14 April 2010

Air Mata Gendar

Persebaya menang atas Persitara Jakarta Utara 3-2, Rabu (14/4/2010). Kemenangan ini patut disyukuri, karena sedikit banyak mengatrol nilai Persebaya menjelang lima laga away. Namun inilah kemenangan yang ternoda, yang membuat dua gol Persebaya lainnya dalam pertandingan itu serasa hampa.

Pertandingan antara Persebaya melawan Persitara sebenarnya layak disebut sebagai pertandingan hidup-mati yang menggairahkan. Kendati kondisi lapangan becek, dua tim berupaya mati-matian untuk menunjukkan performa terbaik masing-masing. Laskar Si Pitung berhasil menunjukkan diri bahwa sebagai tim juru kunci, mereka tak boleh diremehkan.

Serangan-serangan Persitara melalui Tantan dan Prince Kapir Bello membuat anak-anak Persebaya kewalahan. Apalagi lini belakang Persebaya berlubang, karena absennya Nugroho Mardiyanto. Menit-menit awal, Tantan berhasil menjebol gawang Syaifuddin.

Persebaya mencoba bangkit, namun selalu gagal, hingga pada menit 45, lahirlah sebuah gol berbau offside yang diciptakan Andi Oddang. Gol inilah yang menjatuhkan mental pemain-pemain Persitara. Mereka merasa 'dikerjai' wasit. Saya membayangkan, jika saya kapten Persebaya, saya akan menolak gol tersebut.

Saya tahu, Persebaya sering dikerjai wasit dan diduga karena ini sikap kritis manajer klub ini terhadap PSSI. Namun, saya juga tak ingin apa yang diderita Persebaya juga diderita klub lain. Saya tak ingin Persebaya mengambil keuntungan di atas derita orang lain.

Manajer Persitara Harry Ruswanto sempat berniat mogok. Namun niat ini diurungkan, dan Persitara tetap bermain seperti biasa. Dengan diiringi air mata Gendar, sapaan akrab Harry, anak-anak Persitara tetap bermain penuh semangat kendati akhirnya kalah 2-3.

Pertandingan sore ini sekali lagi menunjukkan betapa akutnya problem wasit di Indonesia. Berkali-kali keputusan kontroversial wasit membuat para pelaku dan penonton sepakbola seolah putus asa. Kongres Sepakbola Nasional sebenarnya diharapkan bisa menyembuhkan salah satu penyakit sepakbola nasional ini. Namun apa yang bisa diharapkan dari kongres di Malang yang hasilnya normatif itu?

Setiap tim, sedikit-banyak, pernah diuntungkan oleh keputusan-keputusan wasit. Ada tim yang beberapa kali menang dengan gol tunggal penalti, ada pula tim yang dirugikan karena dikerjai oleh keputusan wasit. Hal-hal seperti ini jika diteruskan, akan menghancurkan persepakbolaan nasional sendiri.

Saya khawatir, keputusan-keputusan kontroversial hanya akan menciptakan ketidakpercayaan (distrust) terhadap wasit oleh pemain dan suporter. Ketidakpercayaan ini menciptakan mentalitas yang keliru dan terbawa oleh pemain melalui tindakan-tindakan yang tidak menghormati sang pengadil itu. Jangan-jangan attitude seperti ini terbawa dalam laga internasional. Hancur benar hati ini jika itu terjadi.

Maka, di tengah harap yang mulai putus, saya berdoa semoga pembenahan sepakbola nasional segera terjadi. Lupakan dulu revolusi, karena revolusi membutuhkan semangat dan pembangkangan sosial luar biasa. Hal terpenting adalah semua pihak yang peduli harus berkonsolidasi kembali, mengambil langkah-langkah atau tidak sama sekali. Jika memang sudah tak ada kepedulian, maka mari bersama-sama menikmati kehancuran sepakbola Indonesia... dan meneteskan air mata seperti Gendar. [wir]

No comments: