13 January 2006

Kampus, Moral Force yang Gagal

Dalam sejarah, intelektual kampus selalu dikaitkan dengan perubahan sosial politik di Indonesia. Saat Indonesia belum selesai didefinisikan dan masih berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, para intelektual muda Indonesia di Belanda membentuk Perhimpunan Indonesia.Terdiri atas para mahasiswa yang berkesempatan belajar di negeri penjajah, kelompok ini memainkan lobi politik dan gerakan bawah tanah untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Lalu tahun 1966, mahasiswa dan dunia kampus ikut andil dalam penggulingan rezim Soekarno. Mahasiswa dan dunia kampus masih terus memainkan peran kritis sepanjang 1970 – 1980. Peran itu mulai digerus secara sistematis oleh rezim Soeharto melalui normalisasi kehidupan kampus.

Tak ada lagi cerita sekolompok mahasiswa yang berteriak keras penuh protes, atau para dosen yang ikut bergabung dengan gerakan rakyat. Para mahasiswa kini dikonsentrasikan pada kuliah dan bagaimana bisa lulus cepat. Sementara para dosen dibungkam, dilarang ngomong politik. Tugas dosen hanya mengajar, meneliti, dan menambah kredit untuk memperlancar karir.

Peran kampus sebagai kelompok kritis kembali menguat pada tahun 1998, saat meruntuhkan rezim Soeharto. Kala itu, selain ribuan mahasiswa, sejumlah guru besar dan dosen turun gunung ikut berunjuk rasa. Di banyak kampus, rektorat justru menjadi fasilitator aksi-aksi besar, menjelang pengunduran diri Soeharto pada 20 Mei 1998.

Di tengah hiruk-pikuk politik itulah terdengarlah jargon ‘kampus sebagai gerakan moral’. Dalam banyak aksi unjuk rasa, jargon itu terus diteriakkan untuk membedakan diri dengan gerakan politik. Dengan mendefinisikan sebagai kekuatan moral (moral force), kampus mengklaim tidak mau terlibat dalam gerakan politik praktis yang berebut kekuasaan.

Gerakan moral, dalam pandangan kelompok kampus, tak ubahnya aksi koboi-koboi jagoan dalam film Western. Koboi jagoan akan datang ke kota yang ditindas para bandit, dan mengambil inisiatif perlawanan saat warga kota dan institusi resmi tak berdaya. Setelah bandit berhasil diringkus dan keamanan dipulihkan, koboi jagoan pergi dari kota. Ia enggan menerima sanjungan, apalagi jabatan.

Dengan pengandaian seperti ini, tak heran jika kemudian gerakan moral menjadi mitos yang selalu mengiringi gerakan mahasiswa dan kelompok kampus. Gerakan moral menempatkan diri pada posisi lebih mulia dan lebih adiluhung daripada gerakan politik.

Hal ini dikarenakan gerakan moral berorientasi pada perubahan kondisi yang lebih baik. Sementara gerakan politik berorientasi pada kursi kekuasaan. Gerakan moral menempatkan kebenaran sebagai sesuatu yang tak lekang oleh zaman dan harus terus diperjuangkan. Sementara, gerakan politik meletakkan kepentingan sebagai sesuatu yang abadi dan layak dipertarungkan.

Mitos kekuatan moral inilah yang kemudian membuat banyak orang berharap terhadap kampus. Ketika rakyat tak berdaya berhadapan dengan negara, kampus diharapkan tampil sebagai pembela. Kampus diharapkan berani berhadapan dengan kekuasaan negara yang seram.

Dalam konteks ini, kampus diharapkan meneruskan keberanian Socrates yang memilih minum racun daripada tunduk pada kekuasaan, atau Galileo Galilei yang memilih dihukum mati dengan timah panas daripada mengingkari kebenaran pengetahuan.
Namun pada tahun 2005, mitos kaum cerdik pandai yang selalu menyuarakan moralitas mulai runtuh.

Komisi Pemilihan Umum yang terdiri dari para akademisi perguruan tinggi raksasa (baca: Universitas Indonesia) tersandung kasus mega korupsi. Kasus korupsi ini mencoreng wajah dunia kampus yang mulanya bangga dengan sukses KPU menggelar pemilihan umum. Bagaimana mungkin para pendekar demokrasi kampus yang selama ini meyakini kebenaran, bisa terjerat persekongkolan menilap duit negara?

Rasa prihatin semakin menjadi-jadi, saat sejumlah cendekiawan menjadi ‘bemper’ kebijakan rezim SBY menaikkan harga BBM. Bahkan, mereka bersedia memasang iklan dukungan besar-besaran di media massa. Mereka membalik mitos cendekiawan sebagai agen penyuara amanat rakyat menjadi agen penjaga kehendak kekuasaan.

Dengan teori-teori ‘sekolahan’, mereka meyakinkan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM adalah benar. Namun, saat PHK besar-besaran mulai melanda perusahaan-perusahaan sebagai efek kenaikan harga BBM yang gila-gilaan, para penyuara moralitas ini bungkam.

Mereka bungkam tanpa memberi solusi, bagaimana sebaiknya para buruh yang di-PHK bisa tetap memberi makan keluarga. Bahkan, saat terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran kaum buruh menuntut upah minimum yang layak, tak ada suara dukungan dan tawaran formulasi tepat dari kampus. Kaum buruh dibiarkan berjuang sendiri.

Satu-satunya harapan, mungkin hanya ada pada mahasiswa. Mahasiswa adalah kaum muda cendekia yang masih bisa idealis, karena belum tergoda oleh rayuan kekuasaan. Namun, optimisme itu mendadak berubah menjadi pesimisme, setelah membaca berita mahasiswa terlibat tawuran atau terjaring razia narkoba.

Kita juga pesimis, karena kecenderungan orientasi mayoritas mahasiswa saat ini adalah belajar rajin dan lulus cepat, atau berdugem ria. Mahasiswa sebagai kekuatan idealis belum menjadi sistim yang dipahami bersama.

Apa yang menyebabkan kampus gagal sebagai moral force? Pertama, dalam sebuah peristiwa politik, kampus selalu menempatkan diri sebagai kekuatan eksklusif yang enggan bergabung dengan kekuatan revolusioner lain.

Masih membekas dalam ingatan, setiap aksi demonstrasi yang dilakukan di kampus selalu menangkal masuknya masyarakat non kampus. Alasannya: tidak ingin terjadi tindak anarkis, karena gerakan kampus adalah gerakan moral.

Dengan dalih itu, secara tak langsung, kampus telah ikut menguatkan anggapan yang dibangun status quo bahwa gerakan massa setali tiga uang dengan chaos, kerusuhan. Sebuah pandangan yang menunjukkan bahwa sejak awal, kampus memang membangun demarkasi dengan rakyat. Pandangan ini dilandasi opisisi biner: kampus – rakyat, pandai – bodoh, mendidik – dididik, rapi – tak teratur.

Kedua, dunia kampus ‘termakan’ sendiri oleh mitos yang menyatakan kekuatan moral berbeda dengan gerakan politik. Pemisahan diri terhadap gerakan politik, membuat dunia kampus gagap saat harus terjun ke tengah politik praktis. Ini bisa dilihat dari kasus korupsi KPU.

Para anggota KPU memang boleh dibilang hebat. Berbekal teori ‘sekolahan’ tentang politik yang ideal, mereka berhasil menggelar pemilihan presiden langsung. Namun, politik bukan cuma sesuatu yang ideal. Saat harus bekerjasama dengan para birokrat yang punya ‘mindset’ korup dalam struktur birokrasi KPU, mereka terjebak. Mereka terbuai atau tak bisa menghindar dari godaan uang.

Penyebab kegagalan yang terakhir, sistem di kampus hipokrit. Saya beberapa kali mendengar keluhan dosen tentang dana penelitian yang disunat dari meja ke meja birokrasi perguruan tinggi. Hal seperti ini sama saja memaksa seorang dosen yang jujur untuk me-mark up dana penelitian, agar dana yang sampai ke tangannya sesuai dengan yang dibutuhkan.

Contoh kemunafikan lainnya adalah saat pemilihan rektor atau pimpinan perguruan tinggi. Cara-cara yang digunakan tak ubahnya cara-cara kaum politisi yang acap dikutuk sebagai orang tak bermoral: intimidasi, politik dagang sapi, bahkan uang.

Saat penerimaan pegawai pun, yang terjadi adalah kolusi dan nepotisme. Tanpa melihat kualifikasi, asal punya link dan pertautan darah dengan orang penting di kampus, pasti diterima. Sementara mereka yang bukan ‘saudara siapa-siapa’ harus gigit jari.

Jika sudah begini, maka apa bedanya dunia kampus dengan dunia politik? Bagaimana bisa menyuarakan moralitas serta menyerukan pemberantasan korupsi dan nepotisme, jika pola-pola yang dipakai di kampus sendiri masih feodal dan korup?

Jadi, masihkah kita bisa berharap dari dunia kampus sebagai moral force? Saya tidak bisa menjawab pasti. Tapi, jika revolusi internal dan revolusi pendidikan tidak segera dilakukan di dunia kampus, maka mitos ‘kekuatan moral’ tinggal mitos yang hanya cocok untuk jadi dongeng pengantar tidur. Semoga kita bisa segera menemukan jawabannya pada tahun 2006 ini. (*)

NB: Dikirim untuk KOMPAS, tapi ditolak. Terima kasih, Kompas.

No comments: