Dua Warung Wartawan Jember
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada tahun 2005 memunculkan lumayan banyak implikasi terhadap publik Jember. Tidak pernah masyarakat terbelah dalam dua sikap seperti pilkada lalu, antara pro status quo dan pendukung perubahan.
Dalam pilkada lalu, ada tiga kandidat yang bertarung, yakni kandidat incumbent Samsul Hadi Siswoyo, mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jatim MZA Djalal, dan Wakil Ketua DPRD Jember Mahcmud Sardjujono. Hasil akhirnya: Djalal menggusur sang incumbent Samsul dengan telak.
Sebagian juru warta, secara langsung atau tidak, terlibat dalam pertarungan pilkada tersebut. Ada yang secara terang-terangan menjadi bagian dari tim sukses calon, atau sekadar mendukung salah satu calon tanpa harus masuk sebagai tim sukses.
Secara garis besar, tanpa memperhatikan siapa yang didukung, sikap wartawan Jember terbelah dua: mendukung status quo atau mendukung perubahan. Singkat kata, mendukung Samsul menjabat lagi atau mendukung sosok bupati baru (yang berarti bisa Djalal atau Machmud).
Terlepas dari perdebatan mengenai etika jurnalistik, beda gaco dan jago ini sempat membuat hubungan antar wartawan di Jember agak meriang. Ada ketegangan. Ada saling curiga antara satu dengan yang lain.
Yang bikin ketawa, ketegangan dan beda aspirasi ini merembet sampai urusan pilihan warung tempat mangkal.
Sebelum pilkada, sebagian besar wartawan memilih cangkruk alias kongkow-kongkow di sebuah warung depan kantor Partai Golkar. Setelah muncul sebuah warung baru di depan kantor Departemen Agama (yang berjarak tak sampai 100 meter dari warung depan kantor Golkar), sebagian memilih pindah ke warung tersebut.
Sebenarnya sejumlah wartawan yang pindah tempat kongkow ke warung baru tak punya maksud apapun. “Saya hanya ingin mencari suasana baru. Apalagi di sini lebih luas tempatnya. Enak buat ngobrol,” kata salah satu wartawan sebuah harian dari Surabaya.
Kebetulan si wartawan ini juga langganan pijat pegal-pegal sang pemilik warung. Sehabis dipijat, ia biasa bersantai meneguk segelas teh di warung itu. Jadinya klop.
Rupanya sejumlah wartawan lain juga berpikiran sama. Maka, beberapa wartawan pun mulai ‘boyongan’ ke warung baru di depan kantor Depag itu. Kebetulan, mereka yang ‘boyongan’ adalah sejumlah wartawan pendukung perubahan di Jember, saat pilkada.
Entah siapa yang mengembuskan, begitu pilkada usai, muncul isu bahwa wartawan Jember terpecah-belah. Warung depan Depag disebut ‘Warung Djalal’, karena menjadi tempat kongkow sejumlah wartawan pro perubahan; dan warung depan Golkar disebut ‘Warung Samsul’, karena menjadi tempat cangkrukan sebagian wartawan yang dinilai mendukung Samsul saat pilkada.
Isu ini jelas membuat sejumlah wartawan mengernyitkan dahi. Isu itu dinilai mengada-ada dan diduga bertujuan mempekeruh suasana. Apalagi, ternyata isu itu juga sampai ke telinga sejumlah narasumber, khususnya anggota DPRD Jember.
Untunglah isu ‘warung’ tak bertahan lama. Sejalan dengan waktu, isu itu terkikis dengan sendirinya. Kini hampir semua wartawan mangkal di warung depan Depag. Tidak ada urusan dengan Djalal dan Samsul. Tidak ada sekat.
Warung yang lama? Ya, tetap buka. Sebagian wartawan juga masih membeli penganan dan minuman di sana. Namun itu memang pilihan selera, dan tak ada hubungannya dengan urusan politik. Begitu. (*)
03 August 2006
Labels: Obrolan Kota
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment