06 August 2010

Perlawanan dari Kediri

Salah satu kawan meninggalkan pesan di Facebook saya. Ia memertanyakan, sebenarnya apa yang diperebutkan dalam laga Persik melawan Persebaya di Stadion Brawijaya Kediri. Bukankah juara Liga Indonesia musim ini sudah diketahui.

Masuk akal. Saya yakin, kawan saya itu tak sendirian memertanyakan hal itu. Laga ulang Persik melawan Persebaya memang di luar batas-batas kewajaran. Dalam kasus Persija melawan Persiwa Wamena, Persija langsung dikalahkan 0-3 alias walk over (WO) karena gagal menggelar pertandingan kandang.

Namun, untuk Persik Kediri, keputusan kekalahan WO karena gagal menggelar laga melawan Persebaya justru dianulir, sehingga Liga Indonesia musim ini menyisakan satu pertandingan ulang, justru setelah tropi juara disematkan. Padahal, andai hasil pertandingan tak dianulir, Persebaya tinggal berjuang untuk bertahan di Liga Super melawan Persiram Raja Ampat.

Ada banyak spekulasi berkembang terkait keputusan PSSI menggelar laga ulang itu: menyelamatkan salah satu tim milik pengurus PSSI, atau memang berniat mengganjal Persebaya agar tak berlaga play-off melawan Persiram Raja Ampat. Persebaya dan pengurus PSSI seperti berhadap-hadapan, setelah sang manajer Saleh Ismail Mukadar dengan lantang menyuarakan kebobrokan di tubuh organisasi induk sepakbola itu.

Apapun spekulasi itu, harus diakui, laga ulang Persik versus Persebaya memicu ketegangan yang tak kalah dengan sebuah partai final memperebutkan gelar juara. Rencana laga ulang itu seperti membuktikan, bahwa sepakbola memang urusan hajat hidup orang banyak di negeri ini.

Suara-suara yang mengecam laga ulang itu, termasuk dari luar kubu Persebaya dan pendukungnya, mulai menggema di media massa dan situs jejaring sosial Facebook. Bagi mereka, laga ini menjadi puncak kebobrokan pengurus PSSI dalam mengelola organisasi. Mereka mendukung upaya perlawanan yang dilakukan Persebaya melalui jalur hukum. Rezim Nurdin Halid di PSSI gagal dirontokkan dalam Kongres Sepakbola Nasional yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Maka, ada harapan kali ini menjadi stimulus bagi gelombang perbaikan PSSI.

Sementara itu, suka atau tidak, tindakan PSSI memutuskan laga ulang itu justru memicu soliditas semangat perlawanan di tubuh Persebaya dan pendukungnya. Jika awalnya, ada sebagian elemen Bonek, pendukung Persebaya, yang bersuara lantang menyalahkan Saleh dan pengurus karena terpuruknya prestasi Persebaya, kini mereka justru bersatu denga tema besar: Save Persebaya. Di sinilah militansi pengurus Persebaya dan para pendukungnya teruji.

Sejumlah aksi dilakukan Bonek, mulai dari berunjukrasa di kantor PSSI, kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia, hingga aksi solidaritas cap jempol darah. Semuanya satu suara: menolak laga ulang. "Kami lelah dizalimi," kata Gede, manajer Persebaya, dikutip salah satu koran pagi, Jumat (6/8/2010).

Puncaknya, tentu saja, Kamis (5/8/2010). Bagaikan rantai tak terputus, sebuah pesan bernada perlawanan tersebar di dunia maya (Facebook, website, atau juga pesan pendek antar ponsel): Kosongkan Surabaya, Hijaukan Kediri. Lalu kita semua tahu, ribuan Bonek dari berbagai kota di Jawa Timur meluncur menuju Kediri. Mereka berniat memastikan laga ulang tak digelar. Di sejumlah status Facebook dan beberapa pentolan Bonek yang saya wawancarai menyatakan: musuh mereka bukan Persik, bukan Persikmania, tapi para petinggi PSSI.

Kepolisian Daerah Jawa Timur tidak mengizinkan laga ulang digelar, karena potensi konflik cukup tinggi. Jalan-jalan di kota-kota menuju Kediri dijaga ketat. Razia dilakukan. Tapi tak ada yang bisa menahan para Bonek itu. Ribuan orang berhasil masuk ke Kediri. Mereka bahkan menuju stadion Brawijaya, berbaur dengan sejumlah Persikmania yang juga menanti laga tersebut.

Saya mencoba mengetahui pendapat Persikmania dengan berkunjung ke Facebook Persik dan komunitas pedukungnya. Ternyata sebagian besar berpendapat sama: PSSI tengah memecah-belah pendukung kesebelasan di Jawa Timur. Mereka menyatakan, apapun yang terjadi, ikatan persaudaraan antara pendukung Persik dan Persebaya tak boleh goyah. Ini memang penting, karena perseteruan antar pendukung kesebelasan dua kota tak memberikan manfaat apapun di Jawa Timur.

Jika merunut sejarah, memang tak ada gesekan antara kedua pendukung kesebelasan. Terakhir dalam laga Liga Super Indonesia di Gelora 10 November, Persebaya ditekuk 0-1 oleh Persik di depan puluhan ribu pendukungnya. Ratusan Persikmania beratribut lengkap hadir di stadion, dan tak ada kerusuhan berarti saat itu.

Dan Kamis itu, dua pendukung kesebelasan yang berbeda kepentingan memilih untuk bersatu melawan otoritas sepakbola yang tak beres bekerja. Tidak ada kerusuhan besar di Kediri sebagaimana yang ditakutkan banyak orang. Tidak ada bentrokan antar dua pendukung kesebelasan. Kabar terakhir yang disampaikan reporter beritajatim.com di Kediri, Bonek dan Persikmania meninggalkan stadion dengan damai. Kelompok terakhir, puluhan Bonek dari Blitar, diantarkan aparat kepolisian hingga perbatasan kota.

Dari sinilah pesan perlawanan itu terdengar keras: para suporter sepakbola di Jawa Timur tidak mau diperlakukan semena-semena. Mereka menyadari: hari ini Persebaya menjadi korban kebijakan aneh PSSI, besok atau entah kapan, bisa saja klub yang mereka dukung akan diperlakukan serupa.

Dari Kediri, mereka melawan. Halo, halo... PSSI, apakah Anda bisa menangkap pesan itu? [wir]

No comments: