad yang memiliki amarah. Ia berang diperlakukan tanpa rasa hormat dan dilecehkan oleh para pendukung Samsul. Ia geram, melihat para birokrat yang diperintahkan netral masih saja takluk pada kuasa lama.

Dalam kejengkelannya itu, bak dalam sebuah permainan catur, Sjahrazad pun menerapkan langkah kuda yang membingungkan dan mengejutkan banyak orang. Ia tak tertebak: ia mutasi puluhan pejabat, radio milik Pemkab yang selama ini dilindungi kuasa lama melalui persekongkolan gelap pun ditutupnya.

Langkahnya juga tak terterka, saat bersedia menerima para pegawai negeri sipil, yang berencana berunjuk rasa mendukung pemberantasan korupsi dan berniat menemui sang penjabat bupati di Pendapa. Sjahrazad langsung meminta ajudan menggeser jadwal kerjanya hari itu, untuk bisa menemui para pengunjukrasa.

Namun, tunggu punya tunggu, para PNS itu tak juga datang. Padahal, hari itu, jadwal kerja Sjahrazad sangat sibuk. Saya pun mulai menggerutu dan mengumpati mereka dalam hati. Saya berpikir, demo itu bakal urung. Sebagai jurnalis, saya merasa eman jika demo itu gagal, karena ini sejarah baru di Jember.

Ternyata, para PNS itu memilih berkumpul di depan kantor Pemkab. Mereka ragu-ragu untuk ke Pendapa. Dan, tanpa diduga, akhirnya Sjahrazad sendiri yang mendatangi para pengunjukrasa bersama Sekretaris Daerah Djoewito. Kedatangan Sjahrazad ini memompa semangat para PNS, dan unjuk rasa pun berjalan.

***

22 Juni, langit mendung mengatapi Jember. Zaman berganti. Kuasa baru akhirnya datang juga, setelah perolehan suara MZA Djalal jauh meninggalkan sang pemegang kuasa lama, Samsul Hadi Siswoyo. Saya masih ingat, hari itu, saya berteriak penuh kegembiraan di depan Pendapa. Para wartawan saling berpelukan: kuasa yang menindas itu akhirnya tumbang jua.

Lalu saya mengirimkan pesan pendek kepada Sjahrazad. Sekadar ucapan terima kasih dan selamat: Anda adalah tokoh utama di balik perubahan di Jember. Saya menyebut Sjahrazad seperti koboi dalam film-film Western: setelah penjahat ditumpas, maka sang koboi itu akan pergi. Tanpa sanjungan. Tanpa puja-puji.

Jawaban Sjahrazad membuat saya tercenung. Dalam pesan pendeknya, ia menyatakan senang, akhirnya perubahan terjadi di Jember. Namun, “Saya juga menangis melihat rakyat Jember dengan segala harapannya yang begitu tinggi. Mungkin saya koboi cengeng, ya.”

***

Malam, 11 Agustus. Saya dan beberapa kawan diundang Sjahrazad di Pendapa. Kami saling berjabat tangan. Sjahrazad tampak lebih rileks. “Saya kemarin seharian berkeliling Jember bersama istri. Saya mampir ke warung-warung, tempat saya biasa makan, waktu masih kuliah di Unej.”

Kepada kami, Sjahrazad menyatakan akan segera kembali ke Surabaya, Jumat siang (12/8). “Saya ditawari untuk pindah menjadi kepala di dinas lain oleh Pak Imam Oetomo. Tapi sudahlah, saya lebih suka di Badan Diklat.”

Sjahrazad lantas menyatakan terima kasihnya kepada para wartawan di Jember. Ia memberikan kami buku tentang dirinya saat menjadi penjabat bupati di Jember. Katanya, bacaan ringan. Di sampul dalam buku itu tertulis: “Pro Journalist...Sjahrazad”.

Di bawah jembatan Jompo yang hiruk-pikuk, pada sebuah barber, kala hari cerah. Saya mungkin akan selalu mengingat cerita ini. Bagi saya, cerita ini tak boleh begitu saja tenggelam dalam lapuk ingatan. Saya ingin selalu mengingatnya, dan berupaya keras melawan lupa. Karena saya tahu, dalam cerita ini, Machiavelli tak selamanya benar. (*)

No comments: