26 April 2010

Sultan Khan

Bahkan di negeri yang buta huruf pun, buku-buku di rak toko milik Sultan Khan dianggap jadi agen subversif yang paling meresahkan. Ia seorang pedagang buku di Kabul, dengan buku yang beragam: sejarah novel, koleksi puisi, kisah-kisah legenda.

Dalam hidupnya yang sumpek dengan banyak istri dan anak, Sultan berada pada perbatasan stigma dua rezim yang hidup bergantian, rezim anti Tuhan dan rezim pemerintahan yang bertuhan. Di mata rezim komunis, ia borjuis kecil yang mencintai kapitalisme. Namun di mata Departemen Pembinaan Kebajikan dan Penghapusan Dosa milik Taliban (hanya Tuhan yang tahu apakah di akherat ada departemen macam begini), ia tak cukup Islami. Jenggot, salat lima waktu, berpuasa, dan pakaian shalwaar kameez yang cingkrang itu tak menyelamatkannya dari penjara.

Siang yang terik di bulan November itu, orang-orang buta huruf yang merasa membawa lisensi dari Tuhan datang: menyegel toko bukunya. Hari itu, mereka mencari buku-buku yang bergambar makhluk hidup. Tak butuh waktu lama untuk membuat api unggun dengan bahan bakar ratusan buku, di persimpangan Charhai e-Sadarat: sebuah api untuk memuliakan Yang Maha Berpengetahuan.

"Mulanya komunis membakar buku saya, lalu datang Mujahidin yang merampas dan menjarahnya. Terakhir, Taliban membakar semuanya," kata Sultan.

Jurnalis Asne Seierstad dalam buku The Bookseller of Kabul menunjukkan di Afghanistan, saudagar buku adalah salah satu pekerjaan yang paling berbahaya, yang memungkinkan orang seperti Sultan Khan berhadapan dengan para polisi syariat dan orang-orang yang menggengam kalashnikov.
Mereka menghanguskan buku-buku yang satu, tapi memaksa Sultan menjual buku-buku yang lain yang telah cemar.

Satu buku pelajaran Matematika versi Taliban yang digunakan untuk anak-anak kelas satu sekolah dasar bercerita tentang Omar dan Kalashinikov-nya.: Si Omar punya kalashnikov bermagazin tiga. Satu magazin berisi 20 butir pelor. Si Omar menembakkan dua pertiga pelor dan membunuh 60 orang murtad. Berapa orang murtad yang berhasil ditewaskan dengan setiap peluru?

Apa yang membuat buku dianggap begitu berbahaya? Saya tentu saja tak sanggup menyebutkan bertumpuk alasan rezim diktator di dunia yang membenci buku. Namun buku tentu saja mengakhiri rezim oral, folklore, cerita getok tular yang lebih banyak memunculkan mitos daripada fakta. Rezim cerita mulut ke mulut yang memungkinkan seorang diktator membangun citranya di atas tumpukan kebenaran dan ketidakbenaran, tanpa bisa dikoreksi ulang. Mitos menjalar cepat bagai wabah menular dengan banyak perawi.

Lalu Gutenberg menemukan mesin cetak, dan kita pun sadar: pengetahuan bukanlah monopoli para bangsawan dari puak tertentu dan para agamawan. Buku menjadi bagian dari liberalisasi manusia atas otoritas institusi yang menindas diri mereka atas nama apapun.

Mungkin, karena itulah, karena buku mewakili apa yang disebut semangat pembebasan manusia menembus bilik-bilik pengetahuan, ia menjadi dibenci oleh mereka yang membangun kuasa di atas doktrin. Doktrin, dogma, propaganda, tidak membutuhkan keragaman. Ia tak butuh dipertanyakan.

Buku ditulis dengan kuasa sang author, sang penulis. Namun, 'sang author mati' begitu bukunya dilemparkan ke pasaran dan dibaca banyak orang. Tafsir dan maksud sang author atas sebuah buku, bisa dibantah dan dimaknai berbeda oleh khalayak pembaca. Ini tentu menjengkelkan, dan lebih menjengkelkan lagi bagi rezim penyuka keseragaman, setiap buku berpotensi melahirkan buku tandingan. Terlalu banyak buku dengan pikiran yang berbeda memunculkan banyak kerepotan dan perdebatan.

Maka, kita pun tahu Herman Goebels membakar ribuan buku, saat para tentara Nazi tiba di setiap kota di Eropa. Kejaksaan melarang buku-buku yang dianggap bisa mencemari masyarakat dan tak sesuai dengan konstitusi (entah tafsir konstitusi mana yang dipakai): menyeakankan rakyat adalah domba yang tak berdaya, dan buku-buku adalah serigala-serigala dengan taring nan tajam. Pemerintah tak mau memberikan subsidi bagi penerbit buku agar buku-buku bisa dijual dengan murah. Anggaran untuk perpustakaan daerah lebih kecil daripada anggaran klub sepak bola. Semua berujung pada pemberangusan buku, pemberangusan semangat diseminasi pengetahuan: bahwa ilmu adalah hak untuk semua.

Namun, apa yang bisa didapat dari membakar sebuah buku, memberangusnya? Suatu hari dalam sebuah interogasi di bui, Sultan Khan berkata dengan bangga di hadapan para inkuisitornya: "Kalian bisa saja membakar buku-bukuku, kalian bisa menyusahkan hidupku, bahkan kalian bisa membunuhku, tapi kalian tak akan bisa menghapus sejarah Afghanistan." Hanya rezim yang bebal yang memberangus buku.

Verba volant scripta manent.

Yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi. [wir]

No comments: