Ke Kantor Surabaya Pagi
21/04/2006
Sabtu pagi, 15 April 2006. Kantor itu tak terlampau besar untuk ukuran sebuah korporasi media massa. Dalam benakku, kantor sebuah korporasi media massa yang membawahi banyak media massa pastilah seperti Jawa Pos: besar, megah.
Tapi tidak. Di Jalan Raya Gununganyar 11 D Surabaya, kantor itu bersahaja sekali. Di bagian luar kantor terpampang papan nama (billboard) besar bertuliskan Surabaya Pagi dan Surabaya Sore. Model font-nya persis Surabaya Post, sebuah harian sore yang sempat berjaya di tahun 1980-an, sebelum digusur oleh Jawa Pos.
Aku menepikan sepeda motorku. Seorang Satpam keluar menyapa. “Saya mau ketemu Pak Tito,” kataku.
“Dari?”
“Dari Oryza. Jember.”
“Oh ya sebentar. Sepeda sampeyan taruh di belakang saja,” kata satpam itu sembari menunjuk sebuah gang kecil diimpit bangunan kantor itu dengan bangunan lain. Aku menaruh sepedaku di sana.
Bangunan ini tak terlalu asing bagiku. Aku merasa mengenalinya. Ya, aku ingat, aku pernah datang ke kantor ini bersama Hakim, mantan redaktur pelaksana Suara Indonesia. Gedung yang ditempati sebagai kantor Surabaya Pagi dan Surabaya Sore ini dulunya digunakan untuk menaruh mesin cetak milik Suara Indonesia di awal terbit, Agustus 2004 silam.
Mesin cetak yang konon seharga Rp 1 miliar itu diletakkan di bagian belakang kantor. Bangunan kantor itu kelihatannya adalah bekas bengkel atau tempat cuci mobil. Di beberapa tempat, lantai menjorok ke bawah dan ada anak tangga. Biasanya digunakan sebagai tempat untuk memeriksa bagian bawah mobil.
Aku baru tahu, jika ternyata sekarang bangunan itu digunakan sebagai markas Surabaya Pagi dan Surabaya Sore.
Aku ke kantor itu, setelah mendapat pesan pendek dari seseorang bernama Tito yang mengaku sebagai wakil pemimpin umum Surabaya Pagi. Dalam pesannya, ia mengatakan, Surabaya Pagi hendak mengembangkan sayap di seluruh Jatim. “Jika berminat, bisa kita tindak lanjuti,” katanya.
Sebenarnya, aku semula ke Surabaya hendak ke kantor Jatim Mandiri, karena diminta Rizal Hasan. Namun, setelah mendapat kontak dari Tito, niat itu aku urungkan, dan aku memilih ke Surabaya Pagi.
Sebelum berangkat, aku mengontak Hari Tri Wasono, mantan wartawan Suara Indonesia di Kediri. Ia pernah bekerja di Surabaya Pagi dan Surabaya Sore. Aku memberitahu dia, bahwa aku dapat tawaran dari seseorang untuk masuk Surabaya Pagi. Tapi nama Tito tidak kusebut-sebut.
Hari lalu memberitahu, Surabaya Pagi dan Jatim Mandiri satu grup, di bawah Tatang, mantan Surabaya Post yang disebutnya sebagai ‘Dahlan Iskan yang lain’.
“Bekerja dengan Tatang, orientasinya adalah duit. Tatang itu tipe pebisnis murni. Kemampuannya memang di atas rata-rata.”
“Selama anak buahnya masih bermanfaat, Tatang akan terus berusaha memelihara anak buah itu. Kasarnya, biar pun kamu ludahi, ia akan diam saja, selama kamu masih menguntungkan.”
“Jangan heran, jika suatu saat kamu menulis berita kasus, lalu tiba-tiba disuruh menghentikan.”
“Soal kesejahteraan, Tatang masih memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Tapi kalau sudah tak berguna siap-siap ditendang.”
Hari mengaku ditawari untuk mengelola Surabaya Pagi biro Kediri oleh Tatang. Tapi ia menolak. Ia agaknya ogah bekerja dengan Tatang lagi, dan saat ini lebih memilih menjadi reporter stringer untuk Yusuf, koresponden Lativi Kediri.
Hari lantas menyarankan agar aku memilih Surabaya Pagi saja. Lebih jelas, karena ini proyek prestisius Tatang. “Kalau Jember Mandiri, wis to, kalau sudah dilihat nggak menguntungkan atau justru menghambat, akan dibuang, seperti SI,” katanya. Saran seperti itu katanya juga diberikan Tito.
“Tapi aku sudah terlanjur menyepakati Jatim Mandiri,” kataku.
“Kamu temui saja Tito, redaktur pelaksana yang ditugasi mengembangkan koran di Jatim. Bilang ke Tito, salam dari aku,” kata Hari.
Semua pesan Hari aku ingat saat memasuki front office. Dinding kantor muka itu dicat kuning telur seluruhnya, dengan kombinasi putih melintang. Di salah satu dinding tertempel banner raksasa Surabaya Pagi dengan logo matahari terbit, mirip logo SCTV. Juga ada banner lebih kecil Surabaya Sore dan Harian Ibu.
“Silakan duduk,” seorang pria menyapaku.
Aku duduk di sofa warna kuning yang empuk. Di rak koran, ada satu edisi Surabaya Pagi, terbitan Kamis, 13 April 2006. Koran itu kecil saja, mirip Koran Tempo. Tapi font tulisannya lumayan besar, seperti Jawa Pos, sehingga harus bersambung ke halaman lain. Sementara di Koran Tempo tidak ada halaman sambungan.
Pria yang tadi menyapaku lalu mengambil tempat di sampingku. “Bagaimana? Siap membuka biro di Jember,” tanyanya tiba-tiba.
Aku agak terkejut juga pembicaraan kami dibuka dengan hal serius.
“Pak Tito?” Saya bertanya, dengan pelan.
“Ya,” kami lalu saling berjabat tangan.
“Anda kenal di mana dengan Pak Ifansyah?” Ia mulai bertanya.
Aku kebingungan, karena baru mendengar nama itu. “Saya tidak kenal Pak Ifansyah,” jawabku jujur, sembari mengernyitkan dahi.
“Beliau yang memberikan nama dan nomor Anda kepada saya.”
Oh, begitu. Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Ah, mungkin Pak Ifansyah tahu dari Mas Heri. Ia bekas wartawan Surya, yang memberitahu saya bahwa ada lowongan di Jatim Mandiri. Mas Heri juga memberi nomor Pak Ifan dan Pak Tatang.”
Tito memandang ke arah jalanan melalui pintu kaca. “Jatim Mandiri satu grup dengan sini. Begitu juga Surabaya Sore dan Harian Ibu. Harian Ibu terbit di Jakarta dan dipimpin Pak Agil langsung. Jatim Mandiri dikelola bekas anak-anak Jawa Pos.”
“Ya, saya tahu dari Hari, teman saya, mantan wartawan SI di Kediri,” jawabku.
“Anda kenal Hari juga? Berapa nomor HP-nya?” Tito tampak terkejut.
Lalu, ia menghubungi Hari. Pembicaraan keduanya tampak akrab. Agaknya Tito dan Hari sudah bukan orang asing. Beberapa kali Tito menawarkan Hari untuk bergabung.
“Wis to, ini ada temanmu di sini. Kamu gabung saja? Ini proyek besar, uang besar. Kamu mau mbelani apa di Lativi? Sudahlah, nanti aku bantu membuka biro Kediri.”
Tak jelas apa yang dikatakan Hari. Tapi Tito menjawab, “Sudahlah, kamu ke Surabaya saja dulu. Nanti aku kasih ganti ongkos. Ini proyek bagus.”
Tito lalu diam, mendengarkan jawaban Hari. “Ya sudah, kita ketemu di Pare saja. Kamu ke rumahku, ya? Tahu kan rumahku?” Setelah basa-basi sedikit, sambungan telpon ditutup.
Tito lalu beralih kepadaku. Ia menjelaskan, mulai Mei mendatang, Surabaya Pagi akan membuka biro-biro di berbagai kota di Jatim. Rencananya, satu biro akan berisi personil wartawan tulis, wartawan yang merangkap iklan, petugas pemasaran sekaligus iklan.
“Nanti kita subsidi mundur. Awal-awal kita beri suplai dana, lalu dikurangi terus hingga bisa berdiri sendiri.”
“Konsepnya, nanti, setiap terbitan di daerah kita kasih halaman khusus, seperti Jawa Pos dan Radar. Misalnya di Jember nanti namanya Jember Pagi. Tinggal ganti platnya saja.”
“Anda biasa ngepos di mana?”
“Biasanya di Dewan. Liputan politik,” kataku.
“Di Polres? Di Pemkab?”
“Saya ke Polres kalau ada berita kriminal yang besar saja. Kadang ke Pemkab juga.”
“Kenal baik dengan orang-orang Pemkab? Punya akses ke sana?”
“Ya, kenal sebagian besar.”
Tito menjelaskan, bahwa nanti di biro ada wartawan yang dituntut bekerja untuk melobi Pemkab. Menurutnya, Pemkab punya anggaran kegiatan, khususnya untuk media massa. Itu yang ingin dibidik Surabaya Pagi, melalui akses kerjasama dengan Pemkab. “Dewan itu sumber berita, tapi tidak untuk pemasukan bagi koran.”
“Biasanya wartawan yang hanya bisa menulis tidak tahu atau mau mengakses anggaran Pemkab ini. Kita nanti butuh satu wartawan yang bisa mengakses dan melobi kerjasama dengan Pemkab, selain khusus wartawan tulis. Tak masalah jika tulisannya tidak bagus,” kata Tito.
Aku termangu, saat Tito melanjutkan.
“Di Jember banyak perusahaan?”
Aku menjawab cepat, “Kebanyakan di Jember adalah perusahaan perkebunan, PTPN X, XI, XII, yang pusatnya di Surabaya. Jember tidak dimasuki investor besar.”
Tito mengangguk. “Kalau pengusaha?”
“Ada beberapa orang. Saya kenal mereka.”
“Kita juga akan menggandeng perusahaan atau pengusaha di sana untuk menanamkan investasi di koran kita. Sehingga mereka merasa ikut memiliki. Terserah berapa rupiah yang mereka investasikan,” kata Tito.
Tito lalu menanyakan peta persaingan koran di Jember. Aku katakan, Jawa Pos dengan Radar-nya masih berjaya. Paling jeblok penjualan mereka 8 ribu eksemplar. Koran lain masih di bawah Jawa Pos. Memorandum yang nomor urut kedua masih belum bisa mendekati oplah Jawa Pos. Surya terseok-seok, kalah dengan Kompas. Surabaya Post sempat buka biro, tapi kemudian ditutup.
“Saya ingin masuk Surabaya Pagi. Tapi bagaimana, saya sudah terlanjur menyanggupi Jatim Mandiri,” kataku.
“Lho, Anda sudah gabung Jatim Mandiri?” Tito terkejut.
“Mau bagaimana? Saya ditawari saat belum punya status jelas. Lalu datang SMS dari sampeyan,” kataku.
“Tidak apa-apa. Nanti konsep kita sinergi, seperti JPNN (Jawa Pos News Network). Jadi bisa saja di satu daerah cukup satu wartawan untuk dua media,” kata Tito.
“Anda bawa lamaran?”
Aku kaget. Tidak siap ditanya seperti itu. Terus terang sama sekali tak terpikir dalam benakku untuk membawa surat lamaran. “Aduh, tidak. Saya terburu-buru ke sini,” kataku, dengan suara tak jelas.
“Ya sudah, Anda mengisi formulir aplikasi lamaran,” kata Tito.
Lalu aku pindah ke ruang sebelah, dan mengisi formulir di sana. Sejumlah karyawan lalu lalang. Beberapa di antaranya perempuan muda yang punya wajah cantik dan tubuh montok.
Aku mengisi formulir sembari sesekali melirik ke arah lalu lalang perempuan-perempuan cantik itu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan standar saja: apa alasan menjadi wartawan, pengalaman menadi wartawan, apa yang diketahui tentang koran pagi, dan sebagainya.
Ada dua pertanyaan yang menarik perhatianku: masalah jumlah gaji yang diminta dan kesediaan untuk di-training menjadi agen alias pemasar koran di samping menjadi wartawan.
Untuk pertanyaan pertama, aku menjawab, minta gaji Rp 1,5 juta. Sementara untuk pertanyaan kedua, sempat aku berpikir agak lama. Menurutku, bersedia kerja merangkap sama dengan menyalahi prinsip tembok api (firewall) yang aku yakini. Dalam konsep tembok api ada batasan jelas antara wartawan dengan petugas pemasaran koran. Terus terang aku ogah jika harus main rangkap.
Namun, demi formalitas, aku akhirnya menyatakan bersedia. Toh, hanya untuk basa-basi formal. Praktiknya kan nanti.
Sat aku mengisi formulir, datanglah sebuah mobil hitam berplat L 6 TT. Seorang pria separuh baya, perlente, keluar dari mobil itu. Ia memandangku sekilas, lalu melangkah masuk ke kantor. Aku yakin dialah yang bernama Tatang Istiawan, mantan wartawan Surabaya Post yang jadi boss grup Surabaya Pagi dan Surabaya Sore.
“Tatang tidak terlalu menuntut (idealis) soal standar berita. Soalnya tulisannya juga jelek. Tapi jangan heran, jika suatu saat tiba-tiba kamu disuruh menghentikan pemberitaan soal sesuatu kasus,” aku teringat kata-kata Hari.
Kalau melihat penampilan Tatang dan penjelasan Tito, aku percaya Hari. Bagiku, Tatang lebih mirip pengusaha daripada wartawan. Mirip-mirip Dahlan Iskan, tapi dari segi penampilan, Dahlan lebih santai. Aku pernah bertemu Dahlan saat kuliah di kantor lusat Unej. Saat itu, ia menjadi pemateri sebuah acara seminar. Penampilannya santai, pakai sepatu kets putih, dan kaos polo.
Kurang lebih hampir satu jam menunggu, akhirnya Tito keluar dari salah satu ruangan dan menemuiku. “Oke, nanti saya hubungi,” katanya. Kami pun berjabat tangan dan aku pun pulang.
Senin pagi, 17 April, aku pulang ke Jember. Dalam perjalanan, aku melayangkan SMS ke Tito, menanyakan lamaranku. Ia mengatakan, Selasa besok ada presentasi dengan direktur soal biro.
Aku mengatakan, tak bisa balik ke Surabaya. Tito membalas, “Kalau begitu anda koresponden dulu saja. Kalau biro harus presentasi dengan direktur. Kalau datang, ongkos transportasi akan diganti.”
Aku mengucapkan terima kasih, dan memilih menjadi koresponden. “Saya menanti TOR dari anda lebih lanjut,” jawabku. Bus pun melaju ke Jember, bersama pertanyaan seputar nasibku kelak. (*)
23 April 2006
Labels: Pengalaman
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment