22 August 2008

Citra BBJ dan Kemarahan Menpora

Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault boleh jadi mencatatkan diri sebagai menteri yang paling cepat mengakhiri kunjungannya ke suatu daerah. Bayangkan, sekitar dua jam setelah mendarat ke Jember, ia 'balik kucing' meninggalkan kota tersebut dengan helikopter yang dipinjam dari Gudang Garam.

Saat datang, saya melihat wajah Adhyaksa Dault begitu cerah. Ia menyapa sejumlah orang yang ditemuinya dengan ucapan salam yang mantap. Wartawan pun disapa dengan sumringah. "Nanti saja ya (wawancara) habis Jumatan," katanya, tersenyum.

Namun, apa yang saya temui seusai shalat Jumat di masjid Universitas Muhammadiyah Jember sungguh berbeda. Adhyaksa Dault memilih langsung pulang. Padahal, ia memiliki sekian agenda di Jember. Puncaknya membuka acara gerak jalan Tanggul-Jember Tradisional Sabtu (23/8/2008).

Mulanya, ia beralasan sedang sakit. Namun tak lama kemudian, ia memuntahkan kekecewaan terhadap sambutan Pemerintah Kabupaten Jember. Adhyaksa ngambek, karena datang tanpa sambutan. "Saat saya datang tidak ada tuan rumahnya. Bupati tidak ada, wakil bupati tidak ada," katanya.

Sebagai pejabat penting, Adhyaksa memang pantas marah. Bila melihat sambutan Pemkab terhadap menteri lainnya, terutama Menteri Pendidikan Nasional beberapa waktu lalu, apa yang diterima Menpora Adhyaksa Dault memang jauh dari harapan.

Masih kuat dalam ingatan, Mendiknas disambut meriah. Jajaran petinggi Pemkab Jember hadir, termasuk Bupati Muhammad Zainal Abidin Djalal. Bahkan, Mendiknas berorasi di depan dua ribu orang guru.

Sementara Adhyaksa, datang dengan helikopter dan di bandara Notohadinegoro 'hanya' disambut Kepala Dinas Perhubungan Jember, Ketua KONI Jember, jajaran petinggi PKS yang memiliki ikatan emosional dengan Pak Menteri, dan petinggi KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia).

Tidak ada Bupati. Tidak ada Wakil Bupati.

Di Universitas Muhammadiyah, Adhyaksa disambut Sekretaris Kabupaten Djoewito. Namun, hati Pak Menteri kadung tak enak. Djoewito sempat dicueki pula.

Akhirnya, Adhyaksa Dault mengeluarkan keputusan mengejutkan: keluar dari Jember hari itu juga.

Di sisi lain, boleh juga kita menganggap Pak Menteri terlalu sensitif. Saya tidak begitu percaya, Pemkab sengaja menelantarkan Adhyaksa. Kehadiran Sekretaris Kabupaten Djoewito menemuinya di Unmuh Jember menunjukkan, bahwa ada upaya untuk menghormati Adhyaksa.

Namun harus diakui, protokoler penyambutan terhadap Adhyaksa yang datang sebagai menteri tampak kurang serius, jika dibandingkan penyambutan terhadap menteri lainnya. Dari spanduk penyambutan yang dibentangkan di bandara Notohadinegoro saja ketidakseriusan itu terlihat. Ada kesalahan yang tak seharusnya dilakukan: nama Adhyaksa Dault berubah menjadi Adhyarsa Dault.

'Insiden penyambutan' ini, suka atau tidak, menampar wajah Pemkab Jember. Apalagi, Menpora mengatakan dirinya hadir atas undangan resmi Bupati.

Seharusnya, kehadiran seorang Adhyaksa Dault bisa semakin mendongkrak citra Tajemtra yang merupakan bagian dari Bulan Berkunjung Jember. Sedikit banyak, pujian dan pernyataan dari seorang menteri seperti Adhyaksa Dault terhadap Jember akan semakin mendongkrak reputasi positif kota ini. Sesuatu yang memang diharapkan dari event besar bernama BBJ.

Tanpa harus terjebak pada pola pikir strukturalisme kekuasaan, kemauan Adhyaksa membatalkan tiga agenda untuk bisa hadir di Jember demi Tajemtra layak dipuji. Setidaknya, gema Tajemtra dan BBJ (mungkin) sudah menggugah minat Pak Menteri.

Insiden tersebut mau tak mau akan memunculkan kontraproduksi. Tajemtra akan jalan terus, dengan atau tanpa kehadiran seorang menteri. Namun amarah Adhyaksa Dault, yang dengan terang-terangan melontarkan kekecewaannya kepada media, jelas bukan promosi yang bikin hati senang.

Akhirnya, sudah saatnya 'insiden Adhyaksa Dault' ini menjadi pelajaran bagi Pemerintah Kabupaten Jember, atau pemerintah daerah lain. Setiap tamu hendaknyalah diperlakukan dalam derajat yang sama. Saya tidak berprasangka buruk Pemkab Jember hendak mendiskriminasi Menpora jika dibandingkan Mendiknas. Namun setidaknya, apa yang terjadi Jumat (22/8/2008) menunjukkan bahwa ada yang keliru pada sebuah protokol penyambutan terhadap Adhyaksa Dault.

Adhyaksa seharusnya juga menjadikan insiden di Jember sebagai pelajaran untuk bisa lebih menahan diri. Apa yang dilakukan Pak Menteri dengan ngambek dan cabut dari Jember, justru bertentangan dengan semangat yang dikemukakannya kepada pers. Ia sempat mengatakan, lebih memilih hadir di Jember karena Tajemtra adalah olahraga rakyat.

Saya menangkap ada semangat kerakyatan yang diusung Pak Menteri. Semestinya Adhyaksa konsisten dengan semangat itu, dan tetap hadir. Tidak demi seorang bupati atau wakil bupati. Tapi demi olahraga kerakyatan yang dia sendiri mendukungnya. Jangan sampai ada kesan Pak Menteri mendadak kekanak-kanakan. Saya ingin mengingatkan ucapan Adhyaksa sendiri: "Kita tak jadi menteri selamanya."

Jumat, Pukul 13.08. Baling-baling helikopter berputar kencang, membuat pasir di atas helipad yang dibuat seadanya dengan cat putih beterbangan. Adhyaksa Dault mengangkasa. Saya masih melihat ia melambaikan tangan. Sama dengan saat datang, ia tidak disambut Bupati dan Wakil Bupati.

Ah. Saya jadi ingat mantera jelangkung: datang tak dijemput, pulang tak diantar. Tapi Adhyaksa Dault bukan jelangkung. Kelak, saat kembali datang ke Jember, yakinlah ia akan disambut dengan lebih baik. (Dimuat di rubrik Sorotan di beritajatim.com)

No comments: