29 March 2011

Sepakbola dalam Wajah Negara

Sejarah sepakbola adalah sejarah politik negara itu sendiri. Maka, saat pemerintah membekukan PSSI, dan aparat militer nongol di sela-sela kongres di Riau, apa pula perlu terpana.

Keterlibatan militer dan politik dalam dunia sepakbola sebenarnya bukanlah fenomena unik di Indonesia. Di sejumlah negara dengan sistim pemerintahan berwajah militeristis atau cenderung diktator, sepakbola menjadi salah sektor yang dikuasai penuh dan menjadi salah satu alat konflik.

Di Eropa Timur, polisi, tentara, maupun dinas rahasia memiliki posisi penting dalam klub-klub tertentu di negara. Sebut saja Red Star Beograd yang dikuasai polisi Yugoslavia, atau klub-klub di almarhum Jerman Timur dulu.

Italia juga memiliki sejarah sepakbola yang digunakan sebagai kekuatan rezim fasis. Saat Juventus tumbuh sebagai kekuatan kapitalistik keluarga industrialis Agnelli, Lazio menjadi klub pujaan 'Il Duce' Benito Mussolini, pemimpin fasis Italia. Lazio menikmati privelese negara, saat fasisme berkuasa.

Real Madrid selama bertahun-tahun pada masa Jenderal Franco berkuasa di Spanyol menjadi klub kebanggaan nasional. Klub ini paling banyak ditayangkan oleh televisi Spanyol, dan Franco bertaruh untuk Madrid dalam toto resmi negara.

Saat partai penganut Franco menguasai Dewan Kota Madrid, Dewan Kota membeli lapangan latih Madrid 350 juta dollar untuk menyubsidi pemain. Dewan Kota lantas ikut mendanai kontrak David Beckham, Zinedine Zidane, dan Ronaldo.

Madrid selalu diperhadapkan dengan Barcelona, klub kebanggaan masyarakat Katalunya. Dari stadion dan lapangan hijau, nasionalisme Spanyol ditegakkan.

Bagaimana dengan Indonesia? Jika merunut sejarah klub-klub sepakbola negeri ini pada era awal sebelum kemerdekaan, tak ada yang didirikan dengan motif bisnis. Semua klub berdiri sebagai alat perlawanan terhadap Belanda. Sebut saja Soerabaia Indonesische Voetbal Bond yang menjadi antitesis dari Soerabaia Voetbal Bond yang didirikan orang-orang Belanda.

Indonesia merdeka, dan tak satu pun pemimpin negara saat itu yang mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kapitalis. 'Inggris kita linggis, Amerika kita setrika,' kata Bung Karno. Mereka lebih banyak berada di bawah langit pikiran sosialisme yang menempatkan negara sebagai subjek pengatur kesejahteraan rakyat.

Dalam paradigma negara inilah, klub-klub sepakbola berada di bawah naungan negara. Pemerintah sedikit-banyak ikut mendukung kelangsungan hidup klub-klub, yang belakangan menjadi salah satu pengidentifikasi identitas lokal. Bahkan ketua umum klub dipilih dari pejabat birokrat atau pejabat militer setempat.

Kompetisi perserikatan yang amatir menjadi kompetisi bergengsi antar-daerah. Ini kompetisi yang mempertaruhkan gengsi daerah, dan tak heran dukungan penuh diberikan pemerintah provinsi masing-masing terhadap klub-klub provinsial yang bertarung di perserikatan. Klub-klub yang besar di masa ini adalah Persija Jakarta, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSIS Semarang, dan Persipura Jayapura.

Pada masa ini, pengusaha ikut serta memberikan sumbangan kepada klub bukan semata-mata karena faktor bisnis, tapi keinginan untuk mendekati pemerintah daerah untuk mempermulus usaha mereka. Pemain klub perserikatan yang menjadi juara di masa itu dihujani bonus macam rumah dan uang, dan bahkan diangkat menjadi pegawai negara.

Akhir dekade 1970-an, muncul Liga Sepakbola Utama yang semi-profesional. Klub-klub dimiliki para pengusaha yang memang gila bola. Namun siapa yang sanggup 'gila' selamanya, menggelontorkan uang untuk klub sepakbola tanpa aspek profit? Maka satu per satu klub semipro ini rontok di tengah jalan.

PSSI lantas menggabungkan klub perserikatan dan Galatama, dan bergulirlah kompetisi era baru: Liga Indonesia, pada tahun 1993/1994. Liga ini dibangun tanpa pondasi aspek profesionalisme klub, karena sebagian besar klub masih menggunakan dana dari daerah (APBD), sampai saat ini ketika nama Liga Indonesia menjadi Liga Super Indonesia. APBN pun ikut digerojok ke PSSI.

Jadi, tak perlu panik melihat pemerintah mengintervensi PSSI. Dengan triliunan uang yang digelontor sejak dulu kala dari duit negara, rasanya memang sepakbola adalah wajah lain dari negara. Tidak usah gusar. Kita tak sendiri, kok.?[wir]

No comments: