01 May 2010

Dari Diskusi Budaya Membaca di Bojonegoro
Negara Ramah Buku?

Redaktur Beritajatim.com, Ainur Rahim menyatakan, lemahnya budaya baca di masyarakat tak lepas dari mahalnya harga buku dan kuatnya budaya oral atau verbal. Demikian kesimpulan pemaparan makalah dalam diskusi budaya dalam Pekan Bojonegoro Membaca, Jumat (30/4/2010) malam.

Apa boleh buat. Ini angka yang pahit. UNDP menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia berada di rangking 96, yang disejajarkan dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Di Asia Tenggara, Indonesia hanya unggul atas Kamboja dan Laos.

Penelitian International Education Achievement (IAE) tahun 2000 menunjukkan, dalam hal minat baca, siswa sekolah dasar di Indonesia menduduki peringkat 38 dan siswa sekolah menengah pertama menduduki perinkat 34 dari 39 negara yang diteliti. Nilai tersebut diukur dari kemampuan membaca rata-rata.

Tahun 1998, Bank Dunia membuat laporan berjudul "Education in Indonesia - From Crisis to Recovery". Di sana disebutkan, anak-anak kelas enam sekolah dasar di Indonesia tertinggal jauh dalam hal kemampuan membaca dibandingkan Filipina, Thailand, Singapura, dan Hongkong.

Dra. Berlina Sjahudhym dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menunjukkan fakta pahit lainnya, sebagaimana dimuat Kompas, 5 Maret 1990: 81,58% responden mahasiswa UI mengaku kurang membaca karena malas.

Semua angka itu menjelaskan satu hal: betapa rendahnya minat dan kemampuan baca masyarakat Indonesia. Tak ada yang secara khusus mau bertanggungjawab terhadap fenomena ini. Namun, pemerintah mengakui, bahwa urusan minat dan kemampuan baca yang letoy berujung panjang ke mana-mana. Tahun 2001, sebagaimana dikutip dari Majalah Gatra, Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Makmuri Muchlas mengatakan, minat membaca juga berpengaruh terhadap daya saing tenaga kerja Indonesia yang menduduki urutan ke-46 di dunia, di bawah Singapura (2), Malaysia (27), Filipina (32) dan Thailand (34).

Dari mana kita mengurai benang kusut ini? Ada banyak faktor yang tentunya bisa dituding. Namun, tak ada faktor yang bisa berdiri sendiri. Dari sisi sosiologis, sebenarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengalami gegar budaya, terkaget-kaget dengan perubahan zaman tanpa mampu mengantisipasi dan mengikutinya.

Masyarakat Indonesia tumbuh dalam kultur agraris, yang menempatkan budaya oral, getok tular, dalam menyampaikan pengetahuan. Pengetahuan dibentuk oleh seorang agen yang dianggap bijak dan berpengetahuan luas, seperti tokoh masyarakat, pemimpin desa, tokoh agama. Pengetahuan ini disampaikan dari mulut ke mulut, melalui cerita, kisah-kisah, dan membentuk mitos. Dunia pada akhirnya digambarkan atau direkonstruksi melalui mitos yang dibangun itu, misalkan jangan menebang pohon besar karena ada penunggunya, atau bencana timbul karena ada dewa yang marah.

Indonesia modern adalah Indonesia yang semakin terindustrialisasi. Sawah-sawah digusur dijadikan kompleks perumahan atau pabrik. Desa-desa dimasuki listrik dan televisi. Gaya hidup baru sebagai masyarakat visual yang serba instan, masyarakat yang suka nonton dan terpengaruh oleh apa yang ditonton, mulai terbangun namun belum sepenuhnya selesai. Sementara gaya hidup lama, budaya ngobrol, tak sepenuhnya ditinggalkan dan tergantikan.

Jadi tak heran, kalau infotainment alias gosip di televisi menjadi acara yang cukup diminati. Untuk acara yang lebih serius, bincang-bincang berita alias talkshow sebagaimana di TV One, lebih diminati ketimbang format berita konvensional. Acara bincang-bincang ini biasanya membahas topik serius dengan mendatangkan narasumber yang berkompeten, seperti anggota DPR, akademisi, tokoh LSM, pejabat pemerintah. Peran tokoh masyarakat, pemimpin desa, dan tokoh agama lokal sebagai agen pembentuk dan penyampai pengetahuan tergantikan oleh mereka.

Di mana posisi buku, koran, dan bahan bacaan lainnya sebagai salah satu perekonstruksi pengetahuan? Di Indonesia, satu surat kabar dibaca 45 orang. Idealnya, satu eksemplar surat kabar dibaca sepuluh orang. Namun dibandingkan Filipina (satu surat kabar dibaca 30 orang) dan Srilangka (satu surat kabar dibaca 38 orang), masyarakat kita jelas 'tak terlalu bersahabat' dengan surat kabar.

Nasib buku juga tak kalah apes. Buku-buku soal isu-isu kontemporer yang menarik perhatian masyarakat seperti kasus Bank Century, Susno Duadji, korupsi, dan lain-lain memang banyak beredar. Buku-buku ini bukan sekadar kumpulan kliping, namun juga cukup analitis dan memberikan pengetahuan komprehensif kepada masyarakat tentang sebuah kasus atau kejadian. Namun, dari belanja buku masyarakat, kita tahu bagaimana posisi buku hari-hari ini. Hasil Suvei Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) tahun 1999 menyebutkan: dalam setahun belanja masyarakat untuk buku dan suratkabar hanya sebesar Rp 1,9 trilyun. Angka ini berlipat-lipat di bawah belanja rokok (Rp 47 triliun).

Terdepaknya posisi bahan bacaan oleh bahan tontonan sebenarnya tak lepas dari beberapa hal. Bagi sebagian besar masyarakat kita, membaca adalah pekerjaan tak mudah. Saat kita membaca berarti kita berkenan memberikan ruang dan sedikit waktu bagi impuls otak kita untuk menerjemahkan, meresapi, dan memaknai apa yang dibaca sebelum berujung pada 'memahami'. Bandingkan dengan 'menonton' atau 'mendengar cerita orang' yang tak memerlukan 'rantai' sepanjang aktivitas membaca untuk sampai pada sebuah pemahaman. Dalam membaca, orang butuh untuk menganalisis dalam kadar tertentu.

Industri buku dan surat kabar juga tak terlalu menunjang. Oplah dan sirkulasi surat kabar tak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia. Jika satu surat kabar dibaca 45 orang, berarti oplah seluruh surat kabar se-Indonesia, jika digabungkan, hanya sekitar 4,4 juta eksemplar. Itu pun distribusinya tak merata. Jawa menjadi 'pusat peperangan' industri media cetak, dengan munculnya koran-koran lokal. Namun di luar Jawa, tak semua wilayah terjangkau media bermutu.

Begitu juga buku. Setiap bulan, setiap tahun, selalu ada buku yang terbit. Namun, ada banyak hambatan orang membaca buku. Sebagaimana koran dan majalah, masalah distribusi jadi salah satu kendala. Tak semua kota memiliki toko buku, dan tak semua toko buku memiliki jaringan penerbit yang bagus. Masyarakat pulau Jawa masih lebih dimanja dengan ketersediaan buku yang memadai dibandingkan masyarakat di pulau lain.

Kendala terbesar tentu saja masalah ekonomi. Harga koran tak pernah bisa stabil, karena harus disesuaikan dengan harga kertas internasional. Kecenderungannya harga koran dan majalah selalu naik. Harga buku setali tiga uang. Selain ongkos kertas, pajak dan pembelian hak cipta untuk buku-buku luar negeri ikut mendongkrak harga jual buku.

Pemerintah juga tak terlalu membantu. Tahun 1966, subsidi kertas murah untuk penerbit buku dihapus. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), mulanya tahun 1950 penerbit yang menjadi anggota IKAPI 13 penerbit, dan pada akhir masa Orde Lama naik menjadi 600 lebih. Tahun 1973 yang tersisa hanya 100 penerbit buku. Hari-hari ini jumlah penerbit buku yang tergabung dalam IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) kembali menjadi 600 penerbit, dengan 2.500 judul buku yang diterbitkan setiap tahun.

Dengan jumlah warga miskin yang masih banyak dan masih kuatnya kultur oral ketimbang literal, semua hambatan itu memperlengkap lemahnya budaya baca di Indonesia. Bagi orang-orang berpunya, buku masih belum dipandang sebagai bagian dari investasi masa depan. Bagi orang miskin, buku adalah barang mewah.

Jadi, apa solusinya? Banyak yang berharap terhadap perpustakaan. Perpustakaan, terutama milik pemerintah daerah dan sekolah, hadir untuk menjadi alternatif toko buku. Di sana, masyarakat bisa menjadi anggota dan meminjam buku.

Tapi, sayang sekali, perpustakaan cenderung masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah. Tanpa bermaksud melakukan generlisasi, mari kita memandangkan mata ke Kabupaten Jember. Ini kabupaten terbesar ketiga di Jawa Timur, setelah Surabaya dan Malang. Kehidupan masyarakatnya lebih dinamis dibanding kabupaten lain, terutama dipicu oleh adanya perguruan tinggi negeri Universitas Jember.

Namun, di Jember, Perpusda tidak memiliki tenaga pustakawan profesional, sementara jumlah pengunjung selama 2000-2007 sudah mencapai 109.206 orang. Padahal, Perpustakaan Daerah bertugas membina perpustakaan-perpustakaan yang ada di Jember.

Di Perpustakaan Daerah Jember, pada tahun 2008, jumlah staf yang berstatus pegawai negeri sipil 9 orang dan staf berstatus tenaga sukarelawan 11 orang. Semua tenaga administrasi. Tidak ada satu pun yang layak secara fungsional menjadi pustakawan, dalam artian memiliki ijazah pendidikan pustakawan. Tenaga pustaka Perpustakaan Daerah hanya ditempa pengalaman bekerja selama belasan tahun.

Perpusda di Jember juga belum bisa melakukan modernisasi sistem pustaka. Belum ada pemasangan barcode yang memungkinkan pemantauan buku yang hilang. Selama ini, buku yang hilang dan rusak kurang lebih lima persen.

Di Jember, status Perpustakaan Daerah masih UPT (unit pelaksana teknis) di bawah Dinas Pendidikan. Padahal, semakin maju negara, perpustakaan semakin dibutuhkan. Sesuai Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2007, perpustakaan wajib minimal berstatus kantor. Peningkatan status ini tentu akan berdampak pada anggaran perpustakaan, terutama untuk pengadaan buku. Semakin lengkap perpustakaan, semakin menarik minat masyarakat untuk datang.

Repotnya, di Indonesia perpustakaan identik dengan meminta sumbangan dan hanya berdasarkan budget atau proyek dalam pengadaan buku-buku terbaru. "Kami dari perusahaan penerbit tidak pernah menemukan ada permintaan dari perpustakaan untuk membeli sejumlah buku baru yang dikeluarkan penerbit," kata Ketua Kompartemen Promosi dan Pameran Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Arianto, sebagaimana dikutip kapanlagi.com.

Beruntunglah, dalam masyarakat sekarang ada semacam gerakan sosial literasi. Ada banyak filantropis perorangan yang bersedia dengan uang sendiri mendirikan perpustakaan untuk didatangi masyarakat sekitar. Mereka menerima sumbangan buku-buku dari berbagai kalangan.

Di mana peran pemerintah? Mungkin perlu didengar apa yang dikatakan Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dhama Madjid pada tahun 2008. Menurutnya, kebijakan menyediakan buku murah bagi pelajar di Indonesia bisa saja tercapai asalkan pemerintah bersinergi dengan kalangan penerbit, salah satunya lewat subsidi pajak kertas. Subsidi kerras penting karena 60 persen biaya buku tergantung pada kertas.

Pemerintah daerah sudah saatnya memberikan perhatian lebih kepada perpustakaan daerah. Jangan biarkan gerakan sosial literasi para filantropis itu berkembang sendiri. Mereka mungkin tak butuh bantuan pemerintah, namun dengan upaya pemerintah memperhatikan lebih serius pengelolaan perpustakaan daerah, cita-cita untuk menjadikan 'buku sebagai hak untuk semua' akan tercapai. [wir]

No comments: