19 April 2010

Rahasia Goenawan Mohamad Menulis Catatan Pinggir

Iin Yumiyanti - detikNews
Jakarta - Berlin sedang musim dingin. Orang-orang jarang ada yang keluar. Mereka lebih memilih berdiam di hotel atau di rumah yang nyaman. Goenawan Mohamad menghadapi dilema. Hotel tempatnya menginap di Jerman itu tidak dilengkapi fasilitas internet. Padahal 'Catatan Pinggir' harus segera disetor untuk diterbitkan.

"Jika nekat ingin mengirim Caping (Catatan Pinggir) lewat email, saya harus menempuh jarak 3 km dan melawan dingin. Akhirnya saya tulis Caping dengan SMS. Capek sekali saya."

Demikian curhat GM, sapaan akrab Goenawan Mohammad , dalam acara 'Menulis Opini Bersama Goenawan Mohamad' di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (30/3/2010).

Acara ini merupakan pertama kalinya GM tampil di depan publik untuk berbagi rahasia penulisan Caping. Pria kelahiran Batang, Jawa Tengah itu, sebelumnya tidak pernah berbicara tentang esai paling populer di Majalah Tempo itu. GM pun tidak pernah mau muncul di televisi meskipun undangan acap datang menghampiri.

Caping merupakan salah satu esai paling populer di negeri ini. Tulisan yang gaya penulisannya dikenali seperti puisi itu memiliki penggemar dari berbagai kalangan. Mantan anggota DPR Alvin Lie dan putri Gus Dur, Anita Wahid, misalnya, merupakan penggemar Caping yang mengikuti pelatihan tersebut. Kini Caping telah dibukukan hingga 7 jilid.

Mengapa GM menulis Caping? Dengan rendah hati, penyair yang puisinya 'Parikesit' dan 'Interlude' diterjemahkan dalam berbagai bahasa itu mengaku, awalnya ia menulis sekadar untuk mengisi halaman kosong majalah Tempo. Namun ternyata kemudian tulisan itu mendapat respon yang bagus dari pembaca. Lalu esai khas GM itu pun diberi nama Caping.

Catatan Pinggir terjemahan dari kata marginalia, yaitu catatan , coretan, dan komentar yang dibuat oleh pembaca di margin buku. GM mengaku bukunya selalu jorok, begitu penuh coretan dan komentar.

"Saya suka mengomentari apa yang saya baca. Sebenarnya saya ambil Caping dari situ," cerita pria GM yang kala itu memberi penjelasan dengan berdiri. Menjadi pembicara dengan hanya duduk di kursi bagi GM mirip acara diskusi televisi yang tidak disukainya.

Bila kini ada yang mengartikan caping sebagai catatan kaum pinggiran, GM tidak berkeberatan.

GM memilih model tulisan esai karena ingin mengajak orang berpikir. Tulisan esai diperekenalkan oleh Michel de Montagne pada abad 15. Montagne berpendapat sebenarnya yang kita ketahui tidak banyak bahkan tidak ada. Sehingga ia memepergunakan esai sebagai percobaan untuk mengajak orang berpikir untuk mendapatkan kejernihan dari kekalutan masalah.

Dalam Caping, GM sering mengutip sejumlah buku. Pengutipan ini bukan untuk gagah-gagahan. Namun karena waktu Caping awal dibuat pada zaman Soeharto tidak banyak buku bagus masuk ke Indonesia. "Saat itu tidak banyak buku bermutu. Saya ingin mengajak orang untuk mencari buku yang bagus itu. Jangan hanya membaca buku soal rajah tangan," kata pria kelahiran 29 Juli 1941 itu.

Bagaimana GM bisa rutin menulis Caping yang tergolong esai yang 'berat' itu? GM mengaku ia bisa menulis setiap minggu karena memang sudah kewajibannya untuk mengisi Caping. "Ya karena disuruh Tempo. Selama saya bisa pasti saya lakukan," katanya.

Namun Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad memberi kesaksian lain. Bagi Toriq, pengakuan GM hanya merupakan sikap kerendahhatian. Sebenarnya Caping merupakan bagian hidup GM. Penyair dan esais itu akan selalu gelisah bila tidak membuat tulisan.

"Dia itu selalu gelisah. Bahkan setelah nulis sekalipun dia tetap gelisah. Pernah Caping yang sudah diserahkan direvisi hingga 9 kali. Ke mana pun dia pergi, dia pasti akan tetap menulis," cerita Toriq.

GM mengakhiri pelatihan penulisan opini itu dengan memberikan sejumlah trik. Bagi GM, penulis harus tahu siapa pembaca yang ditujunya. Penulis juga harus paham apa yang ditulisnya. Jangan mengkhotbahi pembaca dan percaya akan ada orang yang tertarik dengan tulisan kita.

(iy/lrn)

No comments: